Saturday, May 12, 2007

LONG ROAD TO HEAVEN:

Saatnya Manusia Saling Mencintai Sesamanya


25 januari 2006




AKU TIDAK HABIS PIKIR. Uhm. Mulutku terus bergumamm. Ternyata begitu ya, jalan pikir mereka… tapi kenapa bisa begitu ya? Apa mereka tidak bisa melihat sebuah sisi yang lain, yang tidak egois? (setidaknya menurutku)...

Sebuah perjalanan menuju surga. Ini sebuah film dari sebuah peristiwa (menurutku tragis, memilukan dan memalukan) yang pasti sangat dikenal seantero dunia. Peristiwa bom Bali. Sebuah ‘shortcut’ masuk ke surga. Film ini (mungkin) bisa jadi sebuah jawaban atas pertanyaan orang-orang seperti aku ; yang tidak terlalu mengikuti siapa saja yang yang bertanggung jawab atas tindakan pengeboman ini, yang tidak mengikuti detil peristiwa seperti yang diberitakan media massa. Long Road to Heaven sedikit banyak membuat aku tahu detil siapa-siapa saja yang terlibat di dalamnya dan alasan-alasan mereka melakukan pengeboman, termasuk pemilihan Bali sebagai target sasaran. Meski begitu aku masih belum mengerti benar alasan mereka merelakan tanah airnya untuk ‘memusnahkan kaum kafir’ (meminjam istilah Amrozi di film ini). Namun, ya, sudahlah. Anggap saja itu bisa menjadi sebuah penyesalan yang mendalam bagi bangsa ini. Setidaknya aku tahu beberapa latar belakang yang berkaitan dengan runut kisah sebenarnya.

Sinematografi film ini cukup membuat aku gemetar pula, diikuti dengan musik dan suara-suara tabuh gendang tradisional. Alurnya dibuat cukup menarik. Tidak maju ke depan, namun disesuaikan dengan suasana yang bisa mempengaruhi kondisi psikis penonton. Cukup apik, meski bukan yang spesial sekali (menurutku). Dialog-dialog para antagonis sempat membuatku dongkol karena begitu berkarakter (mungkin karena mewakili). Begitu pula tokoh-tokoh yang sengaja diciptakan sebagai porsi keseimbangan.

Siapa saja yang ingin tahu peristiwa bom Bali, lebih baik tinggal duduk diam dan menonton film ini. Anda akan mendapatkan bonus sinematografi dan sound yang berkualitas, jauh dari film terbaik FFI 2006.

Buatku, seharusnya film yang diangkat dari kisah nyata ini tidak perlu dibuat lagi – karena memang tidak perlu peristiwa nyatanya terjadi lagi. Saatnya manusia-manusia saling mencintai sesamanya, tidak mendahulukan kepentingannya sendiri. Ini pesan yang tertangkap dibenakku dari film ini.


This Our Exile:

Terkadang Kita Harus Mengerti Orang Tua Kita
(directed by Patrick Tam)

23 januari 2006


MATAKU terpana, pikiranku melayang penuh tanya ketika credit tittle film ini diiringi theme song mulai mengalun. Kurang lebih sekitar 2 jam aku mengikuti alur cerita film ini dan banyak hal pesan moral yang aku dapatkan. Jujur, film ini menginspirasi dan menengur hati. Selain dibarengi dengan sinematografi yang apik cenderung human interest.

Sebuah keluarga kecil yang terdiri atas ayah, mama dan anak seusia (kira-kira) SD kelas 5 terasa kacau menurutku. Film diawali dengan percobaan melarikan diri seornag mama ini –pergi meninggalkan keluarganya tetapi kemudian suaminya menyeret dia kembali pulang. Tentu saja sang suami sangat bingung dengan sikap istrinya ini. Mengapa ia begitu tega meninggalkan dia dan anak yang dia cintai?
Sang istri mengemukakakan alasan, bahwa ia merasa tidak dicintai karena sang suami tidak selalu ada disampingnya. Sang suami pun membela diri bahwa ia bekerja untuk dia dan anaknya. Sang istri menimpali lagi bahwa ia tidak menerima penuh gaji suaminya yang bekerja sebagai koki sebuah restoran itu karena sebagian dibuatnya judi, sehingga sang istri harus bekerja keras juga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

Sang suami putus asa. Ia mati-matian meyakinkan sang istri bahwa ia begitu mencintai dia dan berjanji tidak berjudi lagi dan meyakinkan bahwa ia akan menyediakan waktu buat keluarga. Sang istri sudah tidak bisa percaya lagi kepadanya. Sang suami sampai berniat membuktikan cintanya dengan memotong jemarinya. Untung saja itu tidak sampai terjadi sang suami memeluk istrinya penuh cinta. Ia bertanya apakah hati istrinya itu telah berpaling kepada pria lain sehingga ia berniat pergi. Sang istri mengelak.

Singkat cerita, ternyata benar. Sang istri pergi juga meninggalkan keluarganya karena pria lain. Sang suami marah dan cinta itu menjadi kebencian. Korban dari ini lagi-lagi adalah anak mereka. Anak itu menangis dan merengek pada Papanya untuk mencari Mamanya. Namun sang Papa tidak measa perlu lagi melakukan itu karena bagi dia Mamanya sudah tidak cinta lagi kepada mereka.

Hidup Papa dan anak ini menjadi tidak karuan. Hutang yang banyak membuat mereka harus pergi mengasingkan diri. Penderitaan demi penderitaan harus mereka alami. Kesulitan ekonomi dan berbagai tekanan membuat kondisi mereka terpuruk. Ketika pada titik tersulit inipun sang Papa bukannya tetap hidup di jalan yang benar namun ia tetap ‘bandel’. Sang Papa pergi berkencan dengan wanita lain dan tidak kunjung mencari pekerjaan. Anak ini mengalami tekanan batin yang sangat. Ia sampai berhenti sekolah dan terpaksa mencuri jam tangan milik orang tua teman sekolahnya. Anak ini terus murung dan mencari keberadaan mamanya. Pada satu kesempatan ia bertemu mamanya dengan kondisi yang jauh berbeda : berkecukupan dan tinggal di tempat yang nyaman. Anak ini lantas tidak senang begitu saja dan tinggal dengan mamanya karena ia tahu mamanya sudah menikah lagi dan sekarang telah mengandung seorang anak dengan pria lain. Ia kembali pada Papanya dengan perasaan kecewa sekali.

Kembali bersama papa bukan berarti bahagia pula. Ia selalu berada pada posisi sulit. Sampai suatu kali papanya benar-benar akan mendapat pekerjaan di tempat yang jauh. Tanpa menginformasikan pada anaknya ia berniat pergi dan meninggalkan anaknya sendirian di penginapan. Niat itu gagal karena ia bertemu penagih utang dan ia dipukul sampai babak belur karena tidak dapat membayar hutangnya. Sang papa kembali ke penginapan dan anak itu merawat papanya penuh cinta.

Kondisi sulit terus menimpa. Sang papa terpaksa menyuruh anaknya ini mencuri di rumah tetangga, rumah teman dan rumah orang tak dikenal. Mereka gagal mendapatkan uang. Korban kali ini lagi-lagi anak yang berusaha mengerti orang tuanya ini. Ia dipukul babak belur oleh pemilik rumah dan masuk ke penjara. Dalam kondisi sulit ini, ia tidak melihat snag Papa berada di sampingnya. Ia menjadi marah. Ketika sang papa membesuknya di penjara dan meminta maaf, ia bahkan makin memuncak kemarahannya sampai melukai ayahnya.

Pada akhir cerita, snag anak sudah dewasa dan keluar dari penjara. Ia tidak terlihat dendam lagi. Ia bahkan dengan antusias mencari papanya. Ia ingin memeluk erat Papanya. Tetapi ia tidak mendapati papanya itu.

Point yang aku dapatkan : seharusnya sang anak merasa dendam dan tidak mau lagi bertemu orang tuanya itu. Ia tidak memilih itu. Ia mengasihi orang tuanya dan mencoba mengerti. Ia ingin papanya kembali hidup di jalan yang benar. Terkadang aku selalu ingin dimengerti oleh orangtuaku…dan terkadang terlambat untuk mengerti apa yang ada di benak mereka. Film ini menjelaskan sisi kehidupan lain ada seorang anak tetap mengasihi orangtuanya bahkan ketika ia tidak pernah dapat kasih sayang yang cukup ia rasakan.

pembunuh.itu.diampuni

8.januari.2006


SEBUAH acara bincang-bincang di sebuah stasiun televisi membuat aku menghentikan tangan memindah-mindah chanel tv.
Aku tertarik dengan tema yang tertera, kalau tidak salah ; “Saat Buah Hati Pergi”. Romeo, seorang bapak, berusia kira-kira 40 sampai 50 tahun, menceritakan runtun kisah ketika anaknya dmamanuh oleh temannya sendiri.

Anaknya itu bernama Marco. Baru saja pulang dari Australia setelah satu setengah tahun sekolah di sana. Ia lmamaran di Indonesia, rencananya satu setengah bulan. Namun satu minggu sebelum ia kembali ke Australia, ia harus pergi untuk selama-lamanya.

Dua minggu sebelum Marco pulang, ia sedang reuni dengan kawan-kawan SD-nya. Sejak saat itu, kawan-kawannya sering main ke rumahnya; basket dan playstation. Termasuk di antara kawan-kawan itu adalah kawan yang membunuh Marco. Setelah beberapa hari, ia pun sudah terbiasa main ke rumah Marco.

Sampai satu hari, ia main ke rumah Marco sendirian. Orang tua Marco sedang menghadiri acara makan malam. Adik Marco, Melisa, sedang mendengarkan discman di kamar atas. Pembantu rumah tangga sedang menyiapkan makanan di dapur. Tiba-tiba, entah kenapa, teman Marco yang kabarnya pengguna narkotik ini menusukkan pisau (yang sudah disisapkan dari rumah-) ke leher Marco. Ia pun pergi ke dapur, memukul kepala pembantu dengan botol, mengikat dan menguncinya di dalam kamar. Ia naik ke atas, ke kamar Marco, yang berhadapan dengan kamar Melisa. Ia mengganti bajunya yang berlumuran darah itu dengan baju bersih Marco. Ia mengambil handphone Marco dan entah yang lainnya. Lalu ia pergi.

Pembantu Marco berhasil melepaskan diri, ia menghampiri Melisa dan mendapati Marco sudah terkapar. Mereka menelpon Bapak dan Mama Romeo. Orang tua Marco dan Melisa ini kemudian segera pulang. Di dalam perjalanan, Bapak Romeo sudah merasakan kalau anaknya, Marco telah pergi untuk selama-lamanya. Ia menggenggam erat tangan istrinya dan menyerahkan dengan ikhlas kepada Tuhan, anaknya ini. Ia menganggap bahwa anaknya ini adalah titipan Tuhan, ketika Marco harus pulang kembali, ia tidak bisa berbuat apa-apa, maka ia merelakannya dengan tulus.

Satu hal yang tidak akan pernah aku lupa, kalimat bapak Romeo ini.
Siapapun pembunuh anak kita ini, kita harus mengampuni. Marco sudah tidak ada dan tidak ada cara untuk mengembalikan dia hidup kembali., maka kita mengampuni dia dan merelakan Marco pergi. Selama dia hidup kita sudah berusaha memberikan yang terbaik kepadanya, maka sekarang kita fokus pada yang masih hidup saja, yaitu Melisa, adik Marco. Kita berusaha berikan yang terbaik kepadanya.

Semua kawan-kawan, famili dan handai taulan menangisi Marco, tapi bapak Romeo tetap tegar dan merelakan kepergian Marco tanpa dendam apaun pada pembunuhnya. Ia bahkan tidak pernah bertemu dengan pembunuh anaknya ini, karena dia pikir, ia sudah mengampuni dan menganggap sudah selesai. Ia tahu pembunuh anaknya ini seusia dengan Marco. Ia tahu ia sedang melakukan keslaahan besar, namuan ia punya harapan bahwa suatu saat nanti, pembunuh itu akan berubah dan menjadi orang yang lebih baik lagi.

Kemudian, stasiun televisi ini menanyangkan kawan Marco yang membunuh anaknya ini. Ia penuh isak tangis meminta maaf dnean sungguh-sungguh kepada orang tua Marco. Ia telah mendapat hukuman 12 tahun penjara.



Wow! Pembunuh itu diampuni, dan ia meminta maaf.
Itulah yang namanya cinta.

Aku hanya terdiam. Bisakah aku memiliki hati setegar itu?
Bisakah ajaran cinta kasih semacam itu aku realisasikan?