Saturday, April 02, 2005

Kidung Bingung

Perasaan Tia terus gelisah terngiang kata-kata Sandy tadi sore. Meski detak jam makin cepat berputar serta waktu terus bergulir, namun kata-kata Sandy terus terngiang di benaknya. “Cowok yang naksir kamu itu, bukan Alex, Dio, atau Fadly ! Tapi Randy !”
Benarkah Randy yang dimaksud Sherly itu ? Atau cuma Sandy yang salah tebak ?
Tidak ! Oh, tidak, Tuhan. Jangan Randy ! Cowok possesive itu yang tak tahu memperlakukan seorang cewek. Andai saja, yang dimaksud Sherly itu Alex atau Dio, pasti Tia bisa saja menerimanya meski ia sama sekali tak menaruh hati pada mereka. Tapi setidaknya Tia bisa menolaknya secara baik-baik.
Randy ? Oh ! Nafas Tia kembali berhembus untuk kesekian kali. Bola matanya terus menerus berkeliling mencari jawab. Lamunannya tentang Randy bergulir melewati pikirannya.
Randy. Seorang drumer yang gabung di Bandnya Sandy empat bulan lalu. Seorang cowok yang bisa juga dikatakan cakep. Tapi sikapnya yang agak kasar dan egonya yang tinggi bikin Tia jadi senewen tiap kali dia jemput Sandy, sobatnya seusai latihan. Memang Tia selama ini tidak pernah menunjukkan sikap yang sinis pada Randy. Tapi di dalam hatinya itu tersimpan ketidaksukaannya yang dalam.
“Tia !” suara mama yang terdengar diiringi ketukan pintu membuat wajah imut gadis itu menoleh.
“Iya, ma.”
“Ada telpon buat kamu.”
“Siapa ?”
“Diangkat dulu, dong sayang !” ucapan mesra dari seorang mama yang sangat mengasihi putri sulungnya itu terdengar syahdu seiring musik klasik yang terlantun.
“Sandy ?”
“Bukan ! Kalau dia, pasti mama sudah kenal. Mungkin temen sekolahmu.”
Tia langsung menyambar gagang telpon tanpa berpikir panjang lagi, siapa yang menelpon dia di saat kegalauannya seperti ini. “Halo…….”
“Tia ?”
“Iya, ini siapa, ya ?”
“Ah, masak kamu lupa ?”
“Eh, jangan main-main dong ! Kalau memang cuman main-main besok aja di sekolah ! Halo, siapa sih ini ? Halo,…..” suara Tia yang ketus karena jengkel itu sempat bikin kaget si penelpon.
“Ah ! Begitu saja marah, Non ! Ini Randy !”
Seketika itu juga petir serasa menyambar rumah hati Tia. Sosok yang dia pikirkan tadi kini suaranya telah ada di telinga Tia. Alamak ! Bagaimana ini ? Tia langsung jadi gugup saat itu juga.
“Ada apa, Ran ? Mau tanya nomor HPnya Sandy ? 081 120 04 84. Kebetulan saat ini dia ada di konsernya PADI di Gedung Kesenian !” Salting (salah tingkah) Tia makin menjadi-jadi. Rasanya ia pengen segera nutup telpon itu.
“Lho ! lho ! kok Sandy, sih ? Siapa yang tanya HPnya Sandy ? Orang sudah tahu, kok !”
Wajah Tia makin memerah. Jika saja itu bukan di telpon, pasti Tia sudah langsung menutup wajahnya.
“Aku nelpon, bukan tanya Sandy. Aku cuman pengen ngobrol sama kamu. Kebetulan aku lagi nganggur banget !”
“Memangnya di sekolahmu nggak lagi musim Ulangan Harian, Ran?”
“Musim Duren ada ! Ha….ha…ha……ha…”
Tawa lebar Randy di telpon sama sekali tidak menciptakan kegembiraan sedikitpun di hati Tia. Yang ada di benaknya sekarang, ialah bagaimana cara nutup telponnya agar Randy nggak tersinggung.
“Memangnya kamu besok ada ulangan, Tia ?” pertanyaan inilah yang ditunggu Tia sedari tadi agar ia dapat segera menutup telponnya.
“Oh, iya ! Iya ! betul ! Pasti Sandy udah cerita kalo aku akhir-akhir ini banyak ulangan dan tugas. Besok saja aku ulangan Tata Negara, belum lagi tugas Antro untuk buat makalah.”
“Wah, jadi,… aku ganggu, dong !”
“Eh, Iya ‘sih …”
“OK, deh kalo gitu. Udah dulu ya ! ‘Met belajar, Non Tia ! Malem !”
Lega rasanya saat gagang telpon itu sudah ditutup. Baru saja kakinya melangkah, telepon sudah berdering lagi. Mati, deh ! pikir Tia. Kalau sampai itu Randy lagi,…..
“Ha..lo …. “
“Ada apa, Ya’ ! Kok kelihatannya ragu-ragu ?”
“Uh, kamu, San ! Aku pikir siapa !”
“Siapa emangnya ?”
“Tebak siapa tadi yang barusan nelpon aku ?”
“Sherly ? Alex ? Dio ? Dani ? atau,… Kepala sekolah ?”
“Mending kalo cuman kepala sekolah ! cowok yang kamu ceritakan tadi sore itu, tuh ! Sang drumer possesive kebanggaan goup bandmu!”
“Maksudmu Randy ?”
“Iya ! Eh, ngomong-ngomong kamu lagi di mana ‘nih ?”
“Di rumah. “
“Hah ?! Jadi, bukannya di konsernya PADI ?’
“Konsernya besok, Tia sobatku !”
“Yah ! Aku tadi bohong ‘dong ama Randy.” Tia kemudian menceritakan segala keresahan dan kegugupannya menghadapi Randy barusan. Dengan detailnya, tanpa pengurangan sedikitpun ia luapkan pada sobat tercintanya yang satu tahun lebih muda darinya itu.
“Memangnya kamu besok bener-bener Ulangan Tata Negara ?”
“Enak aja ! emangnya aku tukang bohong ?”
“Yah, bisa saja itu. Namanya juga orang lagi salting !”
* * *
Pagi itu seperti biasa, Tia diantar Papa ke sekolah. Dengan ditemani udara pagi yang dingin, motor Papa melaju memecah keheningan pagi. Meski catatan Ta.Neg. udah ada di tangan, namun sedari tadi Tia hanya melamun saja. Memikirkan cara yang baik untuk menghindari Randy. Untung Randy nggak satu sekolah. Itu yang ada di benak Tia saat ini. Sehingga setidaknya, ia kini bisa konsen pada mata pelajaran.
Tatapan Tia beralih pada gerbang coklat yang besar. Gerbang sekolahnya. Ia lalu turun dari motor dan mengucapkan sepatah dua patah pada Papa.
Kini Tia berjalan menelusuri lorong panjang menuju kelasnya.
“Ya’ ! kamu udah belajar Ta.Neg ?” kata-kata Sherly itu sempet bikin Tia kaget dan menoleh, “Sudah. Emangnya kenapa, Sher ?’
“Ah, nggak ! Cuman tanya doang !” Sherly kemudian menghampiri Bangku Tia dengan masih memegang catatan Ta.Neg di tangan kirinya. “”Ya’ ! Kamu pasti udah tahu dong, cowok yang aku ceritain itu. Yang naksir kamu, …”
“Iya. Sandy udah cerita sama aku, kemarin.”
“Ooh !”
“Bahkan dia udah telpon, saat aku sedang belajar !” gambaran kekesalannya kembali terlukis dalam wajah Tia mengingat kejadian semalam.
Sementara Sherly hanya memandang wajah Tia dengan tatapan berbinar-binar. “Ya’ ! kamu tahu nggak ?! Si Randy itu udah naksir kamu sejak tiga tahun yang lalu !”
“Tiga tahun ?!” alamak ! Berita apa lagi itu ? Hati Tia terus berdegup. “Bukankah dia baru gabung di band kalian, empat bulan lalu ?” kini rasa resah Tia makin mengalir memenuhi hatinya.
“Iya, tapi bukankah juga kalian pernah satu les-lesan, waktu SMP?”
“Ah, iya. Aku baru inget. Lantas kenapa baru sekarang ia ungkapkan perasaannya ? Pakai orang ketiga lagi. Bukan hanya orang ketiga lagi, bahkan orang keempat, kelima, keenam. Semua orang sampai sudah tahu mengenai hal itu !” kekesalan Tia makin menjadi-jadi.
“Tapi Randy itu tipe cowok setia, lho. Dia tidak gampang ‘nembak’ cewek !”
“Bukankah dia itu terkenal sebagai cowok possesive ?! Semua orang yang terlibat di Band kalian sudah tahu itu. Bahwa Randy bisa bersikap demikian, meskipun masih dalam PDKT. ……. Masih PDKT aja udah demikian possesive-nya, apalagi udah ‘jadian’ ?! Nggak kebayang deh !”
“Ya’! Kamu pasti belum tahu ! Randy udah berubah sejak dia putus ama pacarnya.”
“Kapan ?”
“Dua bulan yang lalu !”
Pembicaraan mereka terhenti karena bel masuk udah terdengar. Dan tak terasa, kelas yang tadinya masih dihuni baru dua orang saja, kini sudah penuh.
* * *
Randy udah berubah ? Pikiran Tia melayang sejak ia meletakkan tas sekolah di meja belajarnya. Ia lalu mengingat moment yang terjadi sebulan terakhir. Memang benar. Akhir-akhir ini, Randy nggak pernah lagi membentaknya kalau ia nggak sengaja ganggu latihan mereka. Randy pernah nawarin segelas soft drink padanya. Bahkan pernah memberi Tia boneka panda, saat Tia, Sandy, Sherly dan temen-temen lain lagi JJS di mall.
Tapi bagaimanapun, Tia tidak menaruh hati sedikitpun pada Randy. Pandangan Tia tanpa sengaja beralih pada sebuah boneka panda kecil yang berwarna kuning, terletak rapi diantara deretan boneka lain. “Randy,…. Meski kamu telah berubah sebaik apapun, aku nggak bisa nerima kamu. Aku nggak naruh perasaan apa-apa sama kamu.” Tidak terasa bibir Tia melantunkan kata-kata setelah ia mengambil panda kuning itu dan memain-mainkan ujung hidungnya.
Sesaat lamunan Tia terhenti oleh dering suara telepon. Ia lalu melangkah ke luar kamar.
“Halo,..”
“Selamat siang, non Tia, lagi ngapain ?”
“Randy ?”
“Benar sekali. Akhirnya kamu nggak bentak-bentak aku lagi. Aku seneng lho !”
“Kamu di mana, Ran ?”
“Di rumah. Oh, iya, entar malem kamu ada acar nggak ? Ikut yuk nonton konsernya PADI. Nanti kujemput deh !”
“Eh, tapi….”
“Katanya Sherly, besok nggak ada ulangan. Aku nanti ke rumahmu jam enam, ya. Udah, ya ! Sampai nanti ….!”
Suara Randy telah hilang. Tapi Tia belum menjawab apa-apa. Meski kini dalam hatinya tidak lagi menaruh benci pada Randy, namun dinding-dinding hatinya gelisah dan bingung. Bagaimana nanti kalau Randy ‘nembak’ dia. Tapi,.. ia bukan tipe cowok yang gampang ‘nembak’ ! Serentetan pertanyaan itu terus berjamur di pikirannya.
* * *
Gaun biru itu telah menempel pada tubuh Tia. Sementara tangannya memain-mainkan ujung tasnya. Gelisah menunggu Randy menjemput. Mama kebetulan pergi dan sudah pula mengijinkan putri kesayangannya untuk nonton konser. Pandangan mata Tia tak pernah tetap. Ia terus gelisah. Entah perasaan apa yang ada di hatinya ? Perasaan cintakah ? Entah. Tia terus bingung dan gelisah.
Suara pagar yang sengaja diketuk itu membuat Tia berdiri dan merapikan kembali gaunnya. Ia langsung meraih daun pintu dan keluar dengan wajah berbinar. Setelah ia mengunci pintu depan ia lalu berjalan dan membuka pintu pagar.
“Selamat malam, Tia.” Suara Randy itu membuat Tia makin resah, namun ia berhasil menutupnya dengan sedikit lengkung bibir yang menghiasi wajahnya.
Taxi mereka telah melaju turut ramai malam minggu.
“Memangnya, Sandy nggak cerita apa-apa ?”
“Soal apa ? …. Memang akhir-akhir ini, kami jarang kontak. Habis,.. dia sibuk terus sih !”
“Band kami jadi band pembuka Padi !”
“Masak ? Wah, hebat !”
Tak terasa, setelah melalui berbagai obrolan panjang, mereka telah tiba di gedung Kesenian. Dengan romantisnya, Randy membukakan pintu taxi untuk Tia, sang ‘maha dewi’-nya.
“Memangnya kalian membawakan lagu apa ?”
“Lagu ciptaan Sandy, yang kemudian diaransemen oleh anak-anak.”
“Apa judulnya ?’
“Kidung Bingung.” Mendengar judul lagu itu Tia jadi tertawa terbahak-bahak.
“Lho, kok, ketawa ?”
“Nggak apa-apa ! Eh, itu Sandy !” melihat Sandy, Tia langsung meninggalakn Randy yang kebingungan karna tawa Tia tadi. Dengan sedikit berbisik, Tia berkata pada Sandy dengan cubitan kecil di lengan Sandy, “Kamu jahat. Mau konser ama Padi, nggak bilang-bilang !”
Sambil menahan sakit cubitan sobatnya itu, Randy juga berbisik, “Sorry ! Sorry ! kamunya juga sih, yang sibuk terus waktu kuhubungi !”
Kali ini cubitan yang mendarat di lengan Sandy telah dilepaskannya. “Pakai lagunya orang, lagi !”
“Dari mana kamu tahu ?”
“Tuh !” arah pandangan Tia lalu menunjuk pada Randy yang telah duduk diantara personil BIRU, Bandnya Sandy di depan ruang ganti. Spontan Sandy langsung menarik lengan Tia dan bergeser sedikit dari tempat ngobrol mereka. Seraya masih berbisik, Sandy berkata, “Enak aja ! itu kan lagu ciptaanku sendiri !”
“Tapi, pakai perasaannya siapa waktu itu ?”
“Iya deh ! Aku ngaku, itu perasaan resahmu waktu ditaksir Randy !” Tia langsung terdiam. Pikirannya teringat kejadian waktu itu. Sementara Sandy berbisik lagi, “Eh, tapi, kamu kok mau dijemput Randy, ‘sih ? …. Jangan-jangan kamu udah bener-bener jatuh cintrong, ya ?”
Cubitan kedua langsung ia layangkan lagi ke lengan Sandy, “Hush ! enak aja ! Justru saat ini aku masih bingung. Aku ini bener-bener jatuh cinta, atau hanya perasaan resah saja. “
“San, udah waktunya, nih !” suara mas Franky, manager BIRU membuat pembicaraan Tia jadi berakhir.
“Oh, iya, Ya’ ! Ini,..” Randy mengeluarkan sesuatu dari saku jas hitamnya, “Ini, aku hampir lupa. Ini tiketnya dan ini ada sesuatu buat kamu. Udah dulu ya !” Randy kemudian berjalan menjauh sementara Tia membalas senyum Sherly, bassist group band mereka, yang juga temen sekelasnya.
* * *
Tia kini telah duduk di kursi penonton. Di deretan VIP lagi. Sejenak matanya berkeliling memperhatikan panggung dan penonton lain, wah ! banyak juga ya, yang nonton, gumam Tia. Sesaat kemudian Tia ingat sesuatu. Sesutau yang diberikan Randy padanya. Sebenarnya, ia ingin membukanya di rumah, namun perasaannya terus membuat ia terdorong untuk segera membukanya. Kemudian ia buka bungkusan kado mungil warna biru itu.
Ternyata isinya kalung dengan liontin berbentuk hati, berwarna perak. Di baliknya terselip kartu bertuliskan : “ Aku sayang kamu, Tia ! ... dari : Randy “
Jantungnya kembali berdegup membaca kata-kata itu. Pandangannya lalu beralih pada pentas yang telah diisi oleh personil-personil BIRU BAND. Tatapannya langsung ia tujuakan pada sang drummer. Randy langsung membalas dengan senyuman manis, namun Tia hanya memberi sedikit lengkung bibir karna hatinya yang resah.
Tak lama lagu itu terlantun. “Kidung Bingung” lagu yang melukiskan keresahan hatinya. Sandy, sang vokalis telah mulai masuk ke bait pertama. Tak terasa bibir Tiapun ikut melatunkan lagu itu :

Jalinan hasrat mengais asa yang membumbung
Tak ada yang berani mencuri pandang
Melati di hati terpetik kembali.
Lirikan mata jadi suatu perhentian
Tak ada yang berani menyentuh hati
Mawar berduri menusuk jiwa.
Sementara kegelisahan menghantui,
( reff : ) Bunga-bunga di hati gugur membasahi
Jiwa yang kosong, galau tak terisi.

Ekspresi wajah Sandy begitu menghayati lagu ini. Sementara dengan keseriusannya memperhatikan tempo-tempo, Randy menabuh drumnya dengan tatapan mata yang tak lagi diarahkakan pada Tia.
Hati Tia begitu resah. Ia gigit kedua ujung bibirnya menahan rasa getir. Ternyata cowok seperti Randy, bisa berubah sedemikian baiknya demi mendapatkan cinta Tia.
Tapi bagaimanapun, Tia tidak dapat menerima cinta Randy. Karena dia tak punya perasaan apapun pada diri Randy, apalagi cinta. Namun di lain sisi, Tia takut menolak cinta Randy. Bukan lagi karna dia possesive. Randy kini telah berubah total. Cowok yang dulunya begitu tidak bisa memperlakukan seorang cewek dengan egonya yang tinggi, bisa berubah sedemikian. Tia takut kalau ia menolak Randy, sifatnya yang dahulu bisa-bisa timbul lagi, dan pastilah itu karna tolakan Tia.
Persaan kalut itu terus menerus menghantui perasaannya.
Randy,… andai kamu tahu perasaanku, andai kamu tahu rasa kalutku yang tertuang dalam kidung bingung itu. Tapi, aku takut mengungkapkannya padamu. ……

No comments: