Saturday, December 29, 2007

Aku SUDAH TAHU HARAPANKU

Baru saja aku beribadah. Sang KHALIK mengingatkan sesuatu yang harus aku lakukan tahun depan. Sekarang aku tahu ada harapan buatku untuk tetap bertahan....dalam kesendirian, dalam rasa kepedihanku karena sahabat-sahabatku meninggalkanku,......

Aku tahu Sang KHALIK tetap mencintaiku.
Aku tahu perjalanan hidupKU tahun 2008 akan tetap indah.

Ada satu rahasia buatmu juga, kalau kita ingin hidup kita selalu bahagia, kita harus perbaiki pola hidup kita. Bagaimana?

"dengan selalu punya hikmat"

bagaimana mendapatkannya?

DENGAN TAKUT AKAN TUHAN, SANG PENCIPTA KITA

Takut akan Tuhan, menjadi sebuah harapan yang harus aku lakukan..... termasuk selalu bersyukur.

Bersyukur walau tidak ada lagi "nadimS" dan "nadimN" yang dulu selalu ada buat aku...

"Ajar aku selalu bersyukur, ya, KHALIK....."








New YEAR, NEW HOPE (maybe...)



Setiap malam tahun baru, dulu aku selalu menantikannya. Dulu. Maksudku tahun lalu, dua tahun lalu, tiga tahun lalu empat atau 5 tahun lalu.

Aku pikir, aku akan menghabiskan pergantian malam tahun baru dnegan sahabat-sahabatku. Sesuatu yang mengasyikkan. Menyenangkan. Paling aku nantikan.

Kalau tahun ini? Enggak deh, kayaknya. Aku tahu mereka sudah bersama calon istri atau suami mereka. Ternyata benar ["mungkin" - aku selalu senang menulis "mungkin", bukan tidak realistis tapi aku selalu berharap, kehilangan sahabat-sahabatku hanya sebuah mimpi buruk, yang langsung hilang waktu aku bangun], artikel sebelumnya aku sendiri yang menulis - mungkin [Iya, kan? Aku selalu ingin menambahkan ini].

Aku sendirian. tetap sendirian.

Walaupun beberapa hal akhir-akhir ini sedikit menghiburkanku.
Selain 2 sahabatku, 'nadimN' dan 'nadimS [yang sekarang "mungkin" - sedang meninggalkanku. "mingkin" - "mungkin" - "mungkin"], aku juga punya kawan-kawan karib di kampus. Kami berjuang bersama, mengerjakan paper, mengerjakan tugas bikin film, tugas bikin majalah, tugas bikin acara TV, seabrek tugas lain, begadang bareng sampai belanja buku referensi skripsi, dan wisuda barengan.
Sejak kami lulus, susah banget kumpul semuanya. Tapi waktu lalu, di sore hari yang tidak direncanakan, kami nonton bareng-bareng,..... dan semuanya bisa dateng. Keren. Seneng. Waktu makan di 'foodcourt' tanpa sadar aku memandangi wajah mereka satu-satu dan aku merasa bersyukur atas keadaan ini. Aku punya kawan-kawan yang menyenangkan.

Fiuh....Tahun baru nanti kami akan bersama-sama. Ini yang aku nantikan. Aku lebih menunggu saat-saat ini....dan aku tidak terlalu tertarik lagi, memikirkan kata-kata untuk kirim SMS ke 'nadimN' atau 'nadimS' - karena mereka sudah punya orang yang paling [LEBIH] mengerti mereka daripada mereka, karena mereka akan menghabiskan hidup dengan pasangan mereka. Apalagi menghabiskan malam pergantian tahun dengan mereka.....

Ah, TAHUN BARU. 2008. Harapan apa yang lagi yang ingin aku capai?
Bikin film sama Nia DiNata [seorang yang sangat aku kagumi]. Kayaknya enggak bisa tahun ini, deh... Selain, kenal aja neggak, aku juga udah terikat kontrak dengan perusahaan dan mengikat satu komitmen pekerjaan.

Tahun 2008. Harapan apa ya?
Mungkin enggak?

Bersyukur (Tetap Bisakah?)

(Sebuah Catatan seorang Pribadi)
Seorang pribadi menulis begini :


Kebahagiaan di dapat bila kita mau bersyukur...
dan hal ini yang menjadi sebuah pemikiranku yang mendalam.
Aku tahu, kalau aku mau bahagia... Aku harus bersyukur... HARUS SELALU bersyukur untuk setiap yang aku punyai dan diberikan PENCIPTA kepadaku.

Tapi saat ini, Setiap malam, aku selalu merenungi sebuah pertautan batin.
Aku sekarang benar-benar sendirian.

Aku entah gagal atau belum gagal, tidak lagi mendapatkan sebuah romansa yang disebut cinta.
Tak ada lagi dewi-dewi kehidupan yang mau merajutkan sutra demi kebahagiaan.
Aku tahu, aku tidak boleh merasa begini.
Namun sisi melankolis yang ada dalam pribadiku sedang mengalir deras....

Aku orang yang mencintai sahabat-sahabatku. Aku mengasihi mereka seperti mengasihi saudaraku. Aku menganggap mereka sama seperti anak yang dilahirkan sendiri oleh rahim ibuku. Dan selalu ada ketakutan bahwa aku akan kehilangan mereka. Aku tidak mau kehilangan mereka....

Tapi kenyataannya sekarang aku benar-benar kehilangan mereka. Aku kehilangan mereka...

Satu bahkan terang-terangan mengatakan : "....Sudah saatnya kamu berdiri dengan kakimu sendiri...."
Aku benci itu... Dia mengatakan itu karena dia enggak pengen lagi aku dekat-dekat dia (mungkin).
Dia sudah punya calon istri yang setiap hari selalu ia datangi.
Dia melupakan sesuatu yang pernah ia katakan,... bahwa sekali-kali dia tidak akan pernah meninggalkan kawan-kawan karibnya hanya karena seorang kekasih. Aku ingat betul, saat ia mengucapkan hal itu.....

Tapi itu hanya sebuah janji seirang sahabat, yang seorang manusia. Bisa ingkar, bisa diperbaiki, bisa di "rename" bahkan dengan satu shortcut bisa di "Shift Delete".


Aku benar-benar telah kehilangan.


PENCIPTA, PENCIPTA,.... kembalikan sahabat-sahabatku.....
Aku tidak punya 2 orang itu lagi....

Betapa aku mengasihi mereka berdua... Mereka boleh punya calon istri atau calon suami,...
aku boleh belum mendapatkan calon istri atau tidak mendapatkan pun aku rela, tapi jangan ambil kedua sahabatku dariku.....

PENCIPTA. PENCIPTA dengarlah aku.....





Satu Catatan untuk pribadi ini :
Tetap bersyukur, meski sulit...
PENCIPTA-lah sahabat sejatimu, tidak pernah ingkar janji, tulus, cinta mesra sejati, cintaNYA tidak pernah di "rename" bahkan di "shift delete" lalu di "recycle empty" pun - enggak bisa.

Satu catatan untuk-ku,... :
Ehm ITU SULIT, sih... PENUH PERJUANGAN... Karna aku sama dengan apa yg dia alami. PERSIS. Atau bahkan itu Aku sendiri yang menulis?
Oh, TIDAK!!!!!

Saturday, July 21, 2007

(masih) Sendirian Sekarang, tapi Harus TETAP BERTAHAN


".............
peganglah tangankuuu....
jangan lepaskan....
pertolonganku datang dariMU.....
........"

lagu ini sekarang lagi terngiang terus di telinga dan terutama di hatiku....
kemarin aku melihat dg mata kepalaku sendiri, bapak-bapak tua sakit stroke, tangannya bisa diangkat tinggi-tinggi, oma yang kakinya susah berjalan karena kecelakaan bisa berjalan normal, seorang bapak yang sesak nafas karena jantung koroner bisa bernafas lega dan banyak lagi orang sakit jasmani menjadi sembuh. Mujizat Tuhan yang luar biasa yang diijinkan untuk aku lihat.

Tapi hari ini, aku merasa menjadi bagian dari mereka. Mungkin aku tidak sakit fisik, mungkin aku tidak menderita kelumpuhan, ketidaknormalan-fisik -seperti yang aku lihat kemarin, sampai membuat aku meneteskan air mata, tidak konsen dengan kegiatan reportaseku--
tapi aku merasa lemah batinku, karena kesepian yang mendalam..

Aku tidak memiliki waktu bersama sahabat-sahabatku lagi. ketawa bareng mereka, sedih bersama mereka, diejek mereka, dicela, disakiti, bahkan, aku merindukan itu. Aku sudah tidak punya lagi perasaan senang, bangga bahkan marah pada mereka sekarang. Hubunganku bahkan baik-baik saja. tapi hanya "baik-baik saja" - Namun kami tidak saling dekat lagi. Tidak dg kontak fisik dan kontak hati serta pikiran yang mendalam. Hanya tegur sapa, ngobrol beberapa jam, telepon dan SMS saja. thatZ it.
Mereka kini hanya punya waktu yang lebih untuk calon pasangan hidup mereka. Mempersiapkan hidup mereka di masa mendatang, menyelesaikan kuliah, pekerjaan, menyatukan keluarga dengan keluarga pasangan, membentuk keluarga bersama calon pendamping hidup, untuk bertunangan, untuk menikah, merancangkan biaya membangun rumah, membesarkan anak, mendidik mereka, sekolah di mana dan hal-hal apa saja yang butuh disiapkan dengan calon pendamping hidup mereka dan keluarga mereka.

Sementara aku, masih dg mimpi-mimpiku, membuat film yang suatu hari nanti (entah bisa atau tidak tercapai, aku hanya bisa yakin dan berusaha) yang bisa memenangkan OSCAR.

Entah tiba-tiba, aku melelehkan kristial-kristal kesedihan dari 2 bola mataku sekarang, saat aku menuliskan ini.
Aku merindukan mereka semua. Aku mau nonton bareng merka, berkhayal, kalo kami yang main film itu, makan nasi goreng atau masakan Jepang, saling mengejek dan aku tersinggung, tapi kemudian kami baikan lagi. Ketawa bareng lagi, mengejek lagi, marah lagi dan baikan lagi. Kami bisa mengasihi satu sama lain, menegur satu sama lain.

tapi, ya... sudah.....
semua ada waktunya. kupikir semua waktu itu cukup. Sekarang saatnya mereka dengan calon-calon pasangan hidup mereka....dan sekarang saatnya aku (masih) dengan mimpi-mimpiku yang dulu, dan (masih) dengan kesendirianku. Aku menghargai waktu-waktu yang lalu itu. Meski aku menangis, tapi, aku masih juga tetap dengan kesendirianku.

Tapi satu hal,...aku merindukan waktu itu....dan aku tidak mau gara-gara kalian membaca ini, kalian kemudian mendekatiku lagi, mengajak hang-out karena aku sedih dalam kesendirianku... Tidak.
Aku akan berusaha baik-baik saja. Karena bagaimanapun, kita dalam kondisi dan tujuan hidup yang berbeda.

Kalian tetaplah bersama orang-orang yang kalian cintai, dan aku akan bersama (hanya dengan) mimpi-mimpiku yang kucintai dan suatu saat nanti aku ingin wujudkan itu. Jika itu sudah tercapai, satu kali saja, cukup dan aku ingin segera menutup mataku di dunia ini.



".............
peganglah tangankuuu....
jangan lepaskan....
pertolonganku datang dariMU.....
........"

Saturday, May 12, 2007

LONG ROAD TO HEAVEN:

Saatnya Manusia Saling Mencintai Sesamanya


25 januari 2006




AKU TIDAK HABIS PIKIR. Uhm. Mulutku terus bergumamm. Ternyata begitu ya, jalan pikir mereka… tapi kenapa bisa begitu ya? Apa mereka tidak bisa melihat sebuah sisi yang lain, yang tidak egois? (setidaknya menurutku)...

Sebuah perjalanan menuju surga. Ini sebuah film dari sebuah peristiwa (menurutku tragis, memilukan dan memalukan) yang pasti sangat dikenal seantero dunia. Peristiwa bom Bali. Sebuah ‘shortcut’ masuk ke surga. Film ini (mungkin) bisa jadi sebuah jawaban atas pertanyaan orang-orang seperti aku ; yang tidak terlalu mengikuti siapa saja yang yang bertanggung jawab atas tindakan pengeboman ini, yang tidak mengikuti detil peristiwa seperti yang diberitakan media massa. Long Road to Heaven sedikit banyak membuat aku tahu detil siapa-siapa saja yang terlibat di dalamnya dan alasan-alasan mereka melakukan pengeboman, termasuk pemilihan Bali sebagai target sasaran. Meski begitu aku masih belum mengerti benar alasan mereka merelakan tanah airnya untuk ‘memusnahkan kaum kafir’ (meminjam istilah Amrozi di film ini). Namun, ya, sudahlah. Anggap saja itu bisa menjadi sebuah penyesalan yang mendalam bagi bangsa ini. Setidaknya aku tahu beberapa latar belakang yang berkaitan dengan runut kisah sebenarnya.

Sinematografi film ini cukup membuat aku gemetar pula, diikuti dengan musik dan suara-suara tabuh gendang tradisional. Alurnya dibuat cukup menarik. Tidak maju ke depan, namun disesuaikan dengan suasana yang bisa mempengaruhi kondisi psikis penonton. Cukup apik, meski bukan yang spesial sekali (menurutku). Dialog-dialog para antagonis sempat membuatku dongkol karena begitu berkarakter (mungkin karena mewakili). Begitu pula tokoh-tokoh yang sengaja diciptakan sebagai porsi keseimbangan.

Siapa saja yang ingin tahu peristiwa bom Bali, lebih baik tinggal duduk diam dan menonton film ini. Anda akan mendapatkan bonus sinematografi dan sound yang berkualitas, jauh dari film terbaik FFI 2006.

Buatku, seharusnya film yang diangkat dari kisah nyata ini tidak perlu dibuat lagi – karena memang tidak perlu peristiwa nyatanya terjadi lagi. Saatnya manusia-manusia saling mencintai sesamanya, tidak mendahulukan kepentingannya sendiri. Ini pesan yang tertangkap dibenakku dari film ini.


This Our Exile:

Terkadang Kita Harus Mengerti Orang Tua Kita
(directed by Patrick Tam)

23 januari 2006


MATAKU terpana, pikiranku melayang penuh tanya ketika credit tittle film ini diiringi theme song mulai mengalun. Kurang lebih sekitar 2 jam aku mengikuti alur cerita film ini dan banyak hal pesan moral yang aku dapatkan. Jujur, film ini menginspirasi dan menengur hati. Selain dibarengi dengan sinematografi yang apik cenderung human interest.

Sebuah keluarga kecil yang terdiri atas ayah, mama dan anak seusia (kira-kira) SD kelas 5 terasa kacau menurutku. Film diawali dengan percobaan melarikan diri seornag mama ini –pergi meninggalkan keluarganya tetapi kemudian suaminya menyeret dia kembali pulang. Tentu saja sang suami sangat bingung dengan sikap istrinya ini. Mengapa ia begitu tega meninggalkan dia dan anak yang dia cintai?
Sang istri mengemukakakan alasan, bahwa ia merasa tidak dicintai karena sang suami tidak selalu ada disampingnya. Sang suami pun membela diri bahwa ia bekerja untuk dia dan anaknya. Sang istri menimpali lagi bahwa ia tidak menerima penuh gaji suaminya yang bekerja sebagai koki sebuah restoran itu karena sebagian dibuatnya judi, sehingga sang istri harus bekerja keras juga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

Sang suami putus asa. Ia mati-matian meyakinkan sang istri bahwa ia begitu mencintai dia dan berjanji tidak berjudi lagi dan meyakinkan bahwa ia akan menyediakan waktu buat keluarga. Sang istri sudah tidak bisa percaya lagi kepadanya. Sang suami sampai berniat membuktikan cintanya dengan memotong jemarinya. Untung saja itu tidak sampai terjadi sang suami memeluk istrinya penuh cinta. Ia bertanya apakah hati istrinya itu telah berpaling kepada pria lain sehingga ia berniat pergi. Sang istri mengelak.

Singkat cerita, ternyata benar. Sang istri pergi juga meninggalkan keluarganya karena pria lain. Sang suami marah dan cinta itu menjadi kebencian. Korban dari ini lagi-lagi adalah anak mereka. Anak itu menangis dan merengek pada Papanya untuk mencari Mamanya. Namun sang Papa tidak measa perlu lagi melakukan itu karena bagi dia Mamanya sudah tidak cinta lagi kepada mereka.

Hidup Papa dan anak ini menjadi tidak karuan. Hutang yang banyak membuat mereka harus pergi mengasingkan diri. Penderitaan demi penderitaan harus mereka alami. Kesulitan ekonomi dan berbagai tekanan membuat kondisi mereka terpuruk. Ketika pada titik tersulit inipun sang Papa bukannya tetap hidup di jalan yang benar namun ia tetap ‘bandel’. Sang Papa pergi berkencan dengan wanita lain dan tidak kunjung mencari pekerjaan. Anak ini mengalami tekanan batin yang sangat. Ia sampai berhenti sekolah dan terpaksa mencuri jam tangan milik orang tua teman sekolahnya. Anak ini terus murung dan mencari keberadaan mamanya. Pada satu kesempatan ia bertemu mamanya dengan kondisi yang jauh berbeda : berkecukupan dan tinggal di tempat yang nyaman. Anak ini lantas tidak senang begitu saja dan tinggal dengan mamanya karena ia tahu mamanya sudah menikah lagi dan sekarang telah mengandung seorang anak dengan pria lain. Ia kembali pada Papanya dengan perasaan kecewa sekali.

Kembali bersama papa bukan berarti bahagia pula. Ia selalu berada pada posisi sulit. Sampai suatu kali papanya benar-benar akan mendapat pekerjaan di tempat yang jauh. Tanpa menginformasikan pada anaknya ia berniat pergi dan meninggalkan anaknya sendirian di penginapan. Niat itu gagal karena ia bertemu penagih utang dan ia dipukul sampai babak belur karena tidak dapat membayar hutangnya. Sang papa kembali ke penginapan dan anak itu merawat papanya penuh cinta.

Kondisi sulit terus menimpa. Sang papa terpaksa menyuruh anaknya ini mencuri di rumah tetangga, rumah teman dan rumah orang tak dikenal. Mereka gagal mendapatkan uang. Korban kali ini lagi-lagi anak yang berusaha mengerti orang tuanya ini. Ia dipukul babak belur oleh pemilik rumah dan masuk ke penjara. Dalam kondisi sulit ini, ia tidak melihat snag Papa berada di sampingnya. Ia menjadi marah. Ketika sang papa membesuknya di penjara dan meminta maaf, ia bahkan makin memuncak kemarahannya sampai melukai ayahnya.

Pada akhir cerita, snag anak sudah dewasa dan keluar dari penjara. Ia tidak terlihat dendam lagi. Ia bahkan dengan antusias mencari papanya. Ia ingin memeluk erat Papanya. Tetapi ia tidak mendapati papanya itu.

Point yang aku dapatkan : seharusnya sang anak merasa dendam dan tidak mau lagi bertemu orang tuanya itu. Ia tidak memilih itu. Ia mengasihi orang tuanya dan mencoba mengerti. Ia ingin papanya kembali hidup di jalan yang benar. Terkadang aku selalu ingin dimengerti oleh orangtuaku…dan terkadang terlambat untuk mengerti apa yang ada di benak mereka. Film ini menjelaskan sisi kehidupan lain ada seorang anak tetap mengasihi orangtuanya bahkan ketika ia tidak pernah dapat kasih sayang yang cukup ia rasakan.

pembunuh.itu.diampuni

8.januari.2006


SEBUAH acara bincang-bincang di sebuah stasiun televisi membuat aku menghentikan tangan memindah-mindah chanel tv.
Aku tertarik dengan tema yang tertera, kalau tidak salah ; “Saat Buah Hati Pergi”. Romeo, seorang bapak, berusia kira-kira 40 sampai 50 tahun, menceritakan runtun kisah ketika anaknya dmamanuh oleh temannya sendiri.

Anaknya itu bernama Marco. Baru saja pulang dari Australia setelah satu setengah tahun sekolah di sana. Ia lmamaran di Indonesia, rencananya satu setengah bulan. Namun satu minggu sebelum ia kembali ke Australia, ia harus pergi untuk selama-lamanya.

Dua minggu sebelum Marco pulang, ia sedang reuni dengan kawan-kawan SD-nya. Sejak saat itu, kawan-kawannya sering main ke rumahnya; basket dan playstation. Termasuk di antara kawan-kawan itu adalah kawan yang membunuh Marco. Setelah beberapa hari, ia pun sudah terbiasa main ke rumah Marco.

Sampai satu hari, ia main ke rumah Marco sendirian. Orang tua Marco sedang menghadiri acara makan malam. Adik Marco, Melisa, sedang mendengarkan discman di kamar atas. Pembantu rumah tangga sedang menyiapkan makanan di dapur. Tiba-tiba, entah kenapa, teman Marco yang kabarnya pengguna narkotik ini menusukkan pisau (yang sudah disisapkan dari rumah-) ke leher Marco. Ia pun pergi ke dapur, memukul kepala pembantu dengan botol, mengikat dan menguncinya di dalam kamar. Ia naik ke atas, ke kamar Marco, yang berhadapan dengan kamar Melisa. Ia mengganti bajunya yang berlumuran darah itu dengan baju bersih Marco. Ia mengambil handphone Marco dan entah yang lainnya. Lalu ia pergi.

Pembantu Marco berhasil melepaskan diri, ia menghampiri Melisa dan mendapati Marco sudah terkapar. Mereka menelpon Bapak dan Mama Romeo. Orang tua Marco dan Melisa ini kemudian segera pulang. Di dalam perjalanan, Bapak Romeo sudah merasakan kalau anaknya, Marco telah pergi untuk selama-lamanya. Ia menggenggam erat tangan istrinya dan menyerahkan dengan ikhlas kepada Tuhan, anaknya ini. Ia menganggap bahwa anaknya ini adalah titipan Tuhan, ketika Marco harus pulang kembali, ia tidak bisa berbuat apa-apa, maka ia merelakannya dengan tulus.

Satu hal yang tidak akan pernah aku lupa, kalimat bapak Romeo ini.
Siapapun pembunuh anak kita ini, kita harus mengampuni. Marco sudah tidak ada dan tidak ada cara untuk mengembalikan dia hidup kembali., maka kita mengampuni dia dan merelakan Marco pergi. Selama dia hidup kita sudah berusaha memberikan yang terbaik kepadanya, maka sekarang kita fokus pada yang masih hidup saja, yaitu Melisa, adik Marco. Kita berusaha berikan yang terbaik kepadanya.

Semua kawan-kawan, famili dan handai taulan menangisi Marco, tapi bapak Romeo tetap tegar dan merelakan kepergian Marco tanpa dendam apaun pada pembunuhnya. Ia bahkan tidak pernah bertemu dengan pembunuh anaknya ini, karena dia pikir, ia sudah mengampuni dan menganggap sudah selesai. Ia tahu pembunuh anaknya ini seusia dengan Marco. Ia tahu ia sedang melakukan keslaahan besar, namuan ia punya harapan bahwa suatu saat nanti, pembunuh itu akan berubah dan menjadi orang yang lebih baik lagi.

Kemudian, stasiun televisi ini menanyangkan kawan Marco yang membunuh anaknya ini. Ia penuh isak tangis meminta maaf dnean sungguh-sungguh kepada orang tua Marco. Ia telah mendapat hukuman 12 tahun penjara.



Wow! Pembunuh itu diampuni, dan ia meminta maaf.
Itulah yang namanya cinta.

Aku hanya terdiam. Bisakah aku memiliki hati setegar itu?
Bisakah ajaran cinta kasih semacam itu aku realisasikan?