Saturday, April 02, 2005

17+

“Good morning, students!” suara Mrs. Rini, wanita bertubuh tinggi itu sedikit mengusik. Semula kelas yang dihuni 35 siswa itu terdengar gaduh. Maklum baru pertama kali mereka bertemu di Cawu kedua kelas tiga ini. Kehadiran guru itu sedikit menoreh tanya dalam benak mereka. Kira-kira pelajaran apakah yang akan ia ajarkan.
“This is my first time to meet you in this class.”
Sepertinya semua mata menatap dengan seksama ke depan. Ia beruntung dapat dengan cepat menarik perhatian penghuni kelas dengan program IPS itu. Karena kelas ini dikenal dengan kelas yang bandel meski selalu juara diantara kelas-kelas lain. Banyak guru yang sudah angkat tangan menghadapi kelas satu ini. Sebenarnya nakal mereka yang wajar-wajar saja. Namun yang bikin mereka beda adalah kenakalan mereka itu lebih kreatif alias usilnya minta ampun dengan guru. Kepala sekolah tidak terlalu ambil pusing, karena keusilan itu diimbangi dengan prestasi yang patut diacungi dua jempol sekaligus
“Saya menggantikan Mr. Wiliam yang melanjutkan studi ke Jerman. Karena baru pertama kalinya, so i want to know your name, one by one.” Guru itu mengenakan setelan baju kerja berwarna pastel. Rambutnya yang ia ikat rapi itu menambah keanggunannya.
“Kalo Pak Wiliam pergi, enggak ada Bahasa Inggris lagi dong! Ibu terus ngajar apa?” pertanyaan konyol keluar dari mulut Bagda yang agak tulalit itu bikin ‘gerr’ penduduk kelas. Melihat semua pada ketawa, dia hanya cengar-cengir aja sambil garuk-garuk.
“Tulalit banget sih, lu!” timpal Hendro, sang Ketua kelas.
“Ok, silent, please. Saya akan segera meng-absen, jadi harap tenang”
Sesaat Andri yang duduk paling belakang menepuk bahu Yuke, yg terkenal dengan segudang ide gilanya ngerjain guru.
“Yuk, oke juga nih, guru ini.” Yuke hanya mengangguk dan mengulum senyum sembari mengangkat alis.
“He. Jangan-jangan di otakmu udah bercokol ide”
“Bukan Yuke kalo enggak penuh ide gila?!”
“Apa?”
“Sst!”
Yuke memang jahil. Namun yang bikin orang enggak pernah benci padanya, karna keusilannya itu masih dalam norma-norma kesopanan. Itu yang bikin dia beda dengan yang lain. Wajahnya tidak terlalu tampan, meski kulitnya putih. Namun jika dipandang wajahnya selalu nampak manis. Karenanya dia masuk dalam daftar cowok keren di sekolah itu.
“Excuse me, mom!” Yuke mengangkat tangannya.
“Yes please,” guru itu mencari darimana suara datang. Kemudian pandangannya langsung ke arah Yuke.
“Can i know your name” tampangnya ia pasang sok cool abis.
“Oh, sure. Sorry, i forget it.” Wanita itu lantas mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di white board kelas.
“Rini Suratmi Warsito...? It’s beautiful!” cara pengucapan Yuke kali ini sungguh terasa dibuat-buat. Jika didengar telinga, seperti suatu ejekan. Karna itulah, seluruh warga kelas jadi ketawa habis-habisan dengan celoteh Yuke itu.
Mulanya Mrs. Rini agak tersinggung dengan pengucapan Yuke, namun kemudian ia ingat semua wanti-wanti dari para guru mengenai kelas ini. Sejenak ia menghela nafas dan berkata bijak kepada Yuke, “Thank you, Mr.....”
“Yuke.”
“Oh sure. Tapi lain kali saudara mesti agak sopan, ya.”
“Maaf, Mam. Saya tadi hanya bercanda, jadi maafkan saya.” Kata-kata Yuke tadi sedikit mengagetkan Mrs. Rini. Ternyata anak ini ‘gentle’ juga. Ia berani mengakui kesalahannya. Di dalam hati Mrs. Rini menyimpan simpatik pada Yuke.
* * *

Kehadiran Mrs. Rini di sekolah ini ternyata mendapat hati para siswa. Keanggunannya yang alami seta keramahan dan kesabarannya itu menjadikan dia dihormati. Mrs. Rini seorang yang ‘friendly’ dengan para murid, tetapi jika mereka melakukan kesalahan, wanita berwajah ayu ini tak segan dengan tegas memberi sanksi. Semuanya itu membuat dia tidak pernah dibenci tetapi malah semakin disayang.
Begitu pula dengan Yuke. Cowok jangkung berkulit putih ini diam-diam menyimpan hati pada Mrs. Rini. Menurut Yuke Mrs. Rini sangat beda dengan guru-guru yang lain. Dia tidak hanya dapat memberi materi pada murid, tetapi juga dapat mendidik dan menyayangi mereka seperti anak-anaknya sendiri.
“Sejak kecil saya yatim piatu. Saya tinggal di panti asuhan dan harus berjuang menghadapi hidup sendiri.” Yuke ingat kata-kata Mrs. Rini beberapa waktu lalu. Sejak saat itu ia menjadi salut pada guru bahasa Inggris ini. Menghadapi hidup sendirian itu sama sekali tidak mudah. Apalagi jika dibandingkan dengan dirinya yang apa-apa selalu tergantung pada kedua orangtua meski ia juga nge-kos di kota itu.
Dari Mrs. Rini, Yuke belajar banyak hal. Yuke juga sering bertukar pikiran dengannya, karena Mrs. Rini orang yang enak diajak bicara.
“Yuk!” suara Andri yang nge-bass itu membuyarkan lamunannya. Ia lalu menurunkan kaki dari bangku dan memeperhatikan temen sekelasnya ini.
“Ini berita terbaru, Yuk!” Andri membentangkan tangannya berekspresi.
“Berita apa?”
“Mrs. Rini.”
“Apa?”
“Aku melihat dia di lokalisasi!” kata-kata Andri membuat Yuke terbelalak.
“Kamu jangan ngomong sembarangan! Dia kan lagi seminar?!”
“Bener kok. Kemarin aku melihat dia berbincang-bincang dengan para pria hidung belang.”
“Kamu lihat dimana?”
“Dimana lagi tempat lokalisasi di kota ini...” Andri kemudian berpaling.
“Terus, buat apa kamu kesana?”
Mendengar pertanyaan Yuke ini, Andri jadi berbalik lagi dan mendekatkan dirinya ke Yuke, “Ssst!! Jangan keras-keras. Suer! Aku enggak ngapa-ngapain. Aku kan,... aku... aku, cuman lewat !”
“Jangan-jangan malah kamunya yang...”
“Eh, sembarangan!” Andri kemudian berlalu dari hadapan Yuke. Ia tidak terlalu percaya dengan omongan Andri itu.
Yuke lalu berpikir sejenak. Memang gosip itu baru beredar di sekolahnya kemarin. Dia sendiri dengar dari adiknya yang duduk di kelas satu. Tidak jelas siapa yang menghembuskannya. Yuke selama ini cuman cuek bebek aja. Karna Yuke tahu Mrs. Rini gak mungkin terlibat hal-hal aneh seperti itu.
Yuke lalu berjalan keluar kelas. Ia kemudian lewat di depan koperasi sekolah. Ia mendengar bisik-bisik di ruang guru yang berada tepat di depan Koperasi.
“Nggak nyangka ya, wajahnya aja yang baik-baik, tetapi ternyata...”
“Iya. Nggak cukup mungkin gajinya jadi guru. Hati-hati aja sekarang deh sama Bu Rini itu. Jangan-jangan sekarang di gak masuk gara-gara kecapekan malamnya.”
“Dasar Pelacur!”
Yuke langsung terperanjat mendengar kata-kata terakhir dari perbincangan guru-guru itu. Dia langsung berlari ke kelas. Hatinya dipenuhi gejolak dan tanda tanya besar, sebenernya apa yang sedang terjadi. Apa benar Mrs. Rini, pujaan hatinya itu seorang wanita tuna susila seperti yang diomongin orang-orang satu sekolah saat ini. Yuke kemudian tertunduk lesu. Menyesal sekali Mrs. Rini sedang seminar selama 4 hari sehingga ia tidak bisa langsung menyelidiki dan bertanya kepada Mrs. Rini perihal kebenaranannya.
Angannya melayang jauh mengingat kejadian seminggu lalu, saat Yuke bertandang ke rumah Mrs. Rini. Beliau menerima Yuke dengan sangat ramah. Ia membagi cerita tentang masa kecil dan masa-masa sekolahnya dulu dengan Yuke. Dalam benak Yuke ingin berterus terang kalau dia jatuh hati dengan gurunya ini meski ia tahu perbedaan umur yang terlalu jauh.
Yuke belum mengatakan apa-apa pada Mrs. Rini, kalau dia cinta. Yang ada di benaknya saat itu adalah ingin mengenal Mrs. Rini lebih lagi. Ternyata cowok ini berhasil. Melalui obrolan mereka itu, Yuke mulai mengenal sedikit demi sedikit kepribadian Mrs. Rini. Ia jadi bertambah simpatik padanya.
Bel pulang itu tidak membuat girang hati cowok ini. Ketika ia sudah sampai di rumah, ia bertambah resah akan semua perasaannya. Yuke mesti menunggu 2 hari lagi untuk bertanya kepadanya. Menurut Yuke orang yang menyebarkan berita itu licik. Ia menunggu Mrs. Rini tidak ada di sekolah baru menghembuskan gosip itu.
Yuke kini ingat kalo Mrs. Rini pernah bercerita bahwa di sekolah Yuke itu ada beberapa kelompok guru yang tidak suka kepadanya. Tampaknya mereka iri, karena kelompok guru-guru itu tidak terlalu disukai oleh para murid. Mrs. Rini juga bilang bahwa mereka akan menghalalkan berbagai cara untuk menyingkirkan dirinya.
Sekarang Yuke yakin kalau berita itu benar-benar bohong belaka. Yuke merasa kasihan pada Mrs. Rini. Baru 6 bulan ia bekerja sudah mendapat tantangan seperti itu. Yuke merasa patut membela Mrs Rini.
“Halo, Yuke.” di telinganya kini telah bertengger suara Melati, temen kelasnya. “Yuk, aku denger dari anak Ipa, kalo Bu Rini itu, Bu Rini itu.....”
“Sudahlah Melati. Kamu enggak percaya sama Mrs. Rini lagi?”
“Bukannya aku enggak percaya. Gimana ya, orang semalam aku membuktikan sendiri bersama temen-temenku yang anak Ipa itu kok.”
“Beliau kan lagi seminar? Kamu salah orang kali...!”
“Tapi apa kamu percaya ada orang semirip Mrs. Rini, apalagi katanya dia anak yatim. Yah, mudah-mudahan aja aku salah. Udah ya, Yuk. Bye.”
Yuke menutup telepon Melati dengan gelisah. Bukan tidak percaya dengan Mrs. Rini tetapi kasihan kan nanti dia pulang dari seminar udah dapet suguhan gosip seperti itu. Namun di lain sisi, Yuke juga penasaran apa benar yang dilihat teman-temannya itu adalah Mrs. Rini yang ia kenal dan ia cintai itu.
Belum genap lima langkah ia tinggalkan telepon itu, sudah berdering lagi. Ia angkat dengan agak malas. Ternyata itu Abdul. Lagi-lagi sama dengan Melati, ia mencoba meyakinkan bahwa gosip Mrs. Rini itu benar. Yuke tetap berpegang pada prisipnya kalau ia tidak percaya dengan gosip yang menyebutkan Mrs. Rini wanita murahan.
“OK. Kalo kamu enggak percaya, kita lihat sama-sama. Tunggu aku akan menjemputmu !” Abdul ngotot ngajak Yuke untuk melihat sendiri apa yang dilihatnya. Sebenarnya Yuke juga penasaran sih, tetapi dia juga takut bagaimana kalau yang dikatakan orang-orang itu benar. Tapi sesaat ia tampik ketakutan itu, bagaimana mungkin itu benar? Ia lebih percaya Mrs. Rini ketimbang orang-orang.
Hanya dalam lima belas menit, Abdul telah sampai di rumah Yuke. Kemudian masih di atas motornya ia beri isyarat pada Yuke agar segera ikut diboncengnya. Yuke bergegas berlari dan mereka kemudian melesat memecah sunyinya malam.
Jantung Yuke begitu berdebar. Ia telah sampai di tempat terkutuk itu ; lokalisasi. Tempat para wanita nakal menjajakan tubuhnya. Mereka kemudian mencari tempat yang aman untuk mengintip. Abdul memandang sekeliling pondok yang telah ramai itu. Ia mencari-mencari wanita yang dia maksudkan.
Pondok tampak hiruk pikuk oleh suara manja dari wanita-wanita nakal. Sebenarnya Yuke merasa risih berada di samping pondok itu. Namun ini semua demi menjawab gosip tenteng Mrs. Rini. Ia ingin mengetahuinya sendiri.
Sekarang kaki Yuke lelah setelah sedari tadi berdiri. Ia merasa kesemutan. Sementara Abdul matanya terus mengawasi tempat itu.
“Mana? Sudah hampir sejam kita di sini. Sudahlah, aku lelah. Ayo pulang!”
“Tunggulah, Yuk! Sebentar lagi.”
“Ah, sudah. Sudah. Aku kini bener-bener enggak percaya. Kita pulang!”
Dua pemuda itu kemudian berjalan menghampiri motor. Yuke sudah putus asa dan ia benar-benar mengutuk gosip itu. Sekarang mereka bersiap untuk kembali ke rumah.
Baru ia akan menaiki motor, ia melihat seorang wanita yang sedang berjalan menuju pondok. Ia bersama denan seorang pria. Wanita itu memalingkan wajahnya. ASTAGA!! Itu Mrs. Rini !
Yuke seakan mau pingsan melihat itu. Ia kemudian berjalan menghampirinya. “Maaf, Mam. Ternyata yang diomongkan orang-orang itu benar. Kalau,.. kalau...” Yuke berkata sengit.
Mrs. Rini memandangnya dengan pandangan tak mengerti. Ia bermaksud mengatakan sesuatu kepadanya, “Yuk, semua ini bisa ibu jelaskan. Kalau ibu....”
“Saya menyesal. Sungguh tidak disangka, ibu seorang wanita tuna susila!” Yuke langsung pergi setelah mengatakan itu. Motor yang disetir Abdul berjalan menjauh dari pondok dengan sangat kencangnya.
“Yuke..... !!” teriakan Mrs. Rini itu sudah tak didengar lagi oleh Yuke.
* * *

Yuke menghempaskan tubuhnya di ranjang. Pikirannya kalut. Ia tak tahan dengan apa yang dilihatnya barusan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau wanita yang sangat dihormati dan dicintainya itu adalah seorang WTS. Ia lalu berteriak-teriak histeris. Wajahnya merah. Ia kepalkan tangan kanannya dan ia pukul-pukulkan ke tembok kamarnya itu. Sedih, tangis bercampur marah kini sesak ia rasakan di dada.

TING. TONG.
Suara bel itu sedikit mengusik. Setelah mengelap air mata amarah itu, ia kemudian membuka pintu kamar kos-kosan. Di depan Yuke kini telah ia lihat seorang wanita yang membuatnya histeris mati-matian. Ia lalu memalingkan pandangan.
“Buat apa ibu datang kemari ?”
Wanita itu tersenyum, “Bisa kita bicara sebentar di luar?”
Yuke mengikuti Mrs. Rini ke teras. Ia hanya diam saja dengan wajah penuh murka. Mrs. Rini memandang murid kesayangannya ini dengan bijak.
“Yuke, apa yang kamu lihat tadi tidak seperti yang kamu pikirkan.”
“Bagaiamana enggak?! Di sekolah sudah beredar gosip kalau ibu, kalo ibu,..”
“Kalau apa ?”
“Kalau Ibu seorang pelacur!” kali ini Yuke berbisik lirih.
“Yuke, semuanya itu tidak benar.” Ia mengusap bahu cowok itu. “Apa kamu enggak percaya lagi dengan ibu?”
“Ibu bilang, ibu ikut seminar. Lalu bagaimana ibu berada di tempat terkutuk seperti itu. Malam-malam bersama para pria hidung belang lagi. Orang akan menduga yang tidak-tidak pada ibu.” suara Yuke tampak meluap-luap.
“Baiklah, akan ibu jelaskan.” Wanita itu lalu kembali ke tempat duduknya. “Seminggu lalu ibu bergabung dengan Lembaga Sosial ‘17+’. Lembaga ini bertujuan untuk menangani kepincangan-kepincangan moral yang ada di masyarakat. Salah satunya adalah masalah AIDS. Kegiatan lembaga ini adalah memberikan penyuluhan-penyuluhan tentang bahaya virus HIV, Narkotika dan penyakit kelamin lainnya. Ibu mengajukan ijin ke sekolah untuk ikut seminar, itu memang benar.”
“Lalu?” Yuke menatap wanita itu dengan wajah penuh tanya.
“Salah satu kegiatan seminar itu adalah praktek. Ibu harus mempraktekkan bagaimana memberikan penyuluhan pada para wanita tuna susila itu, bagaimana mencegah HIV yang sangat berpotensi terjadi pada mereka.”
“Karena itu, ibu setiap malam pergi ke sana?”
“Kamu tidak percaya pada ibu ?” mendengar itu, Yuke hanya tertunduk lemas. Ia menyesal telah menuduh yang tidak-tidak pada Mrs. Rini. Ia kini semakin mencintai dan menyanjung wanita itu. Tidak disangka, ia punya tujuan mulia.
“Mrs. Rini, ada yang ingin saya katakan.”
“Apa itu, Yuke ?”
“Sebenarnya selama ini, saya menyimpan perasaan pada ibu. Saya,... saya,.. saya mencintai ibu.” Yuke akhirnya mengungkapakan perasaan jujurnya.
Mrs. Rini kemudian terdiam sejenak dan ia tertawa, “Yuke, kau ini masih muda, anakku. Kau sudah aku anggap adikku sendiri. Mana mungkin kita berpacaran. Yuke, kamu adalah muridku. Kamu bercanda pasti, ya? Ha..ha...”
Yuke hanya menggiggit bibirnya tersipu.
“Sudah. Sudah jangan bercanda. Ada kabar baik buatmu. Ibu memberi kejutan, kalau bulan depan ibu akan menikah. Maaf tidak pernah bercerita. Sebenarnya calon suami ibu itu berada di Surabaya. Kami sudah berpacaran selama 5 tahun. Ibu minta kamu menjadi pendamping pengantin, kamu mau kan ?”
Yuke langsung lemas mendengarnya. Guru yang selama ini dicintainya itu akan menikah ?! (*)

No comments: