Saturday, April 02, 2005

“Semanggi Suroboyo”

Aku berjalan di bawah terik dengan telapak kepanasan. Sampah yang kudapat hari ini sudah banyak. Semoga setoranku akan bertambah. Memang terkadang lelah juga menjadi pemulung. Tetapi bagaimana lagi, aku harus melakukakannya.
Lamunanku terhenti. Dari jauh aku melihat Bapak tergopoh-gopoh. Kuberlari menghampirinya.
“Cepat bantu bapak ! Mau ada obrakan !” aku langsung tanggap mendengarnya. Segera kuringkas semua botol Legen dagangan bapak. Bergegas kami mendorong rombong kecil yang sudah menjadi tumpuan hidup kami bertahun-tahun.
“Untung ‘le, Kamtib belum sampai membongkar...” kata bapak saat kami tiba di rumah. “Ibumu belum datang ‘le?”
Aku menggelengkan kepala.
“Kita makan saja dulu, ya.”
Terkadang aku trenyuh melihat melihat keluargaku. Bapak hanya seorang pedagang kecil es Legen. Ibu membantu bekerja berkeliling berjualan Semanggi. Mereka berdua menghidupiku dan dua adikku dengan ngos-ngosan.
“Bapak gak sampai diobrak kan ?” ibu datang dengan kecemasan.
“Tidak sampai kok, bu.”
“Alhamdullilah.” Ibu meletakkan bakul semangginya.
“Laku hari ini ?”
“Biasa saja, pak.” Ibu berkata dengan kecewa. “Terkadang ibu heran, mengapa makanan daerah sendiri malah kalah dengan ayam Amerika.”
“Jualan ayam Amerika saja.” celetuk Cuplis si bungsu. Aku hanya mengulum senyum sementara bapak dan ibu tertawa terbahak-bahak. Kegembiraan itulah yang selalu menguatkanku saat merasa susah menghadapi hidup.
“Oh ya, Tole. Tolong antarkan pesanan mbak Miranda, ya.” aku langsung terkejut mendengar nama itu. Mbak Miranda tinggal di satu perkampungan terkenal di kotaku. Selalu ramai tiap malam dipenuhi wanita-wanita penjaja cinta dan ia termasuk di dalamnya.
“Gak usah takut. Siang-siang sepi. Ibu masih repot, le. Tolong, ya.” Ibu menyodori bungkusan Semanggi. Sebenarnya aku ragu, namun demi ibu akhirnya segera kukayuh sepeda menuju kesana.
Bulu kudukku merinding. Aku merasakan suasana aneh di tempat ini. Untung segera kutemukan wajah mbak Miranda. “Eh Tole. Nganter Semanggi?”
Segera kusodorkan bungkusan padanya.
“Semanggi ibumu paling enak, gak ada yang menandingi.” Ia lalu mengeluarkan selembar sepuluh ribu dari dadanya. Aku jadi jijik dan menunduk.
“Nih ! terima kasih, ya.” Ia mengenggamkannya di telapakku sambil berbisik mendekat dan menyentuh pipiku, “Kembaliannya buat kamu.”
Aku mengangguk dan segera meninggalkannya.
“Besok antar 5 bungkus lagi, le !” suaranya terdengar dari jauh.

* * *

Malam ini Surabaya terasa dingin sekali. Aku merapatkan tubuh di sudut ranjang, kesepian. Sudah dua hari keluargaku pergi ke rumah Budhe di Malang untuk pinjam uang. Sejenak kumendengar gedoran pintu yang keras sekali. Kuberanikan untuk membukanya.
“Tole, tolong Mbak Miranda.” wanita ini tampak tergopoh. Ia mengenakan busana ketat berwarna merah minim. “Boleh mbak masuk ?”
Kemudian segera kututup rapat pintu rumahku. Aku begitu heran, mengapa tengah malam begini ia datang ke rumah. Aku memandanginya terus.
“Ah, Mbak enggak mau beli Semanggi. Mana keluargamu yang lain ?”
Aku menggelengkan kepala.
“Pergi ?”
Aku menggangguk. Kemudian kusodorkan segelas air, karna kulihat wajahnya pucat sekali. Mbak Miranda meminumnya seteguk demi seteguk lalu mengembalikan gelas itu padaku. Ia mengeluarkan tissue dari tas tangan dan mengelap keningnya
“Terima kasih.” Katanya sambil terduduk di lantai. Aku memandangnya lagi. Ia meneteskan air mata dan beberapa detik kemudian menangis. Hatiku tersentuh. Ternyata wanita yang selalu terlihat ceria di hadapan para lelaki hidung belang ini bisa juga menangis.
“Sebenarnya mbak tadi kena razia, le. Untung, berhasil kabur. Makanya mbak buru-buru ke rumahmu. Karena ini yang terdekat. Enggak apa-apa kan ?”
Aku mengangguk.
“Mbak tahu, mungkin kamu jijik dengan mbak. Karena mbak seorang WTS.”
Aku buru-buru menggelengkan kepala.
“Enggak apa-apa. Mbak sudah terbiasa.” Ia mengusap air matanya.
“Orang selalu begitu. Mereka tidak tahu sebenarnya. Dari lubuk hati yang terdalam, sebenarnya mbak selalu menangis. Menyesali pekerjaan ini.” Mbak Miranda memandangku, aku hanya menunduk.
“Apa daya, sudah masuk dalam lumpur...”
* * *

Sudah sebulan kami sekeluarga tak mendengar kabar mbak Miranda, sejak razia itu. Kata ibu, ia kembali ke kampung karena sakit parah. Kabar terakhir dari teman-temannya malah menyebutkan kalau Mbak Miranda sudah meninggal karena HIV/AIDS. Sungguh tragis..... !
Sementara keadaan ekonomi keluargaku semakin memburuk. Uang pinjaman dari Budhe tidak bisa menolong. Kini daerah jualan bapak sudah dinyatakan bebas PKL. Akibatnya bapak sekarang jadi kuli. Dagangan Semanggi ibupun makin hari makin sepi, namun beliau tetap ngotot berjualan.
Aku dan adik-adikku tak lagi sekolah. Buat makan saja kurang.
“Le, semiskin apapun kita, jangan pernah jadi pencuri, ya.” kata-kata bapak itu selalu jadi peganganku saat bekerja mengais sampah. Meski pemulung, aku bukan pencuri. Tetapi kadang aku jengkel juga pada orang-orang. Mereka selalu memarahiku saat aku mengobrak-abrik sampah. Mereka bilang itulah sebabnya kota ini bau. Mereka tidak tahu betapa sulitnya aku mencari sampah yang dapat didaur ulang agar setorannya dapat membantu biaya hidup keluargaku.
Aku melangkah pulang dengan sejuta lelah. Alangkah terkejutnya diriku melihat ramai orang-orang di sekitar rumah.
“Le, rumah kita digusur.” Ibu menangis menghampiriku.
Segera aku berlari membantu bapak meringkas sisa bangunan kami.
“Kita akan kemana, pak ?” tanya Burhan adik kedua-ku. Bapak hanya menggeleng. Sementara perkampungan kami ramai dan sesak. Orang-orang kebanyakan tidak terima dengan pembongkaran tiba-tiba ini.
“Sudahlah, le. Ini memang bukan milik kita. Tanah ini milik pemerintah.” Bapak tegar bernasihat. Aku hanya meneteskan air mata kesedihan. Kemudian kami pergi meninggalkan perkampungan penuh kenangan itu.
Saat aku dan bapak keluar kampung, kami tidak mendapati ibu dan Cuplis.
“Kemana mereka, le ?”
Aku menggeleng.
“Kita berpencar. Bapak cari bersama Burhan, kamu cari di tempat-tempat ibu biasa berjualan.” aku mengangguk dan kami berpisah.
Aku menelusuri perkampungan mencari ibu. Setidaknya sudah puluhan gang aku masuki. Kakiku sakit sekali. Tak terasa suara adzan sudah mengalun. Aku sandarkan tubuh sejenak. Sayup-sayup, kutatatap langit senja, lalu kuteringat bapak dan Burhan. Jangan sampai aku kehilangan mereka juga. Bergegas kutuju bekas perkampunganku yang kini telah rata, namun tidak kutemui mereka. Tanpa sadar, lelah aku tertidur di emperan toko.
* * *

Selama seminggu aku mencari keluargaku, namun tak dapat kutemukan. Hatiku menjerit pilu. Di saat seperti ini aku butuh keceriaan mereka. Sekarang aku mesti sendiri menghadapi pahitnya hidup di kota yang tak pernah menjadi pahlawan buatku, tetapi malah menyusahkanku. Satu yang membuat aku bingung, bagaimana aku hidup tanpa keluargaku dengan keadaanku ini. Bagaimana aku akan berkomunikasi dengan orang lain, sementara aku bisu ?! (*)

terasing dan MATI [Kebenaran yang Terbenam]

‘Kan kuingat di dalam hatiku, betapa indah semalam di Cianjur….¯
Nada itu baru terlantun di bibir. Riuh audiens menghantarku kembali ke meja. Sebenarnya tak satu pun pengunjung yang kukenal di kafe ini. Mungkin mereka hanya suka lagu lawas yang baru kulantunkan.
Mas, suaranya bagus.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Ritual kesantunan. Sesaat aku menunduk. Rendah sekali. Sebuah memori berterbangan halus di alam sadar...
Ada luka di balik lagu itu. Bukan karena aku yang mencipta. Entah siapa yang membuatnya?! Yang jelas aku hidup dari lagu ini. Aku mau melupakan saja pengalaman menyakitkan itu. Mungkin buatku dulu, menggembirakan. Menyenangkan. Saat ibu menyanyikan lagu itu, aku turut melafalkan.
Uh... hatiku begitu miris. Lebih tepatnya, trenyuh.. Sekarang aku kehilangan dia. Di mana ibu? Aku sudah berusaha mencari. Sebuah pencarian detektif. Kenapa? aku belum siap semua orang tahu. Titik. Ingin tahu? Dengarkan saja. Diam, jangan komen. Aku tidak suka.
Deep Blue Kiss, satu.
Pelayan itu mengangguk setelah aku memesan minuman.
Sekarang aku hidup sendiri. Aku punya perusahaan, sebuah swalayan berisi kebutuhan rumah tangga. Aku sudah buka 5 cabang di kota ini. Terlampau cukup untuk penghasilanku. Sangat tidak cukup untuk kebahagiaan batinku. Aku tidak pernah tersenyum saat tahu ibuku pergi.
* * *
wanita 30 tahun-an itu berjalan dengan alas kaki dan pakaian seadanya. Ia selalu membawa tutup-tutup botol, dipaku jadi satu pada kayu kecil. Ecek-ecek, orang Jawa menyebut.
Ia dipanggil ‘Ti dan hanya seorang anak 3 tahun saja yang ada di gendongannya. Ia bernyanyi dari angkutan umum satu ke angkutan umum lain. ‘Ti berkeliling di terminal sepanjang hari.
Setangkai anggrek bulan....¯
Widuri,... engkau bagai rembulan, sayang.... ¯
Bengawan Solo.... riwayatmu kini....¯
Suara ‘Ti tidak terlalu sumbang. Ia bernyanyi dengan ramah dan selalu mendoakan penumpang agar selamat sampai di tujuan mereka. Banyak yang simpatik. Tidak sedikit yang mencibir.
Masa, ngamen ngajak anaknya? Mau ngajari males?
Keluhan sok peduli itu selalu diberi hadiah senyuman. ‘Ti sadar, mereka tidak empati padanya. Tidak perlu melakukan itu juga tak apa.
Maafkan ibu ya, ‘ngger....
Kalimat itu yang selalu ia bisikkan kepada gendongannya.
Tak terasa pipiku dialiri air mata mengingingatnya. Aku benar-benar tahu mengapa ;’ibu melakukan itu. Aku tidak merasa diajari malas olehnya. Aku malah tahu bagaimana harus menghargai uang, keping demi keping. Aku benci orang-orang yang memandang ibuku sebelah mata. Aku ingin berteriak kepada mereka dari dulu, aku bangga pada mbak ‘Ti, ibuku....!!!
Pasti kau bertanya, di mana ayahku, kan? Aku tidak pernah melihatnya! Sejak aku pertama membuka mata di dunia ini, bahkan. Kata ibu dia dipenjara. Dihukum negara karena tindakannya dianggap merusak nama baik seorang jenderal. Ia membawa lari hartanya dan memfitnah Jenderal itu.
Kata ibu, semua kata orang itu bohong. Ia tidak pernah melakukan itu. Ayah hanya alat ketenaran. Semua karena Jenderal itu ingin kekuasaan dan ingin menghapus kebejatannya sendiri. Ayah digunakan sebagai kambing hitam. Kambing congek Jenderal itu. Ayahku lalu tewas tertembak.
Sekarang aku ingin berteriak lagi, kalau ayahku bukan kambing congek....!!!!
* * *
‘Kan kuingat di dalam hatiku, betapa indah….¯
‘Ngger, jangan ikut-ikut! Kamu sekolah saja. Ibu masih sanggup bekerja.
Biasanya aku langsung ngeloyor pergi ke kasur kalau ibu menegur seperti itu. Aku hanya ingin mencari uang sendiri. Ibu sama sekali tidak mengijinkan. Katanya, wajahku sangat mirip ayah.
Berbahaya, ‘ngger kalau kamu nanti ada yang menculik....
Aneh? Itu pikirmu, kan? Sama. Apa hubungannya ngamen dengan aku mirip ayah. Bukankah itu lumrah, kan?
Selain ibu tidak ingin kamu bekerja keras, ada alasan lain...
Apa?
Nanti saja kalau sudah waktunya.
Tapi, bukankah dulu aku juga ikut ibu ngamen?
Sudahlah, ngger....
Kalau sudah begitu aku pasti diam. Aku tidak ingin membuat ibu gundah. Menurut saja, apa susahnya. Aku yakin ibu punya alasan kuat di balik itu. Aku akan menunggu penjelasan itu. Aku menantinya sampai aku besar, mungkin.
* * *
‘Ngger sudah waktunya.
Ah, sebenarnya aku benci ini. Aku sudah besar, ingin rambutku panjang. Tapi lebih baik menurut saja. Aku kemudian duduk di kursi dan ibu mencukurku. Helai demi helai rambut lurusku yang sudah panjang itu berjatuhan di lantai.
Tidak butuh waktu lama, kepalaku sudah licin.
Kalau begini kamu tidak terlalu mirip ayah.
Aku memandangi wajahku di depan cermin. Kuelus perlahan kepala ini. Plontosnya aku... dan aku belum berani bertanya lagi mengapa ibu selalu berkata seperti itu. Aku lebih rela tampak seperti Pak Ogah.
‘Ngger ingat, jangan pernah memelihara jambang, kumis, jenggot dan rambut panjang. Ibu tidak pernah meminta apa-apa, turuti saja ini, ya...
Aku mengangguk. Lagi-lagi.
Kubasuh kepala licin ini, bersih dari sisa-sisa cukuran.
Ayahmu tewaspun, masih dibebani dendam Jenderal gadungan itu. Ia akan membunuh keturunannya.
Apa? Aku sangat tersentak.
Jangan takut, ‘ngger... selama ada ibu, aku akan menjagamu.
Pantas, ibu begitu risau kalau aku mirip ayah.
* * *
Mau pesan anggur?
Aku hanya menggeleng membalas tawaran pelayan kafe.
Kalau dipikir-pikir kisah ayahku itu seperti sinetron. Sebuah kehidupan yang dramatik. Gara-gara dendam itu aku dan ibuku hidup dalam ketakutan. Tetapi inilah kehidupanku yang sebenarnya. Sebuah realitas. Bukan mimpi sinema elektronik.
Kamu, Anto Johan?
Seorang tua mendekati wajahku dan mengernyitkan dahi.
Aku buru-buru menggeleng dan membayar minuman ke pelayan.
Langkahku harus cepat, pikirku. Kuayunkan langkah dan berlari jauh sekali dari kafe. Ternyata Pak Tua itu mengejar di belakangku. Kutambah kecepatan ‘bak kijang yang diburu. Jangan-jangan ia Jenderal itu?!
Sebenarnya kuingin berbalik dan kubunuh dia. Tetapi kalau itu benar? Kalau tidak?! Lagipula, ibu selalu memintaku untuk memaafkan dan melupakan semua kejadian masa lalu keluarga kami.
Berhenti...!!!!
Pak Tua itu berteriak seperti orang gila. Aku kemudian berlari terus menuju apartemen dan kututup rapat-rapat pintunya. Segera kuberlari ke wastafel. Napasku tersengal dan kudapati wajahku telah lusuh di cermin. Rambutku telah mulai panjang, bulu-bulu simbol kemaskulinan ini ternyata sudah liar berhias.
Perlahan kuraih alat cukur itu dan segera kuhabiskan rambut di kepala. Cambang dan jenggot pun kutebas habis.
Setiap hari aku selalu digelayuti ketakutan. Semua karena dendam membara. Aku telah memaafkan pembunuh ayahku. Namun aku juga berhak hidup bebas tanpa takut ancaman. Aku tidak protes kalau aku harus melicinkan kepala dan wajah, tetapi itu akan kulakukan kalau aku bisa hidup bebas.
* * *
Alat perekam itu telah selesai diputar. Aku masih duduk di kursi terdakwa. Terdiam dituduh membunuh Jenderal Urya. Aku bahkan tak tahu mengapa ia mati? Bukankah dia yang mengejarku?! Kini seantero jagad tahu kalau aku anak Anto Johan, provokator rakyat. Hal yang tidak pernah dilakukan ayah.
Apa keadilan tidak memihakku lagi seperti tidak membela ayah?
Pembunuhan terhadap Jenderal Urya. Terdakwa : Fajar Nusantoro, dijatuhi hukuman mati.
Oh, tidak?!?!!!! Ajal akan menjemputku. Hakim sudah mengetokkan palunya...! (*)

Joko Dolog

Hariku begitu melelahkan tampaknya. Bagaimana tidak ?! Seluruh kegiatan yang kulakukan aku sambung secara berturut-turut dalam sehari. Berangkat jam enam pagi dari rumah, kuliah sampai jam satu, terus janji ama Ria ke Mall, nemenin Ibu ke Pasar lalu nyambung lagi ngurusi kafe. Badanku rasanya terbelah-belah deh. Makanya kuhempaskan saja dengan pasrah di atas ranjang. Meski begitu, mata ini tak mau segera terpejam, terus memandangi langit-langit kamarku sembari inget kejadian di kampus siang tadi. Sungguh menambah beban lelahku.
Aku kesel banget sama Arik. Bisa-bisanya dia bersikap dingin saat kami berpapasan. Bahkan aku yang senyum dan nyapa dia dulu, eh Arik cuman bales sekenanya aja. Ingin aku dorong dia, tapi untung aku masih bisa mengontrol diri. Sebenarnya aku agak bingung juga atas sikapnya yang aneh itu. Baru semalam kami bercanda di telepon, ketawa-ketawa, namun mengapa dia berubah hanya dalam sehari. Apa selama ini dia hanya mempermainkan aku? Kuharap tidak. Sebab aku sudah telanjur memberikan hatiku kepadanya.
Sesaat aku membuka halaman-halaman buku harianku. Aku selalu menulis setiap hal tentang Arik. Aku inget saat kami pertama ketemu dulu. Waktu OSPEK, doi satu-satunya senior yang aku kagumi. Orangnya tidak banyak cakap namun ramah, wajahnya terlihat cool dan smart. Itu alasannya aku jadi menaruh hati. Belum lagi Arik jago banget main piano. Bagiku, itu menambah kesempurnannya.
Sedari awal aku sadar kalo Arik itu bukan tipe cowok yang rame dan friendly. Lain denganku yang selalu heboh kalo lagi gaul. Terlalu beda memang. Tetapi setelah aku berusaha menjadi temen deketnya selama beberapa bulan ini, aku belajar banyak hal dari dia. Mulai kedisplinan sampai kesabaran. Bagiku, Arik itu cowok yang spesial banget dari semua yang pernah aku kenal.
“Jangan terlalu mengharapkannya, Lia.” Itu yang selalu Dina, sobatku, katakan. Tetapi aku seakan tak pernah mempedulikan itu. Meski aku telah banyak kecewa akan semua sikap-sikapnya yang sulit ditebak, aku malah bertambah sayang sama Arik. Dia selalu membuat aku penasaran, itu yang kusuka darinya.
Arik terkadang ramah dan enak diajak ngobrol kalo di telepon. Namun kalo kami ketemu, terkadang doi jadi cowok yang pendiam banget, seperti patung ‘Joko Dolog’ yang ada di kotaku. Kami memang belum mengikat apa-apa, apalagi jadian. Mungkin hanya sebatas temen deket. Habis bagaimana, Arik itu terlalu pasif. Sampai detik ini pun aku nggak ngerti apa dia juga menaruh hati kepadaku. Entahlah, aku terlalu lelah memikirkan semua ini. Tak sadar aku sudah terlelap dalam mimpi.
* * *

“Kak Lia. Kak.” Teriakan Marcel adikku membangunkanku dari lelap. Aku lalu membalasnya dengan malas. “Ada apa, Cel?”
“Ada yang cari kakak.” Aku sesaat kaget mendengar suara adik cewekku satu-satunya ini. Kulirik wekerku, astaga sudah jam sembilan! Kemudian aku membuka pintu kamar dan segera aku menjumpai wajah mungilnya ini.
“Siapa?”
“Enggak tahu.”
“Kamu gak tanya namanya?”
“Laki-laki, orangnya tinggi, putih, kurus, rambutnya lurus,...”
“Heh, sudah-sudah. Aku tahu yang kau maksud.”
“Pacar kakak, ya?”
“Ssst! Ngawur kamu. Suruh tunggu sebebentar.” Aku langsung beranjak dan buru-buru ke kamar mandi. Sebenarnya aku sungguh terkejut, buat apa Arik, si Joko Dolog itu pagi-pagi datang ke rumah. Apa ada yang penting, ya?
Setelah kurasa sudah rapi, kemudian aku berjalan ke ruang tamu menemuinya.
“Hai Lia, selamat pagi.” dia menyapaku dulu dengan senyum ramahnya yang khas.
“Maaf, aku lama. Baru bangun, nih. Kamu sih, datangnya kepagian.”
“Oh, jadi aku mengganggu ?”
“Oh, tidak. Tidak. Hanya bercanda. Oh, ya ada perlu apa ?”
Arik terdiam sejenak ketika aku bertanya begitu. Namun beberapa saat kemudian ia mengeluarkan suara, “Apa kamu hari ini ada acara? Bisa nemenin aku jalan-jalan?”
Jantungku rasanya copot mendengar ia berkata seperti itu. Sama sekali aku tak menduganya. Ingin aku melompat saking girangnya, inilah saat-saat yang aku tunggu. Tetapi karena Arik ada di depanku, aku pun diam aja, memastikan apa dia sungguh-sungguh atau tidak.
“Lia, kamu bisa atau tidak?” suaranya yang cool itu menyadarkanku.
Kemudian aku bangkit dan tersenyum kepadanya. “Ok. Ok. Aku bisa. Tetapi dalam rangka apa nih, kamu ngajak jalan?”
Raut mukanya berubah jadi serius ketika aku berkata seperti itu.
“Aku, mau ngomong satu hal ke kamu?”
Betapa hatiku terkejut mendengarnya, jangan-jangan Arik mau nembak aku hari ini. Tapi, enggaklah aku gak mau ‘GR’ dulu.
“Ada satu masalahku yang perlu aku ceritakan......”
Tuh kan, bener. Arik bukan mau ‘nembak’. Melihat wajahnya yang serius itu, pasti ada yang penting banget buat dia.
Di mataku, Arik itu termasuk orang yang tertutup sekali. Mana pernah ia punya temen deket di kampus atau di manapun. Tetapi semenjak dia deket denganku akhir-akhir ini, ia mulai membuka sedikit demi sedikit kepribadiannya kepadaku. Itupun kalo aku tanya, dia mau bercerita atau terkadang dia sendiri malah yang cerita tentang keluarganya.
* * *

Kami sudah sampai di warung kaki lima, taman kota. Cerahnya hari membuat suasana tambah sejuk. Aku kemudian menghampiri salah satu meja diikuti Arik. Perutku keroncongan lalu segera saja kupesan masakan kesukaanku dan Arik memesan bubur ayam. Mataku lalu berkeliling ke sekitar warung itu.
“Tumben, minggu-minggu gini kok sepi ya, Rik ?” aku membuka percakapan dengannya sekedar melepas ketegangan yang nampak dari wajah Arik.
“Eh, tahu enggak, Rik. Waktu kecil aku sering maen ke sini sama ayahku, lho. Pernah ya, aku salah memukul orang. Mulanya aku kira itu ayahku, ternyata bukan. Aku langsung malu dan lari deh.”
“Lia,.... apakah sekarang kamu sedang mencintai seseorang ?” pertanyaan Arik itu rasanya membuat aku pingsan. Aduh, Joko Dolog...... !!!
Aku tidak berani menatap matanya yang penuh tanda tanya yang besar.
“Baiklah. Maaf. Pertanyaanku mungkin terlalu mengagetkanmu. Tapi sekali lagi aku mau minta maaf terlebih dahulu. Ini adalah saat yang mendesak yang harus aku lakukan.” Sekali lagi Arik terus menatapku tanpa berpaling.
“Lia,.... maukah kau jadi kekasihku ?”
ASTAGA ?! Gila!! Kata-kata itulah yang selalu kutunggu selama ini.
“Untuk sebuah alasan apa ?” tak sadar bibirku berucap.
“Ayahku sakit keras dan kemungkinan untuk hidup sudah kecil. Beliau ingin melihat calon istiriku, sebelum.....” Arik tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Kini dia tertunduk dan kulihat satu titik air ada di sudut matanya.
Tanganku mengusap-usap pundaknya.
“Lia, kumohon....”
“Baiklah.” Oh, my God ?! aku mengiyakan untuk jadi kekasihnya ?!!! Apa-apaan ini? Jantungku bahkan berdegup kencaaang sekali.
“Aku janji, setelah itu, aku akan meninggalkanmu dan kamu bebas memilih kekasih, siapapun itu.” Kata-kata Arik yang terakhir inilah yang tidak aku harapkan..... o

Kidung Bingung

Perasaan Tia terus gelisah terngiang kata-kata Sandy tadi sore. Meski detak jam makin cepat berputar serta waktu terus bergulir, namun kata-kata Sandy terus terngiang di benaknya. “Cowok yang naksir kamu itu, bukan Alex, Dio, atau Fadly ! Tapi Randy !”
Benarkah Randy yang dimaksud Sherly itu ? Atau cuma Sandy yang salah tebak ?
Tidak ! Oh, tidak, Tuhan. Jangan Randy ! Cowok possesive itu yang tak tahu memperlakukan seorang cewek. Andai saja, yang dimaksud Sherly itu Alex atau Dio, pasti Tia bisa saja menerimanya meski ia sama sekali tak menaruh hati pada mereka. Tapi setidaknya Tia bisa menolaknya secara baik-baik.
Randy ? Oh ! Nafas Tia kembali berhembus untuk kesekian kali. Bola matanya terus menerus berkeliling mencari jawab. Lamunannya tentang Randy bergulir melewati pikirannya.
Randy. Seorang drumer yang gabung di Bandnya Sandy empat bulan lalu. Seorang cowok yang bisa juga dikatakan cakep. Tapi sikapnya yang agak kasar dan egonya yang tinggi bikin Tia jadi senewen tiap kali dia jemput Sandy, sobatnya seusai latihan. Memang Tia selama ini tidak pernah menunjukkan sikap yang sinis pada Randy. Tapi di dalam hatinya itu tersimpan ketidaksukaannya yang dalam.
“Tia !” suara mama yang terdengar diiringi ketukan pintu membuat wajah imut gadis itu menoleh.
“Iya, ma.”
“Ada telpon buat kamu.”
“Siapa ?”
“Diangkat dulu, dong sayang !” ucapan mesra dari seorang mama yang sangat mengasihi putri sulungnya itu terdengar syahdu seiring musik klasik yang terlantun.
“Sandy ?”
“Bukan ! Kalau dia, pasti mama sudah kenal. Mungkin temen sekolahmu.”
Tia langsung menyambar gagang telpon tanpa berpikir panjang lagi, siapa yang menelpon dia di saat kegalauannya seperti ini. “Halo…….”
“Tia ?”
“Iya, ini siapa, ya ?”
“Ah, masak kamu lupa ?”
“Eh, jangan main-main dong ! Kalau memang cuman main-main besok aja di sekolah ! Halo, siapa sih ini ? Halo,…..” suara Tia yang ketus karena jengkel itu sempat bikin kaget si penelpon.
“Ah ! Begitu saja marah, Non ! Ini Randy !”
Seketika itu juga petir serasa menyambar rumah hati Tia. Sosok yang dia pikirkan tadi kini suaranya telah ada di telinga Tia. Alamak ! Bagaimana ini ? Tia langsung jadi gugup saat itu juga.
“Ada apa, Ran ? Mau tanya nomor HPnya Sandy ? 081 120 04 84. Kebetulan saat ini dia ada di konsernya PADI di Gedung Kesenian !” Salting (salah tingkah) Tia makin menjadi-jadi. Rasanya ia pengen segera nutup telpon itu.
“Lho ! lho ! kok Sandy, sih ? Siapa yang tanya HPnya Sandy ? Orang sudah tahu, kok !”
Wajah Tia makin memerah. Jika saja itu bukan di telpon, pasti Tia sudah langsung menutup wajahnya.
“Aku nelpon, bukan tanya Sandy. Aku cuman pengen ngobrol sama kamu. Kebetulan aku lagi nganggur banget !”
“Memangnya di sekolahmu nggak lagi musim Ulangan Harian, Ran?”
“Musim Duren ada ! Ha….ha…ha……ha…”
Tawa lebar Randy di telpon sama sekali tidak menciptakan kegembiraan sedikitpun di hati Tia. Yang ada di benaknya sekarang, ialah bagaimana cara nutup telponnya agar Randy nggak tersinggung.
“Memangnya kamu besok ada ulangan, Tia ?” pertanyaan inilah yang ditunggu Tia sedari tadi agar ia dapat segera menutup telponnya.
“Oh, iya ! Iya ! betul ! Pasti Sandy udah cerita kalo aku akhir-akhir ini banyak ulangan dan tugas. Besok saja aku ulangan Tata Negara, belum lagi tugas Antro untuk buat makalah.”
“Wah, jadi,… aku ganggu, dong !”
“Eh, Iya ‘sih …”
“OK, deh kalo gitu. Udah dulu ya ! ‘Met belajar, Non Tia ! Malem !”
Lega rasanya saat gagang telpon itu sudah ditutup. Baru saja kakinya melangkah, telepon sudah berdering lagi. Mati, deh ! pikir Tia. Kalau sampai itu Randy lagi,…..
“Ha..lo …. “
“Ada apa, Ya’ ! Kok kelihatannya ragu-ragu ?”
“Uh, kamu, San ! Aku pikir siapa !”
“Siapa emangnya ?”
“Tebak siapa tadi yang barusan nelpon aku ?”
“Sherly ? Alex ? Dio ? Dani ? atau,… Kepala sekolah ?”
“Mending kalo cuman kepala sekolah ! cowok yang kamu ceritakan tadi sore itu, tuh ! Sang drumer possesive kebanggaan goup bandmu!”
“Maksudmu Randy ?”
“Iya ! Eh, ngomong-ngomong kamu lagi di mana ‘nih ?”
“Di rumah. “
“Hah ?! Jadi, bukannya di konsernya PADI ?’
“Konsernya besok, Tia sobatku !”
“Yah ! Aku tadi bohong ‘dong ama Randy.” Tia kemudian menceritakan segala keresahan dan kegugupannya menghadapi Randy barusan. Dengan detailnya, tanpa pengurangan sedikitpun ia luapkan pada sobat tercintanya yang satu tahun lebih muda darinya itu.
“Memangnya kamu besok bener-bener Ulangan Tata Negara ?”
“Enak aja ! emangnya aku tukang bohong ?”
“Yah, bisa saja itu. Namanya juga orang lagi salting !”
* * *
Pagi itu seperti biasa, Tia diantar Papa ke sekolah. Dengan ditemani udara pagi yang dingin, motor Papa melaju memecah keheningan pagi. Meski catatan Ta.Neg. udah ada di tangan, namun sedari tadi Tia hanya melamun saja. Memikirkan cara yang baik untuk menghindari Randy. Untung Randy nggak satu sekolah. Itu yang ada di benak Tia saat ini. Sehingga setidaknya, ia kini bisa konsen pada mata pelajaran.
Tatapan Tia beralih pada gerbang coklat yang besar. Gerbang sekolahnya. Ia lalu turun dari motor dan mengucapkan sepatah dua patah pada Papa.
Kini Tia berjalan menelusuri lorong panjang menuju kelasnya.
“Ya’ ! kamu udah belajar Ta.Neg ?” kata-kata Sherly itu sempet bikin Tia kaget dan menoleh, “Sudah. Emangnya kenapa, Sher ?’
“Ah, nggak ! Cuman tanya doang !” Sherly kemudian menghampiri Bangku Tia dengan masih memegang catatan Ta.Neg di tangan kirinya. “”Ya’ ! Kamu pasti udah tahu dong, cowok yang aku ceritain itu. Yang naksir kamu, …”
“Iya. Sandy udah cerita sama aku, kemarin.”
“Ooh !”
“Bahkan dia udah telpon, saat aku sedang belajar !” gambaran kekesalannya kembali terlukis dalam wajah Tia mengingat kejadian semalam.
Sementara Sherly hanya memandang wajah Tia dengan tatapan berbinar-binar. “Ya’ ! kamu tahu nggak ?! Si Randy itu udah naksir kamu sejak tiga tahun yang lalu !”
“Tiga tahun ?!” alamak ! Berita apa lagi itu ? Hati Tia terus berdegup. “Bukankah dia baru gabung di band kalian, empat bulan lalu ?” kini rasa resah Tia makin mengalir memenuhi hatinya.
“Iya, tapi bukankah juga kalian pernah satu les-lesan, waktu SMP?”
“Ah, iya. Aku baru inget. Lantas kenapa baru sekarang ia ungkapkan perasaannya ? Pakai orang ketiga lagi. Bukan hanya orang ketiga lagi, bahkan orang keempat, kelima, keenam. Semua orang sampai sudah tahu mengenai hal itu !” kekesalan Tia makin menjadi-jadi.
“Tapi Randy itu tipe cowok setia, lho. Dia tidak gampang ‘nembak’ cewek !”
“Bukankah dia itu terkenal sebagai cowok possesive ?! Semua orang yang terlibat di Band kalian sudah tahu itu. Bahwa Randy bisa bersikap demikian, meskipun masih dalam PDKT. ……. Masih PDKT aja udah demikian possesive-nya, apalagi udah ‘jadian’ ?! Nggak kebayang deh !”
“Ya’! Kamu pasti belum tahu ! Randy udah berubah sejak dia putus ama pacarnya.”
“Kapan ?”
“Dua bulan yang lalu !”
Pembicaraan mereka terhenti karena bel masuk udah terdengar. Dan tak terasa, kelas yang tadinya masih dihuni baru dua orang saja, kini sudah penuh.
* * *
Randy udah berubah ? Pikiran Tia melayang sejak ia meletakkan tas sekolah di meja belajarnya. Ia lalu mengingat moment yang terjadi sebulan terakhir. Memang benar. Akhir-akhir ini, Randy nggak pernah lagi membentaknya kalau ia nggak sengaja ganggu latihan mereka. Randy pernah nawarin segelas soft drink padanya. Bahkan pernah memberi Tia boneka panda, saat Tia, Sandy, Sherly dan temen-temen lain lagi JJS di mall.
Tapi bagaimanapun, Tia tidak menaruh hati sedikitpun pada Randy. Pandangan Tia tanpa sengaja beralih pada sebuah boneka panda kecil yang berwarna kuning, terletak rapi diantara deretan boneka lain. “Randy,…. Meski kamu telah berubah sebaik apapun, aku nggak bisa nerima kamu. Aku nggak naruh perasaan apa-apa sama kamu.” Tidak terasa bibir Tia melantunkan kata-kata setelah ia mengambil panda kuning itu dan memain-mainkan ujung hidungnya.
Sesaat lamunan Tia terhenti oleh dering suara telepon. Ia lalu melangkah ke luar kamar.
“Halo,..”
“Selamat siang, non Tia, lagi ngapain ?”
“Randy ?”
“Benar sekali. Akhirnya kamu nggak bentak-bentak aku lagi. Aku seneng lho !”
“Kamu di mana, Ran ?”
“Di rumah. Oh, iya, entar malem kamu ada acar nggak ? Ikut yuk nonton konsernya PADI. Nanti kujemput deh !”
“Eh, tapi….”
“Katanya Sherly, besok nggak ada ulangan. Aku nanti ke rumahmu jam enam, ya. Udah, ya ! Sampai nanti ….!”
Suara Randy telah hilang. Tapi Tia belum menjawab apa-apa. Meski kini dalam hatinya tidak lagi menaruh benci pada Randy, namun dinding-dinding hatinya gelisah dan bingung. Bagaimana nanti kalau Randy ‘nembak’ dia. Tapi,.. ia bukan tipe cowok yang gampang ‘nembak’ ! Serentetan pertanyaan itu terus berjamur di pikirannya.
* * *
Gaun biru itu telah menempel pada tubuh Tia. Sementara tangannya memain-mainkan ujung tasnya. Gelisah menunggu Randy menjemput. Mama kebetulan pergi dan sudah pula mengijinkan putri kesayangannya untuk nonton konser. Pandangan mata Tia tak pernah tetap. Ia terus gelisah. Entah perasaan apa yang ada di hatinya ? Perasaan cintakah ? Entah. Tia terus bingung dan gelisah.
Suara pagar yang sengaja diketuk itu membuat Tia berdiri dan merapikan kembali gaunnya. Ia langsung meraih daun pintu dan keluar dengan wajah berbinar. Setelah ia mengunci pintu depan ia lalu berjalan dan membuka pintu pagar.
“Selamat malam, Tia.” Suara Randy itu membuat Tia makin resah, namun ia berhasil menutupnya dengan sedikit lengkung bibir yang menghiasi wajahnya.
Taxi mereka telah melaju turut ramai malam minggu.
“Memangnya, Sandy nggak cerita apa-apa ?”
“Soal apa ? …. Memang akhir-akhir ini, kami jarang kontak. Habis,.. dia sibuk terus sih !”
“Band kami jadi band pembuka Padi !”
“Masak ? Wah, hebat !”
Tak terasa, setelah melalui berbagai obrolan panjang, mereka telah tiba di gedung Kesenian. Dengan romantisnya, Randy membukakan pintu taxi untuk Tia, sang ‘maha dewi’-nya.
“Memangnya kalian membawakan lagu apa ?”
“Lagu ciptaan Sandy, yang kemudian diaransemen oleh anak-anak.”
“Apa judulnya ?’
“Kidung Bingung.” Mendengar judul lagu itu Tia jadi tertawa terbahak-bahak.
“Lho, kok, ketawa ?”
“Nggak apa-apa ! Eh, itu Sandy !” melihat Sandy, Tia langsung meninggalakn Randy yang kebingungan karna tawa Tia tadi. Dengan sedikit berbisik, Tia berkata pada Sandy dengan cubitan kecil di lengan Sandy, “Kamu jahat. Mau konser ama Padi, nggak bilang-bilang !”
Sambil menahan sakit cubitan sobatnya itu, Randy juga berbisik, “Sorry ! Sorry ! kamunya juga sih, yang sibuk terus waktu kuhubungi !”
Kali ini cubitan yang mendarat di lengan Sandy telah dilepaskannya. “Pakai lagunya orang, lagi !”
“Dari mana kamu tahu ?”
“Tuh !” arah pandangan Tia lalu menunjuk pada Randy yang telah duduk diantara personil BIRU, Bandnya Sandy di depan ruang ganti. Spontan Sandy langsung menarik lengan Tia dan bergeser sedikit dari tempat ngobrol mereka. Seraya masih berbisik, Sandy berkata, “Enak aja ! itu kan lagu ciptaanku sendiri !”
“Tapi, pakai perasaannya siapa waktu itu ?”
“Iya deh ! Aku ngaku, itu perasaan resahmu waktu ditaksir Randy !” Tia langsung terdiam. Pikirannya teringat kejadian waktu itu. Sementara Sandy berbisik lagi, “Eh, tapi, kamu kok mau dijemput Randy, ‘sih ? …. Jangan-jangan kamu udah bener-bener jatuh cintrong, ya ?”
Cubitan kedua langsung ia layangkan lagi ke lengan Sandy, “Hush ! enak aja ! Justru saat ini aku masih bingung. Aku ini bener-bener jatuh cinta, atau hanya perasaan resah saja. “
“San, udah waktunya, nih !” suara mas Franky, manager BIRU membuat pembicaraan Tia jadi berakhir.
“Oh, iya, Ya’ ! Ini,..” Randy mengeluarkan sesuatu dari saku jas hitamnya, “Ini, aku hampir lupa. Ini tiketnya dan ini ada sesuatu buat kamu. Udah dulu ya !” Randy kemudian berjalan menjauh sementara Tia membalas senyum Sherly, bassist group band mereka, yang juga temen sekelasnya.
* * *
Tia kini telah duduk di kursi penonton. Di deretan VIP lagi. Sejenak matanya berkeliling memperhatikan panggung dan penonton lain, wah ! banyak juga ya, yang nonton, gumam Tia. Sesaat kemudian Tia ingat sesuatu. Sesutau yang diberikan Randy padanya. Sebenarnya, ia ingin membukanya di rumah, namun perasaannya terus membuat ia terdorong untuk segera membukanya. Kemudian ia buka bungkusan kado mungil warna biru itu.
Ternyata isinya kalung dengan liontin berbentuk hati, berwarna perak. Di baliknya terselip kartu bertuliskan : “ Aku sayang kamu, Tia ! ... dari : Randy “
Jantungnya kembali berdegup membaca kata-kata itu. Pandangannya lalu beralih pada pentas yang telah diisi oleh personil-personil BIRU BAND. Tatapannya langsung ia tujuakan pada sang drummer. Randy langsung membalas dengan senyuman manis, namun Tia hanya memberi sedikit lengkung bibir karna hatinya yang resah.
Tak lama lagu itu terlantun. “Kidung Bingung” lagu yang melukiskan keresahan hatinya. Sandy, sang vokalis telah mulai masuk ke bait pertama. Tak terasa bibir Tiapun ikut melatunkan lagu itu :

Jalinan hasrat mengais asa yang membumbung
Tak ada yang berani mencuri pandang
Melati di hati terpetik kembali.
Lirikan mata jadi suatu perhentian
Tak ada yang berani menyentuh hati
Mawar berduri menusuk jiwa.
Sementara kegelisahan menghantui,
( reff : ) Bunga-bunga di hati gugur membasahi
Jiwa yang kosong, galau tak terisi.

Ekspresi wajah Sandy begitu menghayati lagu ini. Sementara dengan keseriusannya memperhatikan tempo-tempo, Randy menabuh drumnya dengan tatapan mata yang tak lagi diarahkakan pada Tia.
Hati Tia begitu resah. Ia gigit kedua ujung bibirnya menahan rasa getir. Ternyata cowok seperti Randy, bisa berubah sedemikian baiknya demi mendapatkan cinta Tia.
Tapi bagaimanapun, Tia tidak dapat menerima cinta Randy. Karena dia tak punya perasaan apapun pada diri Randy, apalagi cinta. Namun di lain sisi, Tia takut menolak cinta Randy. Bukan lagi karna dia possesive. Randy kini telah berubah total. Cowok yang dulunya begitu tidak bisa memperlakukan seorang cewek dengan egonya yang tinggi, bisa berubah sedemikian. Tia takut kalau ia menolak Randy, sifatnya yang dahulu bisa-bisa timbul lagi, dan pastilah itu karna tolakan Tia.
Persaan kalut itu terus menerus menghantui perasaannya.
Randy,… andai kamu tahu perasaanku, andai kamu tahu rasa kalutku yang tertuang dalam kidung bingung itu. Tapi, aku takut mengungkapkannya padamu. ……

Cerpen Kontroversial

Hari ini adalah hari yang penuh degup jantung buat Dido. Bagaimana enggak, baru saja ia memasuki gerbang sekolah, terdengar rumpian dari para gadis yang membicarakan cerpen buatan Dido itu. Baru sepuluh langkah, cengengas-cengenges cowok-cowok yang mengutarakan bahwa bodo banget pria bernama Galuh yang mau mati tragis membela mantan kekasih yang sudah mengkhianatinya. Belum lagi warga kelasnya yang ramai juga membahas cerpennya itu, sembari berhias tanda tanya, sebenarnya yang menulis cerpen itu cewek atau cowok hingga sebegitu romantisnya.
“Do’! Gue kan editor majalah. Kok aku gak tahu sih, siapa yang bikin cerpen itu. Lu tahu siapa ?” suara Wewe itu membuat jantung Dido tambah semakin copot. Dido gelagapan menjawab pertanyaan temen satu redaksi majalah skul-nya.
“Eh, e,…Cerpen yang mana sih ?” pertanyaan yang seakan-akan Dido ciptakan untuk menutupi rasa takutnya itu bikin Wewe geleng-geleng, “Masa kamu gak denger? Cerpen halaman 20. Yang hari ini bikin heboh sekolah… Tapi aku seneng kok. Sebagai editor, kayaknya usaha kita gak sia-sia membuat pembaca puas. … Eh, Lu tahu gak ?”
“Oh, yang itu. Enggak. Enggak. Aku gak tahu.”
* * *
Menderita rasanya menahan rasa takut. Dido benar-benar khawatir cerpen-nya itu akan membuat Bunga marah dan gak mau menyapanya lagi. Yang ia lakukan hari ini adalah bagaimana supaya ia gak bertemu Bunga. Dido berusaha keras untuk tidak melewati kelas Bunga dan tempat-tempat dimana doi dan kawan-kawannya nongkrong. Alhasil, Dido cuman mangkal di kelasnya aja.
“Ibu jadi ingat masa-masa SMA dulu. Pacaran SMA memang bener-bener indah. Terus terang Ibu salut sama yang membuat cerpen ini. sayang sekali ia tidak mau menyebutkan namanya..” kata-kata Bu Lina itu benar-benar mengagetkan! Siapa yang nyangka guru cantik dan centil itu juga membaca Cerpen Dido. Pake dibahas di kelas lagi. Bener-bener kurang kerjaan banget nih, guru. Gumam Dido pada dirinya.
* * *
“Aku takut, Stef !” suara Dido yang sedikit gemetar itu berdengung di gagang telpon Stefy, sobat kentalnya. “Sekarang aku nyesel banget buat cerpen itu.”
“Awalnya, ‘kan kamu pengen Bunga tahu kalo kamu masih sayang banget sama dia. Kok, sekarang kamu nyesel, sih ?” dengan posisi terlentang di ranjang, Stefy mencoba mencari jawab, kenapa sobatnya tiba-tiba jadi sangat menyesal. Sementara tangan kanannya merasakan getaran dari telepon selularnya. Sejenak ia lirik layar Hp itu. Tertera nama ‘Honey’ cewek tinggi nan ayu yang udah dia pacari selama setahun. “Eh, iya. Iya, Do. Eh, sebentar ya. Entar kamu ku telpon, deh.”
“Lho, kenapa ?”
“Ini. Doi misscall terus, nih dari tadi.... Bentar ya, Do ”
“Yah, elu! Giliran lagi butuh aja,..lu gak bisa…”
“Janji. Janji, deh. Nanti malem aku yang nelpon. Yah, Do’ ya… Please….”
“Ok! Kalo gitu aku yang sori, nih. Ganggu pacaran lu…”
“Yah… Jangan nyindir, dong! Iya. Iya. Nanti aku nelpon. Sudah dulu, ya…”
* * *
Resah yang mengikat hati Dido kini tambah memuncak. Rasanya, sarapan yang disediakan Mami gak buat dia selera. Sedari tadi ia hanya memandangi piring dengan tatapan kosong. Sementara layangnya terus membumbung, membayangkan hal-hal mengerikan buatnya yang akan terjadi. Mami yang sedang asyik di dapur memperhatikan kelakuan anak bungsunya ini. Tak ada yang Mami katakan, beliau hanya geleng-geleng kepala seakan tahu apa yang dialami Dido.
KRIIING ! KRIING ! KRIING ! ….
Dering itu membuat Dido terjingkat dan spontan ia raih telpon berwarna biru yang berada tepat di sampingnya. “Ya. Halo.”
“Eh,.. kamu, Do.”
“Masih hidup lu, Stef ?’
“Jangan gitu, dong ! Sori. Semalem ketiduran…”
“Gak apa-apa kok. Aku juga lagi nerima telpon dari pacarku. Maklum, kan cari pacar lebih susah daripada bantuin temen….” kata-kata sinis sindiran Dido yang tanpa sadar terucap dari bibirnya itu seketika bikin kaget Stefy.
“Yah ! Jangan gondok gitu, dong! Masak gitu aja marah ?! Bener nih, gak mau terima telponku ?… Aku tutup, loh…” ultimatum Stefy itu benar-benar mengagetkan. Dalam benak, Dido berpikir, daripada BT apa salahnya menerima telpon Stefy. Lagian dia juga butuh banget Curhat.
“Eeit ! Kok kamu yang marah, sih ?! Iya. Aku yang butuh, kok.”
“He…he… Gitu dong !” kekeh Stefy menyejukkan lagi konflik di antara mereka.
“So, What ?” lanjut Stefy sambil mengunyah kue kering buatan Honey, ceweknya.
“Iya, Stef. Aku takut Bunga marah sama aku. Apa yang mesti aku perbuat ? Aku sama sekali gak nyangka kalo cerpen yang kubikin untuk majalah skul-ku itu bener-bener kontroversial ! Bayangin aja ya, dalam sehari kemaren, aku sudah terima 3 SMS, 5 telpon yang nanyain tuh Cerpen bikinan siapa ?”
“Terus, kamu jawab kalo Cerpen itu bikinan elu ?”
“Gimana sih, kamu?! Bego banget kalo aku obral nama. Ya tentu aja kubantah mentah-mentah walaupun agak sedikit nyesel sih, udah bohong... Tapi yang bikin aku heran, kenapa ya, orang-orang pada gak mikir inisialku di bawah Cerpen itu. Yah, tapi bagus aku gak nurut kata-kata lu yang suruh gua nulis jelas-jelas namaku supaya si Bunga gak ‘salah alamat’ ”
Kali ini Stefy mikir, kenapa Cerpen yang hanya Dido beri inisial ‘DK’ itu bikin hebohh warga sekolahnya. Lagian, siapa aja sih yang repot-repot nanya, bikinan siapa cerpen yang dibuat Dido buat mantan-nya itu. Padahal, gak kontroversi-kontroversi amat. Begitu pikir Stefy.
“Lu lupa, kalo isi Cerpen itu beda-beda tipis dengan kejadianku dengan Bunga ?”
“Oke, Do’ nurut aku nih, Bunga gak bakalan marah deh, ama kamu. Kalian kan udah gak berhubungan lagi, maksudku cuman sebagai temen aja selama 2 taon ini, kan ? Lagian, si Bunga katamu udah punya…... Siapa?….. Itu tuh yang bikin kamu cemburu berat…?”
Kata-kata Stefy kali ini mengingatkan sakit hatinya sebulan lalu, manakala dia mendengar dari teman sebangkunya kalo si Bunga itu udah dapet cowok baru. Yang lebih membuat Dido gak terima lagi, cowok barunya itu orang yang pernah Bunga benci semasa mereka masih menjalin hubungan. Memang, Bunga dan Dido telah lama putus. Namun, memang Dido masih cinta setengah mati ama Bunga. Hingga ia nekad mengungkapkan isi hatinya itu melalui cerpen.
Dalam cerpen itu, Dido melukiskan seorang tokoh bernama Galuh yang rela menyerahkan diri kepada gerombolan teroris yang sedang membajak pesawat yang ditumpanginya. Kenekatan tokoh ini dikarenakan para teroris itu hendak menembak Astuti, istri pejabat tinggi yang tak lain adalah mantan kekasih Galuh. Semuanya itu dilakukan untuk membuktikkan masih bermekarnya cinta Galuh, meski Astuti telah mengkhianati cintanya demi satu ambisi. Di akhir cerita, Dido menggambarkan bagaimana derita tokoh Galuh yang berkorban demi melindungi Astuti dari para teroris. Hingga akhirnya Galuh ditembak dengan puluhan peluru dan ia dijatuhkan dari pesawat itu dalam keadaan terluka.
Begitu hebatnya Dido mendramatisir tulisannya itu hingga membuat pembaca tersentuh. Yang lebih membuat pembaca kagum sekaligus penuh tanda tanya besar, apa maksud tulisan di bawah cerpen itu yang berbunyi :
“From the bottom of my heart, To someone who always rock & ‘change’ my world (dk) “
* * *
Derap langkah Dido cepat sekali. Setelah kemarin dan siang ini ia mengalami masa-masa berat buatnya. Ia lewati lorong sekolahnya itu dengan harap-harap cemas, semoga gak ketemu Bunga. Ia terus dihantui perasaan, mengapa ia mesti jadi pengecut? Kenapa sulit banget mengakui kalo cerpen itu buatannya. Entah. Rasa sesalnya itu muncul karena Dido hanya tidak ingin merusak hubungan Bunga dengan cowok barunya. Ia ingin Bunga bahagia dengan cowok barunya itu, meski sakit hati Dido setiap melihat dua bayangan itu sedang melintasi dirinya.
Dalam cerpen itu jelas tertera banyak kata-kata Dido yang pernah ia ungkapkan pada Bunga saat mereka akan putus. Kalimat-kalimat itu diucapkan tokoh Galuh pada Astuti. Jadi, mustahil jika Bunga tidak tahu kalo cerpen itu memang buatan Dido untuknya.
Sebenarnya cerpen itu sudah lama sekali dibuat Dido saat ia masih sangat menyesal diputuskan oleh Bunga. Namun Fa, pimpinan majalah sekolahnya telah menemukan cerpen itu di meja redaksi. Sehingga membuat temennya itu tertarik memasukkan pada majalah yang akan terbit. Mulanya Dido Ok-Ok aja cerpen itu masuk, tapi ia sangat tidak menyangka kalau hasilnya akan heboh. Lagian, ia juga sama sekali tak menduga kalau Bunga akan menerima cinta Zen.
Pandangan Dido pada sekelompok gadis itu membuat lamunannya terhenti. Tak terasa dadanya berdetak lagi, jangan-jangan di antara mereka ada Bunga.
Ia lewati mereka sembari memandang satu persatu wajahnya.
Ia menghela nafas. Thanks God! Gumamnya. Tidak ada Bunga diantara mereka. Kini ia kembali memantapkan langkahnya menuju gerbang sekolah, untuk satu tujuan.
“Dido…”
Entah apa yang membuat Dido menjadi memalingkan wajah mendengar suara itu
Ups!! Bunga ? seseorang yang berusaha mati-matian ia hindari selama dua hari ini, kini telah ada di hadapannya. Kenapa kamu muncul, Bunga? Aku belum siap untuk menjelaskan. Begitu yang ada dalam fikir Dido. Spontan saja ia hentakkan langkahnya lebih cepat untuk pergi darinya.
“Dido ! Tunggu…!” teriakan Bunga tidak dihiraukan Dido.
Namun ia jadi tak tega membuat Bunga mengejarnya. Ia hentikan langkah dan tangan Bunga berhasil meraih bahunya. Dido tidak memalingkan pandangan sama sekali. Kini bukan karna ia pengecut. Hanya saja ia tidak ingin menaruh harapan dalam dirinya sendiri.
Mereka sempat beku dalam beberapa saat. Tanpa ucap. Tanpa pandangan Dido pada Bunga. Dua orang itu saling menunggu salah satu mengucapkan kata.
Namun kali ini, Bunga menyerah. Ia tak kuasa menahan ucapnya, “Aku. Aku masih sayang kamu…, Do’ ”
Dido sangat kaget mendengar desah suara Bunga itu. Ia seakan tidak percaya ! Lalu, Bagaimana dengan Zen? Itu yang ada di hati Dido.
“Aku. Aku sayang kamu, Do.” Meski Bunga telah mengulang kata-katanya itu, tidak membuat Dido sedikitpun memalingkan wajah. Kali ini ia tambah bergegas pergi dari hadapannya. Leleh air mata membasahi pipi gadis ayu itu.
* * *
Di perjalanan pulangnya Dido hanya bergumam, “Sudah terlambat, Bunga ! Kamu sudah menyakiti hatiku…! Sama seperti mantan-mantanku sebelumnya yang juga pernah mengecewakan aku !!”
Dido turun dari mobilnya. Ia masuk dalam satu Kafe yang berisi banyak lelaki-lelaki muda. Suatu komunitas yang punya nasib sama. Sama-sama pernah dikecewakan oleh para wanita.
Dido bergumam lagi dalam pikirnya, “Terlambat Bunga. Aku sudah tidak bisa lagi mencintai seorang gadis. Sejak aku kau putuskan, aku bergabung dengan mereka. Hanya mereka yang tahu semua rasa kecewaku….” Memang telah lama Dido bergabung dalam komunitas gay yang ada di kotanya itu…..

Tragedi Seminggu

“Nggak bisa ! Gimana caranya ? Susah, Rom ! “
“Sssst !”
Suara Jo yang sedikit ngotot itu membuat semua yang di kantin jadi menoleh pada meja mereka. Mungkin saking kesel en betenya kali, Jo jadi salting gitu.
“Udah, Jo ! Sekarang kamu nggak perlu lagi ngomong gitu. Yang penting sekarang, kamu harus bisa cari cara, gimana supaya kamu bisa minta maaf sama Angel !”
Otak Jo yang sedari tadi muter-muter buat cari cara minta maaf ama Angel tiba-tiba terhenti oleh dering bel masuk.
“Benernya sih, perasaanku mengatakan bahwa aku harus minta maaf secepatnya. Tapi, Rom, tiap kali aku berhadapan dengan dia, bibirku ini rasanya terkatup rapat sekali. Susah banget, Rom !”
“Udahlah ! Pokoknya aku nggak mau tahu ! Pulang sekolah nanti, kamu harus sudah bisa minta maaf ama Angel !”
“Kalo nggak, Rom ?”
“Yah, kamu pengecut banget ! Dan temen-temen siap ngejulukin ‘ayam pelari’ buat si tampan en si beken, JO Nathanhaell !”
“Ssst ! jangan keras-keras dong !”. Dengan tanpa menoleh sedikitpun, Romy pergi dengan perasaan kesalnya.
* * *
Di kelas, Jo sama sekali nggak konsen dengan pelajaran Kimia. Memang sih, sebenernya dia nggak terlalu suka ama gurunya yang terkenal kiler itu. Rasa-rasanya lebih banyak pandangan Jo beralih ke wajah putih kalem, dengan bibir tipis yang senantiasa siap melempar senyum ramah pada siapa saja. Angel, andai kamu tahu kesulitan bibirku untuk minta maaf sama kamu.
Pikiran Jo semakin melayang pada peristiwa dua hari lalu. Tatkala ia menelpon pujaan hatinya, yang walaupun sampai sekarang belum berani ia ‘tembak’. Karna PDKT ! itu alasannya tiap kali temen-temen nanya.
Memang sih, Jo suka nelpon Angel tiap malem. Dan hari itu seperti biasa mereka ngobrol-ngobrol tentang banyak hal. Ada aja yang diceritakan. Mulai dari musik, film, olahraga, pokoknya banyak deh ! yah, namanya juga orang lagi PDKT. Sampai pada menit tertentu, Jo bikin kesalahan yang fatal. Entah kenapa, ia jadi salah ngomong dan nyinggung perasaan Angel yang melebihi kehalusan sutra termahal di dunia. Sebenarnya Jo, udah terasa sejak awal Angel menanggapi omongannya itu. Tapi namanya cowok, ya Jo nggak terlalu mikir sedetail dan serumit itu.
Lain Jo, lain Angel. Cewek kalem yang selalu bikin deg-degan Jo itu, jadi gelisah karna kecewa akan omongan Jo. Air yang mengalir dari mata bersinar yang indah itu, membasahi pipi halusnya.
Pikiran Jo makin membumbung tinggi, mengingat setiap kejadian yang bikin dia deg-deg-ser. Setelah Jo menutup gagang telpon itu, ia jadi mikir lagi omongan yang baru saja ia lontarkan pada pujaan hatinya itu.
Ia makin yakin, kalau Angel bener-bener ngambek sama dia. Sebab saat Jo menyapanya pagi itu, ia sama sekali tidak mendapat lemparan senyum indah dari wajah cantik melebihi karya seni abadi. Wah, gawat ! pikir Jo. Maka hari itu rasanya hari terBt baginya sama seperti kemarin, hari ini, entah sampai kapan ia berani minta maaf.
“Coba kau kerjakan, Jo nomer selanjutnya”, Suara Pak Hadi belum saja membuyarkan lamunannya. Namun saat Pak Hadi memanggil namanya lagi, “Jo !” kepalanya yang semula tertunduk pada buku catatan, kini ia angkat dengan tetap Jaim (jaga image) pada warga sekelas. Tapi, kebohongannya itu tak dapat menembus dinding hati Angel yang memandang Jo saat ia mulai menulis-nulis angka dengan spidol biru, warna favoritnya.
Andai kamu tahu, Jo, perasaan hatiku yang terluka. Tapi, bagaimanapun, aku akan selalu membuka pintu maafku padamu Jo, asalkan kau mengetuk dinding-dinding hatiku. Tapi, sampai kapan, Jo, kau akan mengetuk pintu maaf itu padaku. Aku pengen segera membukakan pintu itu untukmu.
Sekarang giliran Angel yang melayang-layang pikirannya. Namun ia masih dapat mengontrol diri dengan tetap konsen pada penjelasan Pak Hadi.
* * *
Pelajaran Kimia sudah berlalu. Jo masih dengan perasaan gelisahnya. Ia keluarkan NOKIA birunya itu. Ternyata ia dapet messages lewat SMS, yang berbunyi : “Jo, nanti sore aku ke rumahmu. (Kris).” Ternyata Kris, sobatnya.
Canda tawa teman-teman Jo memang telah bisa menciptakan lebar lengkung bibirnya. Tapi, sekali lagi itu tak dapat menembus dinding hati Angel. Ia yakin, bahwa itu hanya tawa semu, yang sama sekali lain dari hati Jo. Sesaat Angel menatap mata Jo yang kecoklatan itu. Namun ketika Jo membalasnya, ia buru-buru memalingkan pandangannya.
Rasa kecut bertabur dalam hati Jo.
Sementara tatapan mata dan gerakan kepala Romy untuk mengisyaratkan pada Jo, untuk segera minta maaf, bikin Jo tambah gelisah. Dengan suara berbisik, Jo mendesahkannya pada Romy, “Nggak bisa hari ini, Rom ! Aku belum siap. “
“Terus sampai kapan siapmu ? Sampai ayam jago bertelur ?”
“Ssstt !!”
“Dasar ayam pelari !” kali ini, Romy tidak lagi berbisik, ia mengatakannya dengan suaranya.
“Apa, Rom ?” si gembul, Freedly menimpali, “Si Jo ‘ayam pelari’ ?” dan dengan tawanya yang heboh itu bikin gerrr yang duduk di deretan mereka.
“Tuh, lihat akibatnya seorang ‘ayam pelari’ ! Emang enak ?!”
Ejekan temen-temen Jo bikin tambah resah en miris hatinya. Pandangannya terus menerus ia layangkan pada Angel. Was-was. Kalau-kalau ia sampai menoleh, bisa tambah runyam masalahnya.
“Rom ! Aku nggak suka dengan caramu yang seperti ini. Kalau Angel sampai dengar, aku nggak mau ambil resiko !” bisiknya pada Romy.
“Tapi, Jo, aku kan hanya membantumu !”
“Membantu ?”
“Kalau saja kamu segera minta maaf, pasti aku nggak akan berbuat begini !”
“Andai saja bibirku nggak terkatup, saat di hadapannya, aku juga nggak akan menunda-nunda maafku.”
“Iya ! Tapi sampai kapan ?”
“Entahlah, Rom !”
“Huh ! Jo ! Jo !”
* * *
Sepertinya, rasa Bt Jo ia luapkan pada bola sepak yang ia tendang kencaaang sekali. Kali ini, bukan Gol tujuan utamanya. Namun rasa kalut di dadanya ia luapakan semuanya. Kasihan bola itu ! Andai saja ia dapat berteriak. Pasti ia akan langsung melakukannya.
Romy memegang pundak Jo saat mereka hendak pulang, “Gimana ’ayam pelari’ ? Udah bisa luapkan emosi ?” Jo hanya bisa memandang sengit karna kekesalannya.
“Sampai jumpa ‘ayam pelari’ ! Moga-moga besok kamu udah bisa segera mencapai garis finish !”, teriak Romy saat Jo akan melajukan mobilnya.
“Hoe, cowok cakep, jangan ngebut, lho ! Entar kamu koid sebelum minta maaf !”, Teriakan Romy yang kedua itu sayup-sayup tak terdengar di daun telinga Jo. Dan sedan putihnya itu semakin melaju, turut menghias keindahan senja kota.
Sampai di rumah, langsung ia lempar tas kuningnya di atas tempat tidur. Ia putar keras-keras musik Red hot chili peppers yang makin menambah ke-hot-an hatinya itu.
Jo berbaring di ranjang dengan otak berputar, mencari cara yang baik untuk minta maaf. Angel, andai kau tahu kesulitan hatiku….
Ia pandangi kayu berlekuk dengan susunan senar dan lubang resonansi. Ia ambil alat musik petik itu, ia lantunkan sebait dua bait lagu.
Jo mengungkapkan seluruh isi hatinya. Ia tuangkan dalam sebuah lagu yang ia tulis sendiri.
“…….maaf kasih……maafkan aku………” Sementara ia lantunkan itu, terlintas terus wajah Angel dengan dua ekspresi, satu dengan seyum ramahnya, yang satunya lagi dengan ekspresi dinginnya. Angel….. I want to say sorry,…… but,… but, I can’t ! ……
“Hai, Jo !”, suara Kris membuyarkan lamunannya. Setelah ia menutup pintu kamar Jo, ia menghampirinya dan mengeluarkan buku dari tas birunya. “Ini, Jo, bukumu ! Thank’s, ya !”
“Kamu besok nggak ulangan ?”
“Benernya, ada sih, tapi aku lagi Bt di rumah. So, aku ke sini, yahh….! Untuk sekedar melupakannnya.”, ujar Kris sembari mengeluarkan buku kumpulan sajaknya yang ia buat sendiri.
Dan dua sobat itu menghabiskan senja dengan mengarang lagu. Dengan rasa bt mereka masing-masing. Namun, tak ada diantara mereka yang menceritakan perihal keBt-annya. Tapi yang jelas, tampaknya problem Jo lebih serius daripada Kris.
* * *
Hari-hari telah dilalui Jo dengan perasaan gelisah. Tak ada yang lain yang ia pikirkan, kecuali cara minta maaf. Tiap malam ia susah tidur memikirkannya. Kini, ia jarang telpon Angel lagi. Walaupun di sekolah, Jo sudah bertegur sapa dengannya, tapi perasaan Jo tetap tak enak. Minta maaflah…. Minta maaflah….… Itu yang selalu terngiang di lubuk hatinya yang terdalam. Tapi, kapankah itu bisa terjadi ? Menunggu ayam jago bertelur ? Perkataan Romy yang menjengkelkan itu terus ada di pikirannya.
Gelisah di hati Jo, kecewa juga memenuhi hati Angel. Perasaannya selalu saja ada yang kurang. Seperti ada seseorang yang telah membawanya pergi. Tiap malam, Angel menuliskan perasaannya dalam bait kata-kaya yang indah. Hingga tak terasa, tulisan-tulisan yang melukiskan hati kalutnya itu, kini sudah tebal.
Romy dan teman-teman lain, selalu saja mengejek Jo setiap hari. Tapi, rasanya kini Jo sudah kebal, sehingga ia hanya mencibir saja.
* * *
Ini adalah malam yang mendebarkan. Sudah ia putuskan untuk telpon Angel. Ia angkat gagang itu, dan ia tekan nomornya. Baru beberapa nada panggil terdengar, Jo sudah memutuskan hubungan telpon itu. Hatinya berdebar-debar, takut harus bilang apa dulu sama Angel. Akhirnya ia tekadkan sekali lagi. Ia tekan nomornya, dan telah ada yang mengangkatnya. Ternyata Angel sendiri. “Sebentar, ya, Jo, ini masih ada telpon masuk. Tunggu dulu, ya.” Suara Angel itu bikin greget hati, “Ee,..iya.” Keringat dingin membasahi tubuh cowok tercakep di sekolah itu. Hatinya terus gelisah menanti jawaban Angel lagi. Tuhan, tolong aku... Tolong aku…. Itu yang selalu terngiang di hatinya.
“Iya, ada apa, Jo ?” suara Angel semakin menghentak debar jantung Jo.
“Eh,..ehm… nggak ! aku hanya lagi nganggur dan telpon kamu.”
Sekali lagi bibir Jo terkatup rapat, bagai bunga yang menguncup. Rangkaian kata yang telah ia pikirkan itu telah hilang entah kemana, setelah mendengar suara lembut Angel. Akhirnya yang terjadi hanya obrolan-obrolan biasa. Tak ada kata “maaf” sama sekali. Betapa getir hati Angel. Jo,…. Kenapa ? ……
* * *
Kini telah genap seminggu peristiwa itu terjadi. Dan genap seminggu jualah perasaan gelisah menghantui dua hati, Jo dan Angel. Jo terus mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaan maafnya. Sementara kelembutan dan ketegaran hati Angel selalu setia menanti dan menanti kata maaf yang terucap dari sang pujaan hatinya itu.
Kris telah meyakinkan hati Jo untuk segera minta maaf dengan menemuinya langsung. “Tapi, Kris, nggak bisa ! Susah !” Itu yang selalu Jo ucapkan. “Jo, kamu harus bisa !”
“Bagaimana kalau telpon, Kris ?”
“Itu sih, terserah kamu ! Asalkan kamu berani mengungkapkan, It’s Ok !”
“Baiklah, kris….” Dengan perasaan mantap, Jo bertekad untuk telpon Angel sekali lagi. “Jo, aku percaya, kamu pasti bisa ! Good luck, sobat !”
Sepulang Kris dari rumahnya, Jo langsung menekan nomor telpon gadis dambaan hatinya. “Halo, Angel,….”
“Iya, Jo….. Ada apa ?” dengan perasaan gelisah, Angel menjawabnya.
“Angel,…” meski keringat dingin telah basah di sekujur tubuh, tapi kali ini, Jo dengan mantap dan bibir tak lagi terkatup, ia coba ungkapkan perasaan hatinya meski harus melewati serentetan obrolan sebagai tumbal pembuka.
“Angel, maaf, waktu itu,… aku hanya bercanda. Waktu aku ngomong bahwa aku nggak serius, itu hanya candaanku. Tapi, kau terburu menduga bahwa selama ini aku hanya mempermainkanmu. Angel, itu nggak bener. Selama ini aku serius. Bener Angel ! Maafkan aku, ya….. “
“Jo, aku sudah maafkanmu sejak awal. Namun, aku hanya seorang wanita yang harus menunggu jawaban maaf dari seorang pria. Kini, kau telah berani mengetuk pintu maafku, dan dengan tulus hati, kubukakan bagimu, Jo Nathanhael,….. “ Perasaan lega terhembus dari nafasnya.
“Terima kasih, Angel…..”
Jo telah lega mengungkapkan itu semua. Kini hanya perlu menunggu dan menanti saat yang tepat untuk mengungkapkan cintanya pada Angel. Tapi, sampai kapan ? ……..

Arigato Gozaimasu

Teh yang kuseduh ini terasa hangat, sedikit melonggarkan bebanku. Dalam benak aku terus terngiang kata-kata Yudhi. Aku takut dia tersinggung dengan ucapan Mami tadi. Terkadang aku merasa heran dengan kedua ortuku, mengapa di jaman serba modern ini mereka masih tetap tidak setuju pada hubunganku dengan Yudhi. Padahal aku sudah berusaha menjelaskan bahwa kami tidak pernah melakukan hal-hal yang di luar batas norma. Cium pipi saja tidak pernah. Paling kami hanya bergandengan tangan. Itu pun baru kami lakukan pada saat-saat tertentu.
Aku heran mengapa Papi dan Mami tidak memberiku kepercayaan untuk menjalin hubungan dengan seorang cowok. Aku merasa kalau aku sekarang sudah besar dan cukup dewasa untuk mengatasi semua problem hubungan berpacaran. Aku bahkan telah menginjak usia 18.
Aku kini menyesal mengapa aku cepat memutuskan untuk mengenalkan Yudhi pada Papi dan Mami. Mulanya aku berpikir, kalau waktu setahun usia pacaran kami sudah cukup untuk diketahui mereka. Memang kami sempet ‘backstreet’, namun Yudhi terus mendesak agar sebaiknya aku berterus terang.
Kenyataan tidak seperti yang aku bayangkan. Tadi sore, saat dengan gembiranya aku mengenalkan cowok ceking hitam manis itu, ternyata ortu-ku langsung menunjukkan sikap antipati pada Yudhi. Mulanya aku tidak merasakan hal itu. Namun saat dia aku ajak makan malam, semeja dengan papi, mami dan kedua kakakku, aku langsung sadar kalau kehadiran Yudhi tidak terlalu dipedulikan. Kayaknya Yudhi bener-bener dicuekin. Aku jadi tidak enak padanya.
“Percuma saja hubungan kita diteruskan. Mami Papi-mu tidak akan pernah setuju. Mereka benar. Kita memang berbeda...”
Itu yang Yudhi katakan sebelum dia pulang. Bagaimanapun aku tidak ingin kehilangan dia. Waktu setahun bukan waktu yang cepat. Setahun itu lama sekali. Dalam waktu itulah aku dapat mengenal Yudhi, begitupun sebaliknya. Dalam waktu itulah aku merasa kalo Yudhi orang tepat bersanding denganku. Ia selalu dapat mengerti diriku.
Sejak kecil, aku memang terbiasa hidup enak dengan uang ortu, dan tanpa sadar mereka menanamkan dalam pola pikirku bahwa semua dapat diselesaikan dengan uang. Namun saat aku bertemu Yudhi, aku belajar banyak darinya. Ia mengajarkan kepadaku tentang menghargai uang, menghargai waktu dan terutama menghargai orang lain.
Yudhi terbiasa hidup mandiri sejak kelas dua SMP, hingga kini, kami baru lulus SMU, ia masih mandiri. Hal itulah yang membuat aku jatuh cinta kepadanya. Ia begitu dewasa dan dapat menjaga diriku. Sedikit demi sedikit sikap-sikapku yang negatif mulai pudar. Jadi Yudhi sangat berpengaruh besar terhadapku.
Tak terasa mataku terasa berat sekali. Aku lelah memikirkan masalahku dengan Yudhi. Akhirnya aku terlelap.
* * *
“Pagi, Mi!”
“Mau kemana pagi-pagi, Reina?”
“Em,.. Reina mesti urus regirtrasi mahasiswa baru kan, Mi. Reina mesti memberikan ijazah ini dan banyak hal.” Akhirnya aku menemukan alasan yang bikin Mami percaya.
“Sama siapa, kamu pergi ?”
“Dengan Tri. Ya udah Rein mau berangkat dulu..” aku berkata sambil lalu, setelah melihat jam tanganku sudah menunjukkan jam sepuluh pagi. Sebenarnya hari ini aku bermaksud ke kos-kosannya Yudhi. Tentu kalo aku berterus terang, Mami tidak akan mengijinkan, karena semalam kedua ortuku itu benar-benar mengultimatum bahwa aku tidak boleh berhubungan lagi dengannya. Seperti biasa, mereka hanya melihat materi. Yudhi memang orang yang sederhana, bahkan ia tidak kaya. Aku belum mengetahui dengan jelas mengenai asal-usulnya. Tetapi ia selalu bercerita mengenai keluarganya. Tentang Bapaknya yang berwibawa, ibunya yang bijak dan adik perempuannya yang lucu. Yudhi tidak pernah cerita tentang materi keluarganya.
“Kamu serius mau ke Yudhi?” pertanyaan Tri itu tentu membuat aku aneh.
“Tentu saja, Tri. Aku serius dengannya.”
“Tapi, bagaimana dengan Papi Mami-mu?”
“Aku tidak peduli! Aku udah besar. Saatnya aku menentukan masa depanku sendiri.”
Mobilku aku lajukan kencang menuju jalan Kembang Sepatu, temapt Yudhi kos. Hanya satu yang aku pengen, memeluk Yudhi erat-erat saat kami nanti bertemu.
“Oh, ini tempat Yudhi kos?” kata-kata Tri itu tampak sekali kalo sedang mengejek. Ia seperti keluargaku yang lain, selalu melihat sesuatu dari segi materi. Papanya teman bisnis ayahku, jadi kami berteman sejak kecil.
“Sudahlah, ayo masuk!” aku lalu segera menggan dengan tangnnya itu dan segera menuju ke ruang tanu kos-kosan itu. Aku melihat Beni menyapaku dengan ramah.
“Yudhi-nya ada, Ben?” entah kenapa setelah mendengar pertanyaanku itu raut mukanya langsung berubah. Ia lalu menyilahkan kami berdua duduk.
“Maafkan Yudhi, ya, Rein.”
“Kenapa ?”
“Dia sudah berangkat ke bandara. Hari ini dia mesti ke Jepang.”
“Ke Jepang? Mengapa ia tak pernah...”
“Kata dia sih, belum sempat mengatakannya itu semalam padamu. Oh iya. Ada titipan darinya, sebentar, ya.”
Beni berdiri dan berlalu menuju ke kamarnya. Sementara tubuh ini langsung lemas dan merebah di bahu Tri. Ia mengusap rambutku. Tak kuasa aku menahan tangis. Sedih rasnya. Sesaat aku berdiri setelah melihat Beni menyodorkan sesuatu.
“Tetapi katanya, ia mesti ke Malang dulu, ke rumah neneknya. Jadi ia tadi pergi ke stasiun jam 2 pagi dan baru balik ke Surabaya jam.... Yah, mungkin siang nanti, Rein.”
“Ia tidak berkata apa-apa untukku?”
“Ia tidak sempat. Hanya Organizer dan sepucuk surat ini yang dia berikan. Katanya itu mesti aku berikan padamu.”
“Barang-barangnya?”
“Ia sudah meringkas dan membawanya pergi semua.”
Mendengar itu aku jadi bertambah putus asa. Rupanya semalam adalah pertemuan terakhirku bersamanya. Entah kapan lagi aku akan memandang wajah imutnya lagi.
“Terima kasih, Beni.” Setelah berpamitan aku memutuskan untuk pulang. Aku tidak tahu, hatiku merasa pilu. Rasanya untuk membuka pintu mobil saja aku tak kuat. Tri lalu mengisyaratkan sebaiknya dia saja yang menyetir. Saat aku mulai masuk aku mendengar Beni berteriak dari jauh.
“Rein, pesawatnya mungkin sekitar jam satua-an.”
Mataku langsung kutujukan ke arah jam yang aku pakan di tangan kiriku. Ternyata sekarang masih setengah satu.
“Tri kita bandara.”
“Tapi itu jauh. Butuh satu jam paling tidak kita sampai ke Juanda.”
“Ayolah, please.. Jangan menambah bebanku, dong!”
“Oke.” Mobilku langsung dibawa Tri melesat meninggalkan perkampungan kumuh, tempat Yudhi kos. Aku berharap, pesawat itu datang terlambat hari ini. Paling tidak, aku bisa memeluk Yudhi untuk terakhir kali. Sementara Tri konsen dengan kemudinya, perlahan aku membuka organizer Yudhi. Semua tampak rapi. Halaman depannya ia tempel foto kami. Ia nampak sayang sekali padaku. Akhirnya aku memutuskan untuk membaca suratnya terlebih dahulu, siapa tahu ada pesan penting di situ.

Dear Reina,
Aku minta maaf kalo aku enggak sempat memberitahukan ini kepadamu. Sebenarnya aku mendapat surat dari keluargaku di Jepang, bahwa ibuku sakit, kata Bapak lebih baik aku kuliah di sana, sebab ibu sudah kangen padaku. Surat itu telah aku terima 3 hari yang lalu, namun aku lupa membukanya. Baru sore, sebelum aku ke rumahmu, aku membacanya. Aku juga minta maaf, kalo selama ini aku tidak pernah bercerita mengenai keberadaan keluargaku.
Reina, maafkan aku, ya...
Selama ini Bapak, Ibu, dan Ryoko adikku, mereka telah tinggal di Tokyo.
Bapak seorang Jawa tulen yang menikah dengan wanita Jepang, Minami Matsuda.
Aku tidak menceritakan hal ini padamu, karena aku tidak ingin materi turut jadi pertimbanganmu untuk menjalin hubungan denganku.
Aku salah, ternyata kau tetap sayang padaku siapapun diriku.
Kalo aku sudah sampai ke Jepang, aku janji akan segera e-mail kamu.

Sayangku selalu untukmu,
Kawaguchi Yudhi Setiawan

Aku begitu kaget membaca surat Yudhi. Aku tidak menduga sama sekali kalau Yudhi seorang blasteran Indo-Jepang. Memang kulitnya putih, tetapi kalau dilihat matanya yang lebar itu, lebih mirip seorang Jawa tulen. Ia mungkin mewarisi wajah ayahnya. Aku kini jadi ingat, nama ‘Kawaguchi’ itu selalu ia singkat “K” di absen sekolah dulu. Meski diejek dengan sebutan yang aneh-aneh, ia tak pernah mengakuinya. Entah kenapa.
Meski aku meneteskan air mata, aku masih juga sempet ketawa kecil, ternyata pacarku seorang Jepang. Melihat itu, Tri jadi heran.
“Kok ketawa? Katanya sedih?....”
“Tidak apa-apa.” Aku tidak mau orang-orang tahu kalo Yudhi seorang indo. Lebih baik aku merahasiakan sampai datang waktunya.
Jam menunjukkan jam 1 lewat 20, saat mobil sudah terparkir. Kami lalu bergegas masuk ke bandara. Jantungku berdegup kencang, sepertinya aku nervous banget. Aku benar-benar bersyukur saat aku dengar pesawat yang berangkat ke Tokyo hari ini terlambat, karena masalah cuaca.
Tapi, dimana Yudhi? Aku belum melihatnya. Aku kemudian meraih ponsel yang ada di tasku. “Yudhi, kamu dimana ?”
“Reina, aku di bandara...” suaranya terdengar parau.
“Iya, tapi di mana? Aku mencarimu.”
“Reina, kau..”
“Iya, Yudhi, cepat katakan kau di bagian mana ?” aku memegang ponsel sambil berjalan mencari cowok putih yang membuat hatiku tertambat.
“Aku ada di....” belum sempat ia meneruskan kata-katanya aku sudah melihat Yudhi di hadapanku. Ia duduk di salah satu kursi. Aku langsung berlari menghampirinya, aku peluk ia erat-erat dan air mataku meleleh.
“Reina, maafkan aku..”
“Sudah. Tidak apa-apa, aku sayang kamu, Mr. Kawaguchi!”
Ia menghapus air mataku, dengan senyuman haru.
“Kapan kau kembali ?” setelah beberapa menit kami terdiam, akhirnya kutemukan tanya.
“Empat tahun.”
“Oh! Lama sekali!” mendengar itu aku kembali memeluknya erat-erat. Aku merasa waktu itu begitu lama, apalagi keluarganya tinggal di sana. Namun aku mesti merelakannya demi dia. “Aku akan tetap setia.”
Kemudian ia mengeluarkan cincin dari jari manis kanannya. Ia masukkan itu ke dalam jari manisku. Aku menatapnya dengan wajah penuh keharuan.
“Ini sebagi bukti janjiku. Tunggu aku, Rein. Aku pasti kembali.”
Aku kemudian mengangguk. Kemudian terdengar pengumuman bahwa pesawat ke Tokyo segera berangkat. Aku peluk dia untuk kesekian kali, tetapi yang ini lebih erat karena untuk yang terakhir. Tak terasa saat aku memejamkan mata, ia melepaskan pelukanku dan masih dengan mata terpejam aku merasakan bibirku basah oleh sentuhan bibir lain. Oh, dia menciumku! Aku merasakan cinta yang dalam sekali.
Setelah itu ia mengangkat kopornya dan berjalan berlalu dari hadapanku. Aku hanya membisu. Baru setelah dia beberapa meter dariku, kulambaikan tanganku dan kuteriakkan satu-satunya bahasa Jepang yang aku mengerti.
“Arigato gozaimasu!”
Sejenak ia menoleh ke arahku dan melambaikan tangannya juga. Ia tersenyum. Manis sekali. Kemudian aku merasakan sebuah tangan meraih bahuku dan memelukku. Aku bersandar di bahunya.
“Tri, dia pergi” aku menangis lagi “Jangan katakan pada Papi, Mami kalo ia ke Jepang, ya. Kalo mereka tanya ke kamu, bilang saja ia pergi ke luar kota, entah kemana.” Tri kemudian mengangguk dan membawaku pulang. Meski aku sedih, namun dalam benak aku merasa yakin, kalau dia tak akan jauh dariku. Karna dia dekat dalam hati.
* * *
Seminggu aku lalui tanpa kehadiran Yudhi di sisiku. Aku sudah menerima e-mailnya bahwa ia sampai dengan selamat di sana. Ibunya begitu gembira saat Yudhi datang. Yudhi juga mengirimkan foto keluarganya di e-mailku. Aku memandanginya beberapa waktu. Benar-benar keluarga yang bahagia, begitu pikirku.
Aku menoleh, setelah mendengar Mami membuka pintu kamarku. Aku melihat wajahnya begitu serius.
“Papi-mu ingin berbicara padamu.”
“Ada apa?”
“Sudahlah. Ayo, dia ada di ruang tengah untuk menunggumu.”
Aku kemudian berjalan dan menemui Papi. Beliau sangat serius. Jantungku berdegup. Aku hanya diam mendengarkan kata-katanya.
“Reina, kau harus membatalkan niatmu kuliah di Universitas itu.”
“Papi tidak setuju ?”
“Atasan Papi yang ada di Jepang memberikan hadiah pada Papi. Ia memberikan biaya pendidikan kuliah di Tokyo. Jadi ayah tidak bisa menolak pemberian atasan ayah itu. Kau harus segera ke sana.”
Entah perasaan apa yang ada, hatiku melonjak kegiarangan mendengar kata-kata Papi barusan. Tokyo?! Mimpi apa aku bisa pergi ke sana, bukankah itu tempat tingal Yudhi. Papi kemudian memelukku. Ini yang pertama, mungkin. Beliau merasa sedih. Namun tidak bagiku. Aku kini bahagaia dalam pelukan papi, karna aku tidak akan berpisah dengan Yudhi.
“Kapan Reina mesti berangkat, Pi?”
“Atasan Papi memberi tiket pesawat bulan depan...” kali ini setelah mendengar kata-kata Papi, giliran Mami yang memelukku. Mereka merasa kehilangan sekali. Sebenarnya aku juga sedih berpisah dengan mereka.
* * *
Aku sudah ada di bandara menunggu pesawat ke Tokyo. Sedari tadi Mami terus memberikan petuah-petuah. Tampak sekali beliau sangat khawatir. Aku kemudian meyakinkan pada kedua orangtuaku, bahwa aku akan baik-baik saja. Meski aku tidak bisa bahasa Jepang, tetapi aku fasih dalam berbahasa Inggris. Tri yang ada di sampingku, terus tersenyum. Lalu aku mengisyaratkan agar ia diam. Aku tidak ingin Papi-Mami tahu kalo Yudhi juga sedang berada di sana.
Aku juga tidak memberitahu Yudhi kalau aku akan ke Tokyo. Aku ingin memberi surprise padanya nanti, begitu pikirku. Setelah terdengar pengumuman, aku lalu memeluk kedua ortuku, satu-satu. Kini aku juga merasa sedih berpisah dengan mereka. Aku kemudian berjalan menuju pesawat. Kulihat Papi dan Mami meneteskan air mata, melepas kepergianku.
Ternyata perjalanan ke Tokyo begitu melelahkan. Baru pertama aku ke luar negeri sendiri dan agak jauh. Biasanya bersama keluargaku, paling juga ke Singapura atau Batam dan itu sangat jarang.
Aku memandang sekeliling bandara. Aku harus mencari Yochi yang akan menjemputku. Kata papi, dia adalah anak atasannya. Aku tidak tahu wajahnya, karena Papi tidak menunjukkan fotonya. Tetapi aku tidak khawatir, sebelum atasannya kemarin kembali ke Jepang, Papi memberikan fotoku agar Yochi mengenalku saat menjemput.
Sudah lima menit aku mencari orang yang akan menjemputku, namun aku tak menemukan. Aku memutuskan untuk menunggu sambil duduk. Kuharap Yochi, anak atasan Papi itu dapat melihatku.
Sepuluh menit, lima belas menit, sampai satu jam, aku menunggu namun tak kunjung datang. Aku merasa putus asa sebab aku tidak mengenal siapapun di Tokyo ini. Tak terasa aku menangis karena takut. Aku lalu menundukkan wajahku.
“Can i help you, miss ?” aku mendengar satu suara yang ramah. Kemudian aku menghapus air mataku.
“Yes. I looking for....” belum selesai aku meneruskan kata-kata ternyata aku melihat Yudhi yang ada di depanku. Kami hanya terdiam beberapa saat, setelah kemudian ia memelukku.
“Sori. Aku tidak memberitahumu, aku ingin kasih surprise, Yud.”
Yudhi hanya tersenyum. Lalu kulanjutkan ceritaku,
“Papi mengirimku ke sini karna ia dapat sejumlah uang dari atasannya untuk menyekolahkanku di sini. Dan sekarang aku menunggu...”
“Anak atasan papimu?”
“Ya. Mr. Gaguk Sudjatmiko. Anak lelakinya itu katanya akan menjemputku jam....” kalimatku lalu terhenti melihat sikapnya. Ia berjalan mundur dan membungkukkan badan, seperti layaknya orang Jepang, ia raih tas-tas koporku serta mengucapkan satu kalimat kepadaku.
“Yochi siap membantu anda untuk mengantar ke apartement.”
“Jadi kamu,...”
“Aku juga baru tahu bulan lalu saat aku bertandang ke kantor Bapak. Aku melihat nama ayahmu di buku kerjanya. Kemudian aku menceritakan semua tentang kita, semua tentang sikap ayahmu yamg sombong itu dan...”
Aku langsung memeluk dia. Kejutan apa lagi ini ? Kenapa semua baru kuketahui saat ini?! Tentu saja ayah akan merestui hubungan kami.
“Jangan beritahu ayahmu dulu, sampai tiba waktunya.” Kata-kata Yudhi itu seakan dapat membaca pikirku.
“Kamu tidak akan memecat ayahku, kan?” aku lalu berseloroh. (*)



Arigato gozaimasu = Terima kasih

17+

“Good morning, students!” suara Mrs. Rini, wanita bertubuh tinggi itu sedikit mengusik. Semula kelas yang dihuni 35 siswa itu terdengar gaduh. Maklum baru pertama kali mereka bertemu di Cawu kedua kelas tiga ini. Kehadiran guru itu sedikit menoreh tanya dalam benak mereka. Kira-kira pelajaran apakah yang akan ia ajarkan.
“This is my first time to meet you in this class.”
Sepertinya semua mata menatap dengan seksama ke depan. Ia beruntung dapat dengan cepat menarik perhatian penghuni kelas dengan program IPS itu. Karena kelas ini dikenal dengan kelas yang bandel meski selalu juara diantara kelas-kelas lain. Banyak guru yang sudah angkat tangan menghadapi kelas satu ini. Sebenarnya nakal mereka yang wajar-wajar saja. Namun yang bikin mereka beda adalah kenakalan mereka itu lebih kreatif alias usilnya minta ampun dengan guru. Kepala sekolah tidak terlalu ambil pusing, karena keusilan itu diimbangi dengan prestasi yang patut diacungi dua jempol sekaligus
“Saya menggantikan Mr. Wiliam yang melanjutkan studi ke Jerman. Karena baru pertama kalinya, so i want to know your name, one by one.” Guru itu mengenakan setelan baju kerja berwarna pastel. Rambutnya yang ia ikat rapi itu menambah keanggunannya.
“Kalo Pak Wiliam pergi, enggak ada Bahasa Inggris lagi dong! Ibu terus ngajar apa?” pertanyaan konyol keluar dari mulut Bagda yang agak tulalit itu bikin ‘gerr’ penduduk kelas. Melihat semua pada ketawa, dia hanya cengar-cengir aja sambil garuk-garuk.
“Tulalit banget sih, lu!” timpal Hendro, sang Ketua kelas.
“Ok, silent, please. Saya akan segera meng-absen, jadi harap tenang”
Sesaat Andri yang duduk paling belakang menepuk bahu Yuke, yg terkenal dengan segudang ide gilanya ngerjain guru.
“Yuk, oke juga nih, guru ini.” Yuke hanya mengangguk dan mengulum senyum sembari mengangkat alis.
“He. Jangan-jangan di otakmu udah bercokol ide”
“Bukan Yuke kalo enggak penuh ide gila?!”
“Apa?”
“Sst!”
Yuke memang jahil. Namun yang bikin orang enggak pernah benci padanya, karna keusilannya itu masih dalam norma-norma kesopanan. Itu yang bikin dia beda dengan yang lain. Wajahnya tidak terlalu tampan, meski kulitnya putih. Namun jika dipandang wajahnya selalu nampak manis. Karenanya dia masuk dalam daftar cowok keren di sekolah itu.
“Excuse me, mom!” Yuke mengangkat tangannya.
“Yes please,” guru itu mencari darimana suara datang. Kemudian pandangannya langsung ke arah Yuke.
“Can i know your name” tampangnya ia pasang sok cool abis.
“Oh, sure. Sorry, i forget it.” Wanita itu lantas mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di white board kelas.
“Rini Suratmi Warsito...? It’s beautiful!” cara pengucapan Yuke kali ini sungguh terasa dibuat-buat. Jika didengar telinga, seperti suatu ejekan. Karna itulah, seluruh warga kelas jadi ketawa habis-habisan dengan celoteh Yuke itu.
Mulanya Mrs. Rini agak tersinggung dengan pengucapan Yuke, namun kemudian ia ingat semua wanti-wanti dari para guru mengenai kelas ini. Sejenak ia menghela nafas dan berkata bijak kepada Yuke, “Thank you, Mr.....”
“Yuke.”
“Oh sure. Tapi lain kali saudara mesti agak sopan, ya.”
“Maaf, Mam. Saya tadi hanya bercanda, jadi maafkan saya.” Kata-kata Yuke tadi sedikit mengagetkan Mrs. Rini. Ternyata anak ini ‘gentle’ juga. Ia berani mengakui kesalahannya. Di dalam hati Mrs. Rini menyimpan simpatik pada Yuke.
* * *

Kehadiran Mrs. Rini di sekolah ini ternyata mendapat hati para siswa. Keanggunannya yang alami seta keramahan dan kesabarannya itu menjadikan dia dihormati. Mrs. Rini seorang yang ‘friendly’ dengan para murid, tetapi jika mereka melakukan kesalahan, wanita berwajah ayu ini tak segan dengan tegas memberi sanksi. Semuanya itu membuat dia tidak pernah dibenci tetapi malah semakin disayang.
Begitu pula dengan Yuke. Cowok jangkung berkulit putih ini diam-diam menyimpan hati pada Mrs. Rini. Menurut Yuke Mrs. Rini sangat beda dengan guru-guru yang lain. Dia tidak hanya dapat memberi materi pada murid, tetapi juga dapat mendidik dan menyayangi mereka seperti anak-anaknya sendiri.
“Sejak kecil saya yatim piatu. Saya tinggal di panti asuhan dan harus berjuang menghadapi hidup sendiri.” Yuke ingat kata-kata Mrs. Rini beberapa waktu lalu. Sejak saat itu ia menjadi salut pada guru bahasa Inggris ini. Menghadapi hidup sendirian itu sama sekali tidak mudah. Apalagi jika dibandingkan dengan dirinya yang apa-apa selalu tergantung pada kedua orangtua meski ia juga nge-kos di kota itu.
Dari Mrs. Rini, Yuke belajar banyak hal. Yuke juga sering bertukar pikiran dengannya, karena Mrs. Rini orang yang enak diajak bicara.
“Yuk!” suara Andri yang nge-bass itu membuyarkan lamunannya. Ia lalu menurunkan kaki dari bangku dan memeperhatikan temen sekelasnya ini.
“Ini berita terbaru, Yuk!” Andri membentangkan tangannya berekspresi.
“Berita apa?”
“Mrs. Rini.”
“Apa?”
“Aku melihat dia di lokalisasi!” kata-kata Andri membuat Yuke terbelalak.
“Kamu jangan ngomong sembarangan! Dia kan lagi seminar?!”
“Bener kok. Kemarin aku melihat dia berbincang-bincang dengan para pria hidung belang.”
“Kamu lihat dimana?”
“Dimana lagi tempat lokalisasi di kota ini...” Andri kemudian berpaling.
“Terus, buat apa kamu kesana?”
Mendengar pertanyaan Yuke ini, Andri jadi berbalik lagi dan mendekatkan dirinya ke Yuke, “Ssst!! Jangan keras-keras. Suer! Aku enggak ngapa-ngapain. Aku kan,... aku... aku, cuman lewat !”
“Jangan-jangan malah kamunya yang...”
“Eh, sembarangan!” Andri kemudian berlalu dari hadapan Yuke. Ia tidak terlalu percaya dengan omongan Andri itu.
Yuke lalu berpikir sejenak. Memang gosip itu baru beredar di sekolahnya kemarin. Dia sendiri dengar dari adiknya yang duduk di kelas satu. Tidak jelas siapa yang menghembuskannya. Yuke selama ini cuman cuek bebek aja. Karna Yuke tahu Mrs. Rini gak mungkin terlibat hal-hal aneh seperti itu.
Yuke lalu berjalan keluar kelas. Ia kemudian lewat di depan koperasi sekolah. Ia mendengar bisik-bisik di ruang guru yang berada tepat di depan Koperasi.
“Nggak nyangka ya, wajahnya aja yang baik-baik, tetapi ternyata...”
“Iya. Nggak cukup mungkin gajinya jadi guru. Hati-hati aja sekarang deh sama Bu Rini itu. Jangan-jangan sekarang di gak masuk gara-gara kecapekan malamnya.”
“Dasar Pelacur!”
Yuke langsung terperanjat mendengar kata-kata terakhir dari perbincangan guru-guru itu. Dia langsung berlari ke kelas. Hatinya dipenuhi gejolak dan tanda tanya besar, sebenernya apa yang sedang terjadi. Apa benar Mrs. Rini, pujaan hatinya itu seorang wanita tuna susila seperti yang diomongin orang-orang satu sekolah saat ini. Yuke kemudian tertunduk lesu. Menyesal sekali Mrs. Rini sedang seminar selama 4 hari sehingga ia tidak bisa langsung menyelidiki dan bertanya kepada Mrs. Rini perihal kebenaranannya.
Angannya melayang jauh mengingat kejadian seminggu lalu, saat Yuke bertandang ke rumah Mrs. Rini. Beliau menerima Yuke dengan sangat ramah. Ia membagi cerita tentang masa kecil dan masa-masa sekolahnya dulu dengan Yuke. Dalam benak Yuke ingin berterus terang kalau dia jatuh hati dengan gurunya ini meski ia tahu perbedaan umur yang terlalu jauh.
Yuke belum mengatakan apa-apa pada Mrs. Rini, kalau dia cinta. Yang ada di benaknya saat itu adalah ingin mengenal Mrs. Rini lebih lagi. Ternyata cowok ini berhasil. Melalui obrolan mereka itu, Yuke mulai mengenal sedikit demi sedikit kepribadian Mrs. Rini. Ia jadi bertambah simpatik padanya.
Bel pulang itu tidak membuat girang hati cowok ini. Ketika ia sudah sampai di rumah, ia bertambah resah akan semua perasaannya. Yuke mesti menunggu 2 hari lagi untuk bertanya kepadanya. Menurut Yuke orang yang menyebarkan berita itu licik. Ia menunggu Mrs. Rini tidak ada di sekolah baru menghembuskan gosip itu.
Yuke kini ingat kalo Mrs. Rini pernah bercerita bahwa di sekolah Yuke itu ada beberapa kelompok guru yang tidak suka kepadanya. Tampaknya mereka iri, karena kelompok guru-guru itu tidak terlalu disukai oleh para murid. Mrs. Rini juga bilang bahwa mereka akan menghalalkan berbagai cara untuk menyingkirkan dirinya.
Sekarang Yuke yakin kalau berita itu benar-benar bohong belaka. Yuke merasa kasihan pada Mrs. Rini. Baru 6 bulan ia bekerja sudah mendapat tantangan seperti itu. Yuke merasa patut membela Mrs Rini.
“Halo, Yuke.” di telinganya kini telah bertengger suara Melati, temen kelasnya. “Yuk, aku denger dari anak Ipa, kalo Bu Rini itu, Bu Rini itu.....”
“Sudahlah Melati. Kamu enggak percaya sama Mrs. Rini lagi?”
“Bukannya aku enggak percaya. Gimana ya, orang semalam aku membuktikan sendiri bersama temen-temenku yang anak Ipa itu kok.”
“Beliau kan lagi seminar? Kamu salah orang kali...!”
“Tapi apa kamu percaya ada orang semirip Mrs. Rini, apalagi katanya dia anak yatim. Yah, mudah-mudahan aja aku salah. Udah ya, Yuk. Bye.”
Yuke menutup telepon Melati dengan gelisah. Bukan tidak percaya dengan Mrs. Rini tetapi kasihan kan nanti dia pulang dari seminar udah dapet suguhan gosip seperti itu. Namun di lain sisi, Yuke juga penasaran apa benar yang dilihat teman-temannya itu adalah Mrs. Rini yang ia kenal dan ia cintai itu.
Belum genap lima langkah ia tinggalkan telepon itu, sudah berdering lagi. Ia angkat dengan agak malas. Ternyata itu Abdul. Lagi-lagi sama dengan Melati, ia mencoba meyakinkan bahwa gosip Mrs. Rini itu benar. Yuke tetap berpegang pada prisipnya kalau ia tidak percaya dengan gosip yang menyebutkan Mrs. Rini wanita murahan.
“OK. Kalo kamu enggak percaya, kita lihat sama-sama. Tunggu aku akan menjemputmu !” Abdul ngotot ngajak Yuke untuk melihat sendiri apa yang dilihatnya. Sebenarnya Yuke juga penasaran sih, tetapi dia juga takut bagaimana kalau yang dikatakan orang-orang itu benar. Tapi sesaat ia tampik ketakutan itu, bagaimana mungkin itu benar? Ia lebih percaya Mrs. Rini ketimbang orang-orang.
Hanya dalam lima belas menit, Abdul telah sampai di rumah Yuke. Kemudian masih di atas motornya ia beri isyarat pada Yuke agar segera ikut diboncengnya. Yuke bergegas berlari dan mereka kemudian melesat memecah sunyinya malam.
Jantung Yuke begitu berdebar. Ia telah sampai di tempat terkutuk itu ; lokalisasi. Tempat para wanita nakal menjajakan tubuhnya. Mereka kemudian mencari tempat yang aman untuk mengintip. Abdul memandang sekeliling pondok yang telah ramai itu. Ia mencari-mencari wanita yang dia maksudkan.
Pondok tampak hiruk pikuk oleh suara manja dari wanita-wanita nakal. Sebenarnya Yuke merasa risih berada di samping pondok itu. Namun ini semua demi menjawab gosip tenteng Mrs. Rini. Ia ingin mengetahuinya sendiri.
Sekarang kaki Yuke lelah setelah sedari tadi berdiri. Ia merasa kesemutan. Sementara Abdul matanya terus mengawasi tempat itu.
“Mana? Sudah hampir sejam kita di sini. Sudahlah, aku lelah. Ayo pulang!”
“Tunggulah, Yuk! Sebentar lagi.”
“Ah, sudah. Sudah. Aku kini bener-bener enggak percaya. Kita pulang!”
Dua pemuda itu kemudian berjalan menghampiri motor. Yuke sudah putus asa dan ia benar-benar mengutuk gosip itu. Sekarang mereka bersiap untuk kembali ke rumah.
Baru ia akan menaiki motor, ia melihat seorang wanita yang sedang berjalan menuju pondok. Ia bersama denan seorang pria. Wanita itu memalingkan wajahnya. ASTAGA!! Itu Mrs. Rini !
Yuke seakan mau pingsan melihat itu. Ia kemudian berjalan menghampirinya. “Maaf, Mam. Ternyata yang diomongkan orang-orang itu benar. Kalau,.. kalau...” Yuke berkata sengit.
Mrs. Rini memandangnya dengan pandangan tak mengerti. Ia bermaksud mengatakan sesuatu kepadanya, “Yuk, semua ini bisa ibu jelaskan. Kalau ibu....”
“Saya menyesal. Sungguh tidak disangka, ibu seorang wanita tuna susila!” Yuke langsung pergi setelah mengatakan itu. Motor yang disetir Abdul berjalan menjauh dari pondok dengan sangat kencangnya.
“Yuke..... !!” teriakan Mrs. Rini itu sudah tak didengar lagi oleh Yuke.
* * *

Yuke menghempaskan tubuhnya di ranjang. Pikirannya kalut. Ia tak tahan dengan apa yang dilihatnya barusan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau wanita yang sangat dihormati dan dicintainya itu adalah seorang WTS. Ia lalu berteriak-teriak histeris. Wajahnya merah. Ia kepalkan tangan kanannya dan ia pukul-pukulkan ke tembok kamarnya itu. Sedih, tangis bercampur marah kini sesak ia rasakan di dada.

TING. TONG.
Suara bel itu sedikit mengusik. Setelah mengelap air mata amarah itu, ia kemudian membuka pintu kamar kos-kosan. Di depan Yuke kini telah ia lihat seorang wanita yang membuatnya histeris mati-matian. Ia lalu memalingkan pandangan.
“Buat apa ibu datang kemari ?”
Wanita itu tersenyum, “Bisa kita bicara sebentar di luar?”
Yuke mengikuti Mrs. Rini ke teras. Ia hanya diam saja dengan wajah penuh murka. Mrs. Rini memandang murid kesayangannya ini dengan bijak.
“Yuke, apa yang kamu lihat tadi tidak seperti yang kamu pikirkan.”
“Bagaiamana enggak?! Di sekolah sudah beredar gosip kalau ibu, kalo ibu,..”
“Kalau apa ?”
“Kalau Ibu seorang pelacur!” kali ini Yuke berbisik lirih.
“Yuke, semuanya itu tidak benar.” Ia mengusap bahu cowok itu. “Apa kamu enggak percaya lagi dengan ibu?”
“Ibu bilang, ibu ikut seminar. Lalu bagaimana ibu berada di tempat terkutuk seperti itu. Malam-malam bersama para pria hidung belang lagi. Orang akan menduga yang tidak-tidak pada ibu.” suara Yuke tampak meluap-luap.
“Baiklah, akan ibu jelaskan.” Wanita itu lalu kembali ke tempat duduknya. “Seminggu lalu ibu bergabung dengan Lembaga Sosial ‘17+’. Lembaga ini bertujuan untuk menangani kepincangan-kepincangan moral yang ada di masyarakat. Salah satunya adalah masalah AIDS. Kegiatan lembaga ini adalah memberikan penyuluhan-penyuluhan tentang bahaya virus HIV, Narkotika dan penyakit kelamin lainnya. Ibu mengajukan ijin ke sekolah untuk ikut seminar, itu memang benar.”
“Lalu?” Yuke menatap wanita itu dengan wajah penuh tanya.
“Salah satu kegiatan seminar itu adalah praktek. Ibu harus mempraktekkan bagaimana memberikan penyuluhan pada para wanita tuna susila itu, bagaimana mencegah HIV yang sangat berpotensi terjadi pada mereka.”
“Karena itu, ibu setiap malam pergi ke sana?”
“Kamu tidak percaya pada ibu ?” mendengar itu, Yuke hanya tertunduk lemas. Ia menyesal telah menuduh yang tidak-tidak pada Mrs. Rini. Ia kini semakin mencintai dan menyanjung wanita itu. Tidak disangka, ia punya tujuan mulia.
“Mrs. Rini, ada yang ingin saya katakan.”
“Apa itu, Yuke ?”
“Sebenarnya selama ini, saya menyimpan perasaan pada ibu. Saya,... saya,.. saya mencintai ibu.” Yuke akhirnya mengungkapakan perasaan jujurnya.
Mrs. Rini kemudian terdiam sejenak dan ia tertawa, “Yuke, kau ini masih muda, anakku. Kau sudah aku anggap adikku sendiri. Mana mungkin kita berpacaran. Yuke, kamu adalah muridku. Kamu bercanda pasti, ya? Ha..ha...”
Yuke hanya menggiggit bibirnya tersipu.
“Sudah. Sudah jangan bercanda. Ada kabar baik buatmu. Ibu memberi kejutan, kalau bulan depan ibu akan menikah. Maaf tidak pernah bercerita. Sebenarnya calon suami ibu itu berada di Surabaya. Kami sudah berpacaran selama 5 tahun. Ibu minta kamu menjadi pendamping pengantin, kamu mau kan ?”
Yuke langsung lemas mendengarnya. Guru yang selama ini dicintainya itu akan menikah ?! (*)

“Dia Kekasihku, Ia Kekasihku, Keduanya Kekasihku..."

Pintu kamar kos-ku digedor keras seperti gempa. Sebenarnya enggan untuk membuka karena keletihan berat menggantung di tubuh. Sesaat pria bertubuh kekar itu sudah ada di hadapan. Wajahnya pucat pasi penuh ketakutan. Aku mengisyaratkan supaya ia masuk saja.
“Kenapa? Kamu ngobat lagi, ya ?” aku coba dudukkan tubuhku di atas ranjang sementara Media masih terogopoh di hadapanku.
“Gila?! Bandar itu kejar-kejar terus, Sen!! Padahal aku sudah putuskan hubungan.”
“Baguslah !” kurebah di atas ranjang, tak kuat menahan ngantuk dan terlelap. Sesaat aku merasa Media mengusap wajahku.
* * *
TIT.TIT.TIT. TIT. TIT. TIT.....
Ah, weker ini cepat sekali berbunyi?! Tidur seperti lima menit. Kuberanjak dan kulihat Media masih pulas. Tanpa menunggu waktu kuceburkan saja tubuh ke dalam air mengundang kesegaran.
Kemudian kubuat secangkir teh sambil kupandangi wajah Media sesaat. Kubelai rambutnya. Kupikir usahanya keras sekali untuk lepas dari obat-obatan terlarang. Kini ia ingin benar-benar bersih dari ‘barang’ haram itu. Tanpa sadar wajahku kudekatkan hendak mengecupnya, tapi kemudian ia terbangun dan melihat wajahku di hadapannya. Media kini yang mengecupku.
“Tinggal saja di sini dulu, gak usah kemana-mana” aku memberi saran.
“Tapi....” Media menjawab sambil beranjak dari ranjang
“Media..... keselamatanmu lebih penting!” Aku lalu mengambil buku-buku kuliah dan beranjak keluar.
* * *
BRRRM...
Aku kulajukan mobil cepat. Hanya 20 menit aku sampai di rumah Siulvia.
Siulvia melambaikan tangan dan tersenyum manja.
“Ia’!” itu panggilan sayangku padanya.
“Kok lama?” Ia’ kini sudah di sebelahku.
“Maaf sayang,...” aku genggam tangannya.
Kulajukan mobil kembali. Aku merasa ia sedang memandangi wajahku
“Kenapa ?”
Siulvia membelai rambutku, “Aku sayang sama kamu, Sen.”
Aku menepuk pipinya lembut.
* * *
Selama kuliah aku tak bisa berhenti memikirkan Media. Semoga saja bandar itu sudah melupakannya. Aku percaya Media nggak akan mutauw lagi. Setelah ikut ‘rehab’ Media sudah memilih yang terbaik buat hidupnya, kembali mengejar cita-citanya menjadi seorang arsitek.
Tak terasa kuliah telah usai. Aku meninggalkan kelas dan pergi menghampiri Siulvia.
“Sen, kayaknya aku pulang sendiri, mau ke mall. Mau titip apa?“ Ia’ mencubit pipiku.
“Ehm,... ayam goreng.” kuraih bahunya dan kudekapkan dalam rangkulanku.
“Ya udah, abis dari mall aku langsung ke kos” Ia menyambut rangkulanku.
“Oh ya, ‘yang! Media juga ada di kos.” Kali ini aku bisikkan di telinganya, “Jangan bilang siapa-siapa... soalnya kan dia lagi menghindari Tompret, bandar sial itu...”
“Pasti aku bawakan makanan buat dia juga, deh...”
Kemudian kuhantar Ia’ bersama kawan-kawannya, gadis-gadis rumpi. Tapi satu hal, aku nggak lupa mengecup keningnya.
* * *
“Dia! Aku tadi lihat Tompret. Untung kamu sudah aman!” Kututup pintu Kos rapat-rapat setelah kepulanganku.
“Aduh! Gimana kalo ke sini?” Dia malah jadi panik.
“Tenang. Tompret kan gak kenal aku? Enggak mungkin kalau dia kesini?” aku menyodorkan roti keju kesukaannya.
“Sial! Kenapa dulu aku mesti kenal Tompret?!?!” Dia bersimpuh di sudut kamar.
“Sudah. Semua sudah terjadi. Sekarang tinggal pemecahannya saja.”
Kami hanya terdiam sampai beberapa lama sambil kemudian aku memutar musik jazz kesukaanku. Dia terus diam dan tentu sedang memikirkan masalah ini. Aku sangat tahu Dia. Jika dia sedang terpukul, hanya sepi baginya sebagai sahabat sejati, maka itu aku meninggalkannya di kamar. Aku memilih untuk duduk-duduk di teras saja.
* * *
Sebenarnya aku juga mempunyai beban sangat berat. Aku tak mau untuk menjadi seperti ini terus?! Aku ingin hidup sebagaimana orang lain hidup. Pikiran-pikiran ini terus bertaut dalam benakku.
Di alam bawah sadar dan kehidupanku, aku sangat mencintai Media (terlalu dalam). Media tahu itu. Bahkan aku tak ingin meninggalkannya karena sangat lama mengenal.
Memang dulu ia seorang ‘pemakai’ berat. Aku kemudian bertemu dengannya dan membantunya untuk berhenti. Aku sangat menegerti, karena ayahku juga seorang ‘pemakai’ sepanjang hidupnya. Ia meninggal saat aku masih balita. Aku sangat benci barang haram itu. Gara-gara puttauw aku jadi berpisah dengan ayahku untuk selama-lamanya. Tanpa pernah merasakan cinta seorang ayah. Itulah sebabnya aku ingin Media meninggalkan puttauw yang telah menguasai hidupnya. Karena kedekatan dan kerinduanku terhadap cinta seorang ayah aku jadi mencintai Media juga.
Ough!! Sungguh berat!!!
Aku juga punya perasaan dalam terhadap Siulvia. Gadis pujaan jiwaku, cinta dan permata hatiku. Ia selalu dapat menyejukkanku. Aku tak pernah bisa pergi jauh darinya.
Siulvia, seorang yang perhatian dan selalu mengerti semua mauku. Ia membuatku belajar bagaimana aku harus memberikan cinta. Aku benar-benar bisa menghargai keberadaan seorang wanita tanpa memandang sebelah mata makhluk -yang kata orang lemah- ini.
Media. Siulvia.
Mereka berdua telah lama saling mengenal. Aku sendiri yang mengenalkan mereka.
Media telah tahu hubunganku dengan Siulvia, meski ia juga paham kalau aku memerlukan hubungan di antara kami.
Tetapi, Siulvia? Ia tidak tahu. Aku tidak ingin menyakiti hatinya, namun aku juga tak ingin mendustainya.
Ough! Konflik batinku ini sarat kepenatan. Aku mencintai keduanya. Dia kekasihku, Ia kekasihku, keduanya kekasihku...
“Sen! Kok, ngelamun?”
Tiba-tiba Siulvia ada di hadapanku. Jantungku makin berdebar.
“Ini ayam goreng buat kamu...” ia tampak ceria kemudian ia berbisik dan menanyakan Media.
“Dia lagi bingung di kamar.”
“Aku punya berita bagus! Tompret sudah ditangkap!” Ia’ seakan memberi pemecahan masalah.
“Terus Media?”
“Nggak usah khawatir, Sen. Media itu cuman korban. Lagian korban Tompret itu puluhan, jadi...” aku langsung memeluknya sebelum Ia’ menyelesaikan kalimat.
“Ayo! Kita beritahu Media...” kami kemudian menghampiri Media.
* * *
ASTAGAAA....!!!
Media sudah tergeletak dengan darah di pergelangan tangan.
“Media.........!” aku memeluknya dan menangis seperti anak kehilangan ayahnya. Ya, seperti dulu.
“Aku gak mau kehilangan kamu. Media....”
“Tenang, Sen. Tenang.” Siulvia memeluk erat diriku dan mengusap-usap bahuku.
Aku menangis histeris.... Sisi melankolikku keluar meski aku lelaki.
Sesaat aku punya sedikit keberanian, kemudian kukumpulkan semuanya untuk memberi pengakuan jujurku kepada Ia’.
Siulvia kini sedang memeriksa nadi Media, lalu suara parau-ku berani keluar.
“Ia’! Aku sangat mencintai Media... sama seperti aku mencintaimu...”
“Ya, Sen. Aku sudah tahu dari dulu....”
Aku langsung terhentak. Ternyata Siulvia sudah tahu kalau....
“Kamu dan Media sahabat karib sejati. Aku salut.”
Nyaliku jadi mengecil lagi. Teryata Siulvia hanya menganggap kami karib.
“Sen! Media masih hidup. Kita bawa dia ke rumah sakit segera...!”
Aku sumringah meski konflik batinku terus terdengar. (*just the little story. Life must go on!)

Sobat Mimpi

“Enggak ada apa-apa!”
“ Tapi, Mo’ aku merasa ada sesuatu yang terjadi di antara kalian...”
“Ah, sudahlah!! Antara aku dan Chica gak ada apa-apa. Tidak ada yang terjadi di antara kami !!!”
Elmo langsung menutup gagang telepon itu. Saking kerasnya terdengar sampai di teleponku. Aku tidak tahu, kenapa kali ini Elmo tidak mau percaya kata-kataku. Ah, entahlah. Aku sendiri juga tidak tahu, apakah semua yang ada di mimpiku itu akan terjadi ataukah itu hanyalah mimpi. Ya.apalah arti sebuah mimpi ?!
Tapi, tidak. Rasanya apa yang ada di mimpiku lain dengan mimpi siapapun. Aku merasa setiap kejadian yang kulihat di mimpi itu benar-benar nyata. Dan biasanya hal itu pasti terjadi. Karena memang sudah beberapa kali terjadi. Aku sendiri mengalaminya.
Oh,.. Dalam mimpiku semalam itu aku melihat ada seorang wanita yang cantik namun di balik itu, hatinya begitu buruk. Aku melihat dia mencoba membunuh Chica, pacar Elmo, sobatku. Chica tidak berdaya menghadapi wanita kurang ajar itu, karena tangannya menebarkan sihir yang begitu kuat. Kemudian aku melihat lagi Chica datang dengan tubuh yang terluka dan berdarah. Sayang sekali pada saat itu aku langsung terbangun karena kaget.
Elmo benar. Kuharap ini hanyalah ilusiku yang ada di mimpi. Sejenak aku baringkan kembali tubuhku di ranjang. Hari telah larut. Sudah jam 11 malam tampaknya. Karena aku mendengar raung suara Disang yang diparkir di depan rumah. Disang itu milik Pak Haden, seorang angkatan laut yang rumahnya persis di sebelah rumahku. Sayup-sayup aku mendengar lolongan serigala yang jauh di bukit. Memang itu sudah jadi ‘musik pengirng’-ku menjelang tidur. Rumah baruku yang letaknya tak jauh dari perkebunan menjadi ajang suara-suara lolongan saat malam.
Mataku sulit aku pejamkan. Meski tubuhku lelah karena harus mengurus registrasi mahasiswa di kampusku yang baru, aku tak dapat memejamkan mata. Masih terbayang terus mimpi yang seakan menghimpitku tadi. Aku tidak ingin itu terjadi pada Elmo, sobat karibku. Aku masih ingat, saat dia dengan susahnya mendapatkan Chica dulu. Chica memang seorang yang cantik dan kalem. Meski ia seorang model yang beken, dia tidak sombong. Tutur katanya lembut dan santun. Karna itulah, Elmo jatuh cinta.
Elmo selalu curhat denganku saat ia masih PDKT. Rasanya usaha keras itu tidak sia-sia. Chica kini takluk di pelukannya. Kini usia pacaran mereka bukan seumur jagung lagi. Sudah 3 tahun lebih mereka memadu kasih. Elmo sering datang ke rumahku dan bercerita banyak tentang hubungan mereka, meski aku sudah pindah ke perkebunan ini. Satu hal yang aku tangkap dari setiap cerita itu, dia tidak ingin berpisah dari Chica.
Karena alasan itu, setiap aku merasa ada firasat tidak enak tentang Elmo aku selalu cerita kepadanya, agar ia waspada dan hati-hati. Tapi entah malam ini. Ia begitu marah saat aku menceritakan mimpi aneh itu kepadanya. Aku kini tambah merasa kuatir, kalau-kalau ada kejadian aneh lagi yang bakal datang.
Tak terasa aku kembali larut dalam tidurku. Hatiku benar-benar berharap tidak mengalami mimpi aneh lagi. Dalam pandanganku aku hanya melihat langit hitam yang kelam tanpa berhias satu bintang-pun.
Rasanya baru sepuluh menit lalu aku tenang tertidur, kini dalam penglihatanku aku sudah melihat sesosok tubuh yang terkulai. Tangannya berlumuran darah. Wajahnya lusuh dan tak jelas terlihat. Aku hanya mendengan gelegar-gelegar tawa yang keras. Sebenarnya ingin kulihat tubuh siapa itu, namun aku urungkan niat dulu. Setelah suara itu hilang, barulah aku menghampirinya.
Tapi, mengapa aku tidak dapat menyentuhnya dan membalik wajahnya. Aduh, bagaimana ini ?! Sesaat aku hanya terdiam. Aku berharap dapat segera keluar dari mimpi ini. Namun, aku tidak bisa. Aku mencoba menyentuh tubuh itu. Aneh. Masih tidak bisa.
Akhirnya aku mendengar rintihan dari mulutnya. Ia palingkan wajahnya. Astaga! Chica! Apa yang terjadi dengan dirimu? Aku mencoba untuk memanggil namanya, namun tidak bisa. Chi.... C... Mulutku terkunci. Dan yang lebih mengejutkan, ia tidak dapat melihatku. Aku mencoba melambai-lambaikan tangan, tapi tetap saja ia tak dapat melihatku. Chica bangkit dan berjalan tertatih kemudian bayangannya menjauh, sesaat hilang. Ooh. Mau kemana dia dengan tubuh penuh luka dan darah yang mengalir.
Kini aku sendirian dalam gelap. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Aku terjebak dalam lingkaran mimpi ini. Aku mencoba untuk keluar, namun bagaimana caranya?
Sesaat aku mendengar suara tawa tadi. Kali ini, diikuti sesosok makhluk yang bertubuh besar dengan jubah hitam yang sangar. Aku lalu bersembunyi dibalik bebatuan. Sesaat aku perhatikan tempat ini. Rasanya ini seperti di dalam gua yang besar dan begitu banyak batu.
“Ah... Lepaskan!”
Kenapa makhluk itu mencengkeram Elmo dan membawanya menjauh dari Chica. Aku menyebut dia makhluk, karena memang postur tubuhnya yang raksasa itu, tidak se-sempurna manusia. Ia tampak seperti iblis. Kemudian aku melihat jari-jari tangannya yang besar itu melemparkan Chica dalam kurungan dan pergi dengan tawa yang menggelegar. Isak tangis Chica terdengar memelas. Ia menyebut-nyebut nama Elmo.
Aku lalu menghampirinya, “Ssst. Chica.”
“Hei! ini aku, Kiki. Bagaiman kamu ada di tempat seperti ini....?”
Sama seperti tadi. Mereka tidak dapat mendengarku apalagi melihatku. Lalu mengapa aku ada di tempat seperti ini? Apa gunanya? Mereka tidak dapat mendengar aku, aku juga tidak dapat menolong mereka...
“Tidak!!” tak sadar aku berteriak dan bangkit dari tidurku. Oh, akhirnya aku keluar dari mimpi ini. Tapi, tunggu dulu, aku belum melakukkan apa-apa. Pandanganku kemudian tertuju pada ponsel yang tergeletak di meja belajar. Aku kemudian meraihnya. Kurasa aku perlu menceritakan semuanya pada Elmo. Ah, untung sudah tersambung. Ponselnya tidak ia matikan.
Sudah beberapa kali aku tekan nomornya, tapi kenapa tidak ia angkat juga. Kenapa Elmo tidak terbangun dan mengangkatnya. Tapi aku tidak menyerah. Aku mencobanya lagi. Sayup-sayup aku mendengar suaranya, “Ada apa lagi, Ki?”
“Mo! Kali ini engkau harus mendengarkan aku. Aku tidak mau terjadi hal-hal yang membahayakan bagi Chica. Mo, dengarkan aku,... Tadi aku melihat Chica ada dalam jeruji besi. Ia disekap oleh se... se... seekor. Ya. Seekor iblis di dalam gua yang mengerikan. Mo.. Aku melihatnya.... “
“Dalam mimpimu ?!... Ah, sudahlah! Kiki, Itu hanya mimpimu saja. Kau lihat, sekarang sudah jam setengah satu. Kamu mesti istirahat. Karna besok aku enggak mau kau terlambat ke rumahku. Bukankah besok kita akan bersenang-senang?”
“Elmo. Ini benar, aku berani jamin. Coba kau telpon dulu Chica...”
“Kiki. Sekarang sudah malam.”
“Telepon selularnya. Please....”
“Baiklah. Tapi, kalo sampai tidak terjadi apa-apa...”
“Sudahlah, Mo. Cobalah dulu.”
“Baik aku akan segera menghubungimu nanti.”
“Elmo, terima kasih masih mempercayaiku.”
Aku senang akhirnya Elmo mau mendengar kata-kataku. Kini aku tinggal menunggu telponnya, apakah Chica dalam keadaan baik atau,... Sebenarnya aku berharap itu hanya mimpi. Aku harap Chica tidak apa.
Kuseret langkahku menuju ruang makan, kerongkonganku rasanya kering sekali. Sesaat terdengar suara teguk air yang masuk. Semua memecah sunyi. Suara lolongan serigala itu tak kunjung berhenti juga. Sebenarnya aku berniat untuk menengoknya ke luar, tapi sesaat, bulu kudukku berdiri. Kuputuskan saja untuk masuk kembali ke dalam kamarku.
“Ya, halo.”
“Kiki, aku sudah menelpon Chica. Dan dia tidak apa-apa.”
“Tapi, apa kau benar-benar yakin ?”
“Memang mulanya suara Chica agak aneh, tidak seperti biasa. Kata-katanya terbata-bata. Tapi, aku maklum. Dia kan bangun tidur.”
“Kenapa kamu tidak menanyakan...”
“Ah, sudahlah, Ki! Aku mau tidur dulu. Kamu juga harus beristirahat, bukan ?”
“ Tapi, Mo.”
Ah, Elmo sudah keburu menutup telponnya. Ya, Tuhan. Bagaimana ini? Aku merasa mimpi itu benar-benar akan terjadi? Bagaiman aku meyakinkan Elmo. Masak, aku sendiri yang akan menelpon Chica. Itu tidak mungkin. Chica itu pacar Elmo, sobatku. Lagipula aku tidak tahu nomornya.
BRAK! BRAK! BRAK!
Suara apa itu? Aku jadi merinding. Sebulan aku tinggal di rumah baru ini, tidak pernah ada gangguan seperti itu. Apa itu suara perampok perkebunan atau... suara....
KRIEK. KRIEK. KRIEK. KRIEK.
Oh, belum tuntas aku mencari tahu suara tadi, sudah muncul suara mengerikan lain. Ya, Tuhan... Suara apa itu? Seperti bunyi himpitan-himpitan bambu. Tetapi, mana ada tanaman itu di daerah seperti ini ? Oh. Bulu kudukku semakin berdiri.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku masukkan tubuhku ke dalam selimut dan menutup mataku. Sayup-sayup malah kudengar suara bunyi itu jadi satu. Aku takut. Badanku menggigil, tubuhku lemas. Aku berada dimana ini, apakah aku telah terbangun dan berada dalam dunia nyata ataukah masih dalam alam mimpi. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka selimut ini, dan aku sungguh berharap saat aku membukanya hari telah pagi dan aku sudah melewati malam aneh dan mengerikan ini.
Betapa terkejutnya diriku. Aku kembali dalam gua tadi, ke dalam lingkaran mimpi. Posisiku masih sama persis seprti tadi. Namun kali ini aku lebih takut, dalam sayup-sayup bayangan dari balik bebatuan, kulihat sekumpulan makhluk-makhluk mengerikan berkumpul. Tampaknya seperti sebuah pertemuan. Aku tidak dapat mendengar jelas apa yang mereka katakan karena bahasa mereka aneh. Namun, tiba-tiba dengan sendirinya perbincangan itu dapat aku mengerti. Aneh.
“Kita harus menghancurkan hubungan kedua orang itu.” Bayangan putih dengan wajah mengerikan itu berteriak. Saat aku melihat ke bawah, ah, dia tidak mempunyai kaki ! Dia melyang-layang di atas tanah.
“Benar. Mereka berdua memang brengsek! Masa dua orang itu mencoba mempengarungi Doni, anak buah kita.” balas makhluk bertubuh tinggi sekali, dengan taring-taring yang tajam. Di ujung-ujung giginya terdapat cairan-cairan merah. Sementara wajahnya yang pucat pasi itu selalu menyorotkan pandangan yang tajam.
“Kita buat gadis itu terombang-ambing sendiri dengan perasaan cintanya pada laki-laki itu. Hi... hi.... dengan begitu kita bisa meretakkan hubungan keduanya. Hi... Hi...” wanita sangar yang wajahnya cantik tetapi berbau busuk itu kulihat turut andil juga dalam rencana jahat mereka.
Kerongkonganku terasa kering sekali. Bahkan, ludah sendiri pun tak dapat aku telan. Oh, Tuhan... pasti yang dimaksud para iblis itu adalah Elmo dan Chica. Memang Elmo pernah bercerita kalau mereka berdua itu sedang berteman dengan seorang pecandu narkotik. Misi mereka adalah menarik Doni agar berhenti jadi pecandu. Aku sendiri agak takut saat Elmo bercerita padaku dan bahkan sempat melarang tindakan itu lantaran aku tahu, Doni itu punya satu kekuatan supranatural jahat yang ia dapat dari ayahnya.
Tetapi minggu lalu aku sedikit tenang mendengar kabar dari Elmo, bahwa Doni sudah meninggal. Meskipun ia sudah berhenti ‘nyandu’ dan bertobat, tapi zat-zat narkotik yang ada dalam darahnya itu tetap membunuh dia. Elmo juga tampak senang meski ia begitu terpukul. Karena Doni benar-benar berhenti menjadi pecandu, seminggu sebelum ia pergi untuk selama-lamanya.
Namun rupa-rupanya iblis-iblis jahat yang ada di tubuh Doni itu tidak terima. Mereka dendam pada Elmo dan Chica. Setidaknya itu yang aku tangkap dari pembicaraan mereka.
Kalau tadi aku melihat Chica sedang dikurung di lingkaran mimpi, lalu apa yang terjadi dengan Chica di dunia nyata? Sesaat aku memejamkan mata. Jantungku begitu berdegup saat aku buka kembali mataku, sudah berada di kamar Chica. Bagaimana ini bisa terjadi?
Aku melihat Chica terlentang di ranjangnya. Matanya sembab dan merah. Ia terlihat gelisah dan tidak dapat tidur. Oh! Ada dua iblis di sampingnya. Mereka membisik-bisikkan sesuatu. Itu membuat Chica mengucurkan air mata dengan deras. Tapi tubuhnya tetap terkulai tak berdaya. Kaku. Sementara diriku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku kembali memejamkan mata, karena aku juga merasa takut sekali.
“Diam!” iblis berwajah merah itu menyentak Chica. Tangannya yang berbulu, nampak seperti serigala ia dekatkan ke jeruji besi. Ternyata aku kembali lagi ke lingkaran mimpi ini lagi. Aku terombang-ambing. Namun sesaat aku mencoba untuk sadar dan berkonsentrasi, siapa tahu dengan memejamkan mata sekali lagi, aku dapat menuju ke Elmo. Aku berusah keras untuk berkonsentrasi.
Yap. Berhasil. Kini aku sudah ada di sampingnya. Meski lidahku kelu, aku mencoba menggerak-gerakkan tubuhnya. Betapa usahaku itu sia-sia. Ia tidak juga bangun. Bagaimana ini? Aku tidak dapat menyelamatkannya. Aku lalu kembali lagi ke lingkaran mimpi itu. Aku mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang ada untuk menyerang iblis-iblis itu. Satu... Dua... Tiga... Yak! Aku berhasil menghantam iblis berbulu serigala itu !
Tapi. Hei! Ada apa ini? Mengapa aku hanya menembusnya? Aku mencoba menikamkan pisau yang kudapat entah dari mana itu ke wajahnya. Namun itu tidak berhasil. Ternyata aku tidak dapat terlihat oleh siapapun di lingkaran mimpi ini. Kemudian aku mencoba berteriak-teriak sekuat tenaga, tapi aku sendiri tidak dapat mendengar suaraku, apalagi mereka. Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan?
Kemudian kuputuskan untuk berjalan menelusuri lorong gua. Meski aku merinding dan takut karna banyak sekali makhluk-makhluk seram yang berkeliaran, aku mencoba untuk melakukannya. Toh, aku tak dapat terlihat oleh mereka.
Baru aku melewati tiga atau empat lorong, aku melihat satu cahaya putih yang terang dan kuat. Cahaya itu sangat menyilaukan mataku. Aku lalu menutup wajah dengan tangan kananku. Kemudian sayup-sayup aku mendengar satu suara yang biasa kukenal.
Aku ingat itu suara ponselku. Sejenak aku meraihnya dan terdengar suara Elmo. Astaga. Lagi-lagi aku kembali ke dunia nyata lagi tanpa berbuat sesuatu apapun yang berguna.
“Ki, saat ini aku sedang menuju ke rumahmu. Sementara itu kamu mesti bersiap-siap untuk ikut denganku.”
“Eh... Kemana, Mo? Aku baru bangun, nih...”
“Chica ditemukan mati di kamarnya...!!.”
TUT. TUT. TUT. TUT.
Telepon Elmo itu terputus. Aku langsung bangkit dari ranjang, dan bergegas mandi serta bersiap. Apa-apaan ini? Mengapa mimpi itu benar-benar terjadi? Seribu tanya bercokol di pikiranku. Ternyata firasat dan mimpi-mimpiku semalam benar. Namun rasa bersalah terus mengiang. Mengapa aku tidak dapat menyelamatkan Chica, mengapa aku hanya diam dan tak dapat berbuat apa-apa? Mengapa dan mengapa? !!!
Kini Elmo sudah ada di hadapanku. Matanya merah. Ia langsung memelukku dengan tangis yang berisak. Ia berbisik di telingaku, “Maaf. Aku tidak mempercayaimu semalam....”
Aku membelai rambutnya. Aku merasa sayang sekali padanya. Tak sadar aku juga meneteskan air mata. Dalam hati kecilku menggema, apa-apaan ini? Dua orang pria menangis dan berpelukan? Menggelikan.
Namun aku cepat tersadar, bahwa hal ini merupakan satu tragedi. Jadi apalah salahnya jika pria mengungkapakan rasa sedihnya bersama. Kami memang sudah seperti saudara, bahkan lebih dari itu. Kemudian aku mengisyaratkan padanya untuk segera bergegas menuju rumah Chica yang jaraknya hampir sejam dari rumahku kalau naik mobil.
Ternyata kami terlambat. Tidak sempat kami datang ke lokasi kejadian dan melihat bagaiman sebenarnya kejadian itu. Tubuh Chica sudah disemayamkan di sebuah peti kayu berukir indah. Elmo langsung menujunya. Perlahan ia membuka cadar wajah Chica. Aku juga turut di sampingnya melihat wajah Chica yang ayu itu terseyum damai. Chica mengenakan gaun putih yang indah. Tangannya dilipatkan, seperti orang berdoa sambil membawa bunga.
Aku melihat, Elmo tidak dapat mengontrol diri. Ia terus menangis sampai saat pemakamannya. Ia masih menyesali kematian kekasihnya itu. Sementara aku sendiri heran, bagaimana mungkin Chica sampai over dosis, sementara tak pernah sekalipun kulihat ia minum obat-obat terlarang.
Ternyata diketahui, bahwa menurut penyidikan polisi, di tempat agency model-nya itu, setiap akan peragaan busana, ia diberi minuman oleh Warty, teman sesama model Chica. Warty membujuk Chica untuk meminumnya dengan dalih bahwa minuman itu minuman kesehatan yang dapat menambah stamina. Berturut-turut sampai setahun Chica selalu melakukannya setiap sebelum show. Ia tak sadar kalau yang dimunimnya itu obat terlarang. Obat itu terus meracuni tubuhnya. Memang kelihatannya ia selalu tampak segar, karena memang obat itu baru bisa menunjukkan reaksi bahayanya dalam jangka waktu kurang lebih satu tahun. Begitu ganas memang. Obat itu sungguh merenggut nyawa.
Warty melakukan itu pada Chica semata-mata karna iri pada kesuksesan Chica sebagai model. Selain itu ia juga naksir berat sama Elmo. Dalam benakku aku bertanya, mengapa hanya karna itu, ia tega membunuh kawannya sendiri.
Pak Pendeta sudah melakukan upacara tutup peti di pemakaman. Kini wajah Chica tak akan pernah terlihat lagi untuk selama-lamanya. Ia sudah menyatu dengan tanah. Aku terus membujuk Elmo untuk merelakan kepergian kekasihnya itu. Ia terus meraung dan memeluk gundukan tanah tempat Chica dimakamkan.
Akhirnya kuputuskan untuk membiarkan dulu Elmo meluapkan rasa sedihnya. Sejenak aku berdiri dan berpaling pada pepohonan yang rindang di hadapanku yang letaknya tak begitu jauh. Astaga! Apalagi ini? Aku melihat 2 bayangan putih yang tersenyum damai dan melambaikan tangan kepadaku. Doni dan Chica!
Belum sempat aku membalas lambaian itu aku melihat bayangan-bayangan iblis yang kulihat di mimpiku itu berusaha mengejar mereka berdua. Tapi usaha itu sia-sia. 2 bayangan putih itu pergi dengan sinar yang kuat penuh damai.
Aku lalu kembali duduk dan kurangkulkan tanganku di pundak Elmo, sembari berbisik kepadanya, “Ia sudah pergi... dengan damai...” (q)