Saturday, January 28, 2006

DALAM KERAPUHAN (ajarku bersyukur)

Pelita jiwaku entah sudah meredup atau tidak,
Ketika lolongan serigala itu datang,
Aku menjadi takut.

Aku sebenarnya tidak suka dengan suara-suara itu!
Tapi ia selalu datang dalam kesahku
dan mengintip di rasa bahagiaku

KETIDAKPASTIAN.
Ini yang jadi ketakutanku juga.
Sebuah perasaan yang menjadikanku lemah pun RAPUH.

Aku sudah lelah menjadi anak burung gereja
Yang kecil dan selalu tidak dewasa, tampaknya.
Meski aku bahagia dengan keria-ria-anku yang jadi
penyemangat berkobar..

YA! Keria-riaan yang selalu jadi topeng dalam
setiap aralku melintang.
Aku burung gereja yang pemurung, lemah,
tidak berdaya dan selalu RAPUH.
Tetapi aku tidak ingin burung-burung lain tahu.
Apalagi SERIGALA!
Mendengar lolongannya pun aku sudah TAKUT.

Aku hanya bisa menghempas sayapku,
Pasti kau bertanya; Rajawalikah aku?
Rajawali yang bersayap kokoh dan kuat
Melewati samudera dan pulau-pulau.
Sebuah ejekan, kan, pasti?
Seperti kubilang; aku hanya burung gereja kecil,
Yang tentu bersayap kecil.
Aku tak sanggup mengitari dunia ciptaan KHALIK.
Aku hanya mampu mengitari
Bangunan kokoh, yang selalu
memperdengarkan kidung-kidung sorgawi,
Bangunan kokoh yang selalu memampang
garis vertikal dan horisontal sebagai simbol kemenangan.

Aku hanya mampu menjadi daya tarik orang-orang itu.
Orang-orang yang sedang menyanyikan pujian KHALIK,
Orang-orang yang sedang duduk diam,
mendengarkan Imam KHALIK berkotbah,
atau hanya menarik perhatian anak kecil yang ada dalam
pangkuan ibunya yang sedang berbakti.

Aku menyayangi bangunan kokoh itu.
Karena disitulah aku bisa berteduh,
Aku tenteram dalam sayup-sayup pujian megah bagi KHALIK.
Aku menjadi pusat perhatian anak-anak manusia,
yang mungkin aku lebih besar dari lalat atau serangga (bagi mereka)

“Burung gereja kecil, burung gereja kecil”
OUGH! Aku benci kalimat itu.
Seperti nada mengejek atau merendahkan,
Seperti terjemahan lolongan serigala
yang selalu memperdengarkan suaranya di malam hari..

aku tak tahu apa aku bosan menjadi burung gereja kecil,
yang RAPUH dan sama sekali tak menarik perhatian,
yang hanya ‘jago kandang’
yang hnya memakai topeng keria-riaan belaka…

aku ingin bisa terbang bebas seperti rajawali,
tanpa beban pikiran atau keresahan

aku memang kecil,
tetapi beban pikiranku besar.
Aku penat dan aku lelah.

Tetapi satu saat, Sang KHALIK
Menyapaku dan mengajak-ku untuk :
“Bersyukur…”

BALADA ASAP 16: Ke-Eksisan Sebuah Puntung






Sebuah catatan cerita, dalam bingkai uneg-uneg tentang sebuah fenomena……


cakrawala hari ini memamerkan keindahan sinarnya. Tingkap-tingkap langit menjadi begitu terbuka turut memperlihatkan kuat sinar sang surya. Kebetulan sekarang hari minggu. Terdengar sayup-sayup suara nyaring mengalunkan lagu-lagu pujian bagi Khalik. Lantunannya lembut hingga terasa nuansa kesucian yang terbalut apik dalam mahligai sorgawi. Kebaktian pertama yang berlangsung itu menyisakan makna tersendiri bagi jemaat yang telah beribadah.

Sang Penyampai Firman keluar pintu dibarengi petugas gerejawi yang katanya disebut majelis. Senyum pun bermekaran di sana-sini wajah mereka, menebarkan kepada semua jemaat sebuah rasa damai dari sorgawi. Tugas selesai. Sang Penyampai Firman meletakkan lelah sembari mengumpulkan tenaga untuk persiapan kebaktian selanjutnya.

Seorang anak kecil baru saja menghentakkan kaki mungilnya di halaman gereja. Ia berlari kecil menuju sekolah minggu. Sesuatu yang sangat dinantinya di akhir hari sekolahnya. Senandung kecil terlantun di bibirnya. Itu terjadi sebelum saat ia terbatuk-batuk karena bertemu dengan asap. Asap yang tentu kental dengan pekat tembakau berbaur racun itu hebat berbaur dengan udara. Anak kecil itu berhenti. Ia menghentikan langkah, menengadah ke atas. Terlihat asap yang begitu tebal berwarna putih –bukan suci– dengan arogannya menguasai udara di sekitar gereja. Dalam benaknya terlintas satu hal: rokok. Puntung yang selalu dipuja sebagai simbol kemaskulinan itu menyisakan kekecewaan tersendiri buatnya. Ayahnya meninggal karenanya… Kini sebuah perenungan kecil menjadi ritual mendadak anak itu. Ia terduduk di tengah asap yang pekat. Meski ia tak mau bertemu dengan asap itu.

Kemudian terdengar langkah kaki yang semakin mendekat. Beberapa orang yang baru saja menyebarkan senyum damai kepada semua jemaat ternyata sedang lewat. Mereka berseragam dengan warna khusus, lambang pelayan Tuhan yang setia, pendamping sang Penyampai Firman. Anak itu hendak memberikan wajahnya dan menyapa mereka. Tentu pula seperti seorang anak yang sedang mengadukan sesuatu kepada ayahnya. Ia begitu terganggu dengan pasukan asap rokok yang bergelimang bebas menguasai udara gereja,

“Om Majelis, om majelis…” sapa anak itu.

Namun ketika matanya beradu dengan wajah-wajah mereka, anak ini begitu tersentak. Mulut-mulut mereka mengeluarkan asap, tangan-tangan mereka bersela puntung berasap, di sekitar mereka penuh asap. Anak kecil itu terbatuk-batuk sampai kelelahan, sampai ia memutuskan untuk berlari. Ia berlari kencang keluar gereja, jauuuh… jauuuuuuuuh, semakin JAUH. Ia tak mau lagi kembali ke gereja manapun.

Meski pertanyaan-pertanyan bercokol tajam dalam pikirnya,
“Apakah pelayan-pelayan Tuhan itu seperti ayahnya: Menikmati puntung beracun dan terbuai karena memuja sang Asap beracun??? Apakah semua pelayan begitu?? Haruskah sejuk udara gereja yang harusnya KUDUS menjadi RAKUS memakan semua ASAP???”


Anak kecil ini tidak bisa menjawab, yang jelas ia selalu kehilangan sukacita di hari-hari minggunya.



Ku harap ilustrasi di atas TIDAK TERJADI LAGI di ressud 16…


Konsumsi Syuting untuk Tukang Sate




Satu kali aku punya cerita di bulan November/Desember lalu (agak lupa).
Kala itu aku hendak pulang dari lokasi syuting. Tepatnya di rumah seorang kru (Bibi, penata kostum & rias). Dia dan keluarganya menyediakan makanan untuk kami, para kru dan pemain. Namun ternyata konsumsi itu sisa, kurang lebih 4 bungkus. Bibi memintaku membawa pulang atau membagikannnya pada yang lain. Mulanya aku menolak. Aku menduga kalau teman-teman yang lain pasti menolak. Apalagi aku sendiri. Bibi tetap memintaku membawa pulang. Kuputuskan untuk membawanya kemudian.

Sesampai di rumah, ternyata seluruh keluarga telah makan malam. Aku sedikit khawatir, mau diapakan nasi yang kubawa ini... Lalu kupaksakan makan satu bungkus, itupun bersama Mama. Beberapa saat kemudian Mama keluar rumah untuk membeli sate, langganana kami. Beliau kemudian masuk rumah kembali dan membawa 3 bungkus nasi konsumsi itu. Tak berapa lama Mama masuk dengan membawa beberapa tusuk sate di piring.

“Lho, nasi itu ditukar sate?” tanyaku heran.

“Bukan ! Mama beli Sate, dan nasi itu Mama berikan pada Ibu penjual Sate...”


Aku agak mengekeh. Penjual makanan kok, diberi makanan. Mama kemudian bertutur kalau nasi itu langsung dimakan oleh Ibu penjual Sate. Katanya enak, enak sekali....
Dari cerita Mama itu aku menyimpulkan kalau ibu Sate ini sangat menikmati nasi itu.

Aku kemudian trenyuh dengan kisah Mama selanjutanya. Ternyata Ibu Sate itu punya 4 anak, jadi 2 bungkus itu akan ia bawa pulang, ia ‘persembahkan’ untuk anak-anaknya. Aku memakai kata ‘persembahkan’ karena menurutku, itu kata yang tepat. Seorang ibu muda yang bekerja susah payah berjualan sate, keliling tempat satu ke tempat lain. Ia berjalan kaki membawa barang dagangan di atas kepala. Ketika ia mendapatkan makanan yang tidak pernah ia makan, ibu ini masih ingat akan anak-anaknya di rumah. Aku menjadi tertegun. Andai saja aku benar aku benar-benar menolak nasi itu, Ibu Sate ini tidak jadi makan nasi itu dan keempat anknya pun tidak.


Kawan, jika Sang Khalik menitipkan rejeki untuk orang yang membutuhkannya jangan menolak atau menundanya, ya...




(Terimakasih, Bibi untuk Nasi Bu Kris pemberianmu)

Friday, January 20, 2006

semangati aku, ya...

aku cuman pengen nulis ini sekarang....

"semangati aku, ya......
siapapun yg kenal aku......"

...Pertengkaran Tengah Malam....

(November 2006)

(Aku sedikit malu sebenarnya mengingat kejadian itu, tapi aku enggak pernah lupa...Karna aku belajar tentang sesuatu)


Malam itu aku tegang sekali.. Seharian kami telah lelah syuting, Kala itu kami ambil gambar di Tretes, dekat Vila Stefy. Sepanjang sore kami menghabiskan waktu di padang rumput di atas bukit (bermandikan kemilau surya dan desiran angin sepoi). Namun esok hari pukul 4 pagi kami harus bangun dan ambil gambar lagi sampai sore (karna sebelum pukul 18.30 kami harus pulang ke Surabaya).
AKu tidak bisa memejamkan mata. Entah kenapa aku sangat terganggu dengan suara-suara obrolan. Dua sahabatku (mereka Produser dan mitra Sutradaraku di film ini) di ruang tengah dan aku di kamar. Mereka berisik sekali (menurutku waktu itu). AKu meminta mereka beberapa kali untuk segera tidur saja, karna ini sudah jam 12 malam, sedangkan jam 4 pagi semua harus sudah siap-siap ambil gambar. Semua kru dan pemain telah berada dalam kamar masing-masing kecuali mereka berdua, bahkan. Aku sangat2 khawatir dengan kesehatan mereka. Semua butuh istirahat di tengah2 kerja keras seperti waktu itu.
Kepalaku mau pecah dan aku JENGKEL SEKALI , karena mereka tidak kunjung beristirahat. Emosiku berhamburan keluar. AKu benar-benar MEMAKSA MEREKA untuk segera masuk kamar. Tentu saja respon keduanya yang masih membandel (- menurutku waktu itu) samakin membuatku bernafsu untuk marah. Usahaku berhasil. Meski aku harus menuai CELAAN yang SANGAT MENYAKITKAN hatiku, mereka dengan terpaksa berbaring tidur. Kepalaku pecah dan aku sangat-sangat depresi. Jantungku berdebar dan darah tinggiku kumat seketika...
Fiuh... Aku hanya ingin menyayangi mereka dg meminta mereka untuk beristirahat. Menurutku itu yang terbaik. Aku menyadari beberapa hal kini bahwa yang terbaik buatku belum tentu buat orang lain. Kedua : Kalaupun itu yang terbaik, setidaknya aku harus dapat mengungkapkan itu dengan kasih tulus, seperti yang diajarkan Sang Khalik padaku selama ini. Ketiga : aku harus bersabar. Keempat : aku harus bersabar. Kelima : aku harus bersabar. Keenam : aku harus bersabar. Ketujuh, kedelapan, keduaribu delapan ratus.. bla...bla...bla... aku harus bersabar
Fiuh......
Susah juga! Namun kalau aku bersabar waktu itu, Pertengkaran itu pasti tidak pernah terjadi.

("Sorry Stefy, Sorry Danu.. I love you bro...")

Aku sedang khawatir

(22 januari 2006)

Akhir-Akhir ini aku menjadi orang yg sangat khawatir.
AKu memendam itu sendirian. Biasanya aku dapat membagikan itu kepada sahabat-sahabatku yang selalu aku anggap mereka saudara sendiri. Namun kali ini kulihat mereka sangat sibuk dan banyak hal yang harusnya lebih prioritas mereka pikirkan. Sampai selalu saja aku urungkan niatku untuk berbagi cerita dengan mereka berLima.

Aku khawatir dengan studiku.
AKu semester 7 dan menjelang 8.
Beberapa di antara kawan-kawanku, pada semester 8 mendatang sudah bisa mengambil Skripsi. Sementara aku belum...

Kredit-ku sudah habis, tinggal finishing touched macam : Magang, Seminar dan tentu saja KKN (Kuliah Kerja Nyata). Semua kawanku SUDAH KKN. AKu belum. karena waktu itu aku belum terlalu yakin untuk ikut lagipula ada beberapa tanggung jawab yang belum aku kerjakan. AKhir2 ini aku sering dihina (dengan nada bercanda), kalau aku belum KKN, masih kecil dan sebagainya..

Aku benar2 khawatir, karena aku ingin segera selesai kuliah dan mengejar cita-citaku.
Sementara itu, lamaran magangku di sebuah perusahaan di Jakarta belum mendapat jawaban... Aku benar2 khawatir. Sampai aku akhirnya aku mengSMS sahabat-sahabat dekatku agar berdoa bagiku...
Sebuah SMS yang menguatkanku mampir dan ini kekuatan dari Sang Khalik ;

Suatu anugrah yg besar. Ketika kita dipercayakan sebuah pekerjaan yg di luar jangkauan kita sebagai manusia. Tidak ada pekerjaan yg tidak bisa diselesaikan oleh Tuhan kita. Kita pun juga diperlengkapiNya IMAN dan Diapun tidak pernah menyuruh kita bekerja sendiri atau dengan kemanusiaan kita. Saat kita mendapat pekerjaan besarlah IMAN kita diuji...


(tengkyu 'dik...)

aku baru saja merampungkan filmku

(januari 2006)

Ehm, sesaat aku memandang CD film hasil buatanku bersama teman-teman di 'muvee buzZer' (komunitas pembuat film pemula). AKu menggelengkan kepala dan terlontar kalimat ;

Sebenarnya aku kurang puas (baca jujur : Tidak Puas) dengan editanku di film panjang pertama ini.. AKu beri nilai 5 deh...

Sesaat sahabatku berkomentar ;
Aku nilai 1 (baca: SATU).

Kaget sekali aku! Nilainya rendah sekali...

Sobatku berkomentar lagi ;
...tadinya aku mau beri nilai 9 bahkan 10...
tapi gimana lagi?? yang bersangkutan cuma kasih 5....


OUW!
Aku emang gak puas dengan apa yg kukerjakan. Tetapi aku harus menyadari sesuatu bahwa: Film panjang pertama (dengan durasi 1 jam 45 menit) ini merupakan kerja tim. Bahkan Penata suaraku memberi label discnya dg nama : "Hasil Perjuangan.."
Sobat, tahukan bahwa film ini merupakan anugerah Sang Khalik? Kami bahkan menyelesaikannya serba TEPAT WAKTU!
CD ke dua selesai di"burn" pada pk. 23.00 dan pk 00.20, Film ditayangkan...
Luar biasa, kan?
Karena Sang Khalik yang ternyata juga Sahabatku sendiri, film "Cerita Desember" SELESAI.. Itu ANugerah.

Sekarang aku ralat : Bahwa yg berhak menilai itu hanya Sang Khalik, sahabatku...
Sahabatmu juga, kan?


(Aku ingin menunjukkan film "Cerita Desember padamu juga.... Nantikan ya di Bulan Febuari kami tayangkan lagi...)

akhirnya aku nulis...

Susah juga ternyata mengungkapkan ide melalui cerita pendek.
aku suka menggambarkan suatu ide, perasaan, uneg-uneg dan inspirasi kepada semua orang melalui deskripsi sebuah cerita. Ternyata enggak terlalu mudah..
Berbulan-bulan aku menanti komen2 ttg tulisanku,tapi enggak ada tuh... (HikZ)

ya dawlah... maybe next time...
lagipula aku rindu untuk membagikan banyak hal yang telah aku dapat kini.
Banyak hal tentang kehidupanku yang jadi inspirasiku sendiri. Siapa penulisnya?Sang Khalik kebangganku yang tidak pernah habis menorehkan tintanya melalui cerita-cerita hidupku, walaupun sering aku tanpa izin menuliskan sendiri jalan pikirku untuk hidupku sendiri..

Wow! aku sudah siap untuk berbagi banyak hal kini...