Saturday, January 28, 2006

BALADA ASAP 16: Ke-Eksisan Sebuah Puntung






Sebuah catatan cerita, dalam bingkai uneg-uneg tentang sebuah fenomena……


cakrawala hari ini memamerkan keindahan sinarnya. Tingkap-tingkap langit menjadi begitu terbuka turut memperlihatkan kuat sinar sang surya. Kebetulan sekarang hari minggu. Terdengar sayup-sayup suara nyaring mengalunkan lagu-lagu pujian bagi Khalik. Lantunannya lembut hingga terasa nuansa kesucian yang terbalut apik dalam mahligai sorgawi. Kebaktian pertama yang berlangsung itu menyisakan makna tersendiri bagi jemaat yang telah beribadah.

Sang Penyampai Firman keluar pintu dibarengi petugas gerejawi yang katanya disebut majelis. Senyum pun bermekaran di sana-sini wajah mereka, menebarkan kepada semua jemaat sebuah rasa damai dari sorgawi. Tugas selesai. Sang Penyampai Firman meletakkan lelah sembari mengumpulkan tenaga untuk persiapan kebaktian selanjutnya.

Seorang anak kecil baru saja menghentakkan kaki mungilnya di halaman gereja. Ia berlari kecil menuju sekolah minggu. Sesuatu yang sangat dinantinya di akhir hari sekolahnya. Senandung kecil terlantun di bibirnya. Itu terjadi sebelum saat ia terbatuk-batuk karena bertemu dengan asap. Asap yang tentu kental dengan pekat tembakau berbaur racun itu hebat berbaur dengan udara. Anak kecil itu berhenti. Ia menghentikan langkah, menengadah ke atas. Terlihat asap yang begitu tebal berwarna putih –bukan suci– dengan arogannya menguasai udara di sekitar gereja. Dalam benaknya terlintas satu hal: rokok. Puntung yang selalu dipuja sebagai simbol kemaskulinan itu menyisakan kekecewaan tersendiri buatnya. Ayahnya meninggal karenanya… Kini sebuah perenungan kecil menjadi ritual mendadak anak itu. Ia terduduk di tengah asap yang pekat. Meski ia tak mau bertemu dengan asap itu.

Kemudian terdengar langkah kaki yang semakin mendekat. Beberapa orang yang baru saja menyebarkan senyum damai kepada semua jemaat ternyata sedang lewat. Mereka berseragam dengan warna khusus, lambang pelayan Tuhan yang setia, pendamping sang Penyampai Firman. Anak itu hendak memberikan wajahnya dan menyapa mereka. Tentu pula seperti seorang anak yang sedang mengadukan sesuatu kepada ayahnya. Ia begitu terganggu dengan pasukan asap rokok yang bergelimang bebas menguasai udara gereja,

“Om Majelis, om majelis…” sapa anak itu.

Namun ketika matanya beradu dengan wajah-wajah mereka, anak ini begitu tersentak. Mulut-mulut mereka mengeluarkan asap, tangan-tangan mereka bersela puntung berasap, di sekitar mereka penuh asap. Anak kecil itu terbatuk-batuk sampai kelelahan, sampai ia memutuskan untuk berlari. Ia berlari kencang keluar gereja, jauuuh… jauuuuuuuuh, semakin JAUH. Ia tak mau lagi kembali ke gereja manapun.

Meski pertanyaan-pertanyan bercokol tajam dalam pikirnya,
“Apakah pelayan-pelayan Tuhan itu seperti ayahnya: Menikmati puntung beracun dan terbuai karena memuja sang Asap beracun??? Apakah semua pelayan begitu?? Haruskah sejuk udara gereja yang harusnya KUDUS menjadi RAKUS memakan semua ASAP???”


Anak kecil ini tidak bisa menjawab, yang jelas ia selalu kehilangan sukacita di hari-hari minggunya.



Ku harap ilustrasi di atas TIDAK TERJADI LAGI di ressud 16…


No comments: