Saturday, April 02, 2005

TRAGEDI KEPALA MOHAWK

Koran yang baru datang pagi ini dihempaskan begitu saja oleh Erni. Ia kemudian mengangkat kedua kakinya di atas kursi. Tubuhnya sesaat bergidik dan merasa merinding. Itu semua melanda karena semenit lalu ia membaca satu berita pembunuhan. Sebenarnya ia kini mulai terbiasa dengan berita macam itu lantaran hampir setiap hari terjadi. Namun yang membuat ia merinding adalah korban pembunuhan selalu kehilangan jari kelingking kirinya. Sampai saat ini aparat belum dapat menemukan pembunuh yang telah makan 10 korban.
Erni kemudian melangkah ke kamarnya untuk melupakan berita itu. Biasanya ia langsung bisa menghempas berita pembunuhan yang ia baca. Tetapi entah mengapa ada perasaan yang tidak enak yang menghimpitnya. Ia kini hanya terbaring tidur dan berharap bisa melanjutkan mimpinya kembali. Ia berniat untuk tidur lagi.
Di dalam hatinya terbersit tanya, mengapa pembunuh itu begitu nekat. Dan yang lebih aneh lagi, kesepuluh korban itu adalah para finalis pemilihan ajang ‘Sweet King’ yang akan diselenggarakan kotanya itu minggu depan. Korban selalu ditemukan mati mengenaskan dengan kepala yang dicukur habis sisi kanan dan kirinya. Rambut korban yang tersisa hanya di tengah ala ‘mohican’ dengan kelingking yang telah hilang terpotong. Sungguh tragis!
KRIING. KRIING.
Deringan telepon itu sempet bikin deg-degan. Erni langsung bangkit dari ranjang untuk menerimanya.
“Grek ternyata ikut terbunuh, Erni!”
Suara Sari yang terlihat serak itu kini menambah shock. Grek adalah kekasih Verda, temen kelasnya.
“Yang benar saja, Sar ?!”
“Benar. Ia korban kesebelas..”
Erni kini baru ingat kalau Grek turut jadi Finalis dalam pemilihan itu. Ia lalu bergegas bersiap untuk pergi ke rumah Grek, bersama kelima sohibnya yang lain.
Kali ini Erni tergolong cepat. Hanya dalam lima belas menit ia sudah selesai. Bunyi klakson Handi yang keras itu membuat Erni langsung melesat. Di dalam mobil Kodok berwarna hijau itu telah ada Sari, Yone, Chaca di jok belakang dan Handi yang menyetir. Kelima sobatnya itu telah tahu sejak tadi pagi.
“Kapan Grek....” belum sempat pertanyaan Erni itu keluar, ia langsung ditarik Sari untuk masuk ke dalam mobil. Segera Handi mengegas kencang mobilnya.
“Tadi pagi, jam 5, Grek ditemukan tewas di kamar mandi.” Kali ini Yone, cowok putih pendek dengan rambut lurus itu menjelaskan.
“Dengan cukuran kepala mohican ?”
“Tentu saja.”
“Astaga! Tragis benar.”
“Kita harus membantu aparat menemukan pembunuh itu.” Chaca menyampaikan maksud ketiga kawan karib Erni yang lain.
“Untuk apa?” pertanyaan Erni itu membuat keempat kawannya mengarahkan pandangan mengejutkan ke arahnya. Ia jadi tertunduk. Tetapi kemudian Handi yang bijaksana itu menjelaskan pada Erni.
“Seluruh penduduk kota sangat ketakutan dengan kejadian ini. Kamu tahu kan, meskipun kota kita ini kecil, tetapi tentu tidak mudah menemukannya. Bapakku bilang, kalau di kantornya, tenaga polisi sudah cukup terkuras, sebab belum sempat menyelidik pembunuhan yang satu, sudah terjadi pembunuhan yang lain. Jadi kayaknya, mereka butuh bantuan kita.”
“Pemilihan ‘Sweet King’ jadi tertunda” Sari menambahkan.
“Tidak. Aku tidak ingin ikut.”
Chaca yang sedikit pemarah itu lalu menyorotkan pandangan tajam pada Erni sembari berkata sedikit sinis, “Kamu memang egois, Er!”
“Heh, sudah! Sudah!” si pendiam Yone itu menengahi. “Erni, paling tidak kamu mesti ikut kami ke rumah Grek dulu. Setelah kamu melihat keadaanya, barulah memutuskan.” usul Yone ini dapat diterima oleh Erni.
Kemudian mobil kodok itu telah sampai di depan rumah Grek. Terasnya telah penuh oleh orang-orang yang melayat. Erni memandangnya dengan penuh degup jantung. Ia memang belum pernah menghadiri pemakaman. Melihat raut kawannya, Sari kemudian menggandeng Erni. Kelima karib itu segera masuk.
Di dalam telah bersemayam tubuh Grek. Perlahan mereka menghampirinya. Di sisi tubuh Grek yang telah tak bernyawa itu Erni melihat Verda menangis sesenggukan. Erni memeluk erat Verda dan mengusap-usap bahunya, “Yang tabah, ya, Ver...” tak terasa ia turut melinangkan air mata.
Sementara Handi terus memperhatikan tubuh Grek yang telah terbungkus kafan itu. Yone hanya diam saja membisu. Lain dengan Chaca, ia bertanya pada Galih, kakak Grek sekedar mencari informasi.
“Kakinya biru semua, seperti terpukul benda berat. Kami menemukan dia berlumuran darah. Perut Grek ditusuk pisau oleh pembunuhnya. Kelihatannya setelah tak bernyawa, barulah rambutnya dicukur. Sama seperti korban yang lain, rambut itu disisakan di tengah. Tetapi anehnya, sisa rambut itu tidak kami temukan.”
“Masa tidak ada sama sekali?”
“Ya, ada sedikit di lantai kamar mandi...... Aku nggak ngerti, mengapa mesti Grek yang jadi korban? Padahal seingat kakak, Grek tidak pernah punya musuh. Ia anak yang baik dan selalu nurut.” Kali ini cowok berbadan gede dan gempal itu tampak sedih. Tak diduga ia kini menangis.
Melihat itu, Chaca jadi gak enak. “Eh, maaf.”
“Tidak apa. Saya,.. permisi dulu, dik.”
“Iya kak Galih.” Kening Chaca terlihat mengernyit mengiring berlalunya kak Galih dari hadapan cowok ganteng si pemikir itu.
* * *
Sudah sebulan ini, koto kecil itu diliputi ketakutan. Meski pembunuhan kelihatannya sudah mereda dan berhenti, namun penduduk masih tampak trauma atas kejadian aneh yang baru pertama di kota mereka. Untuk menghindari korban jatuh lagi, seluruh instansi diliburkan sementara, termasuk sekolah. Walikota menghimbau agar para pria muda tetap tinggal di rumah.
Sementara lima karib; Handi, Sari Yone, Chaca dan Erni belum menemukan petunjuk apa-apa tentang pembunuhan itu. Mereka hampir-hampir putus asa. Ternyata menemukan pembunuh itu tidak segampang mengerjakan tugas penelitian sosial yang selama ini mereka kerjakan. Kini mereka sedang mengadakan pertemuan di ruang bawah, gudang rumah Handi.
“Sebenarnya apa sih, motif pembunuh itu ?” Chaca melempar tanya membuka obrolan.
“Sebelumnya, mari kita telusuri satu persatu korbannya. Beruntung kita telah mengumpulkan berita yang ada sebagai bahan.” Handi cowok macho dengan rambut ombak sebahu yang dibiarkan tergerai itu lalu mengambil kapur dan menorehkan sesuatu di atasnya.
“Agar lebih mudah, kita kaji perbedaannya lebih dulu.” Yone berpendapat.
“Baiklah” Handi kemudian melanjutkan memimpin diskusi sementara yang lain tampak menyimak.
“Korban pertama : Emen Simatupang, ditemukan tewas di toilet Plaza dengan tusukan tepat di jantung. Kedua : Harris, ditemukan dengan luka tembakan di punggung yang kemudian sampai menembus lambung...”
“Ia ditemukan dalam keadaan tidak berpakaian di kamarnya.” Sari menyahut.
“Iya. Yang ketiga : Beni Ford, keponakan walikota, ditemukan tewas di mobil. Keempat : Wido Prasetya, masih sempet bertahan hidup, namun beberapa menit saat menuju ke Rumah Sakit ia menghembuskan nafas terakhir, tewas dengan 3 tusukan di lambung. Kemudian Aan, model terkenal itu, yang jadi korban kelima tidak jelas bagaimana ia mati karna keluarga tiidak mengijinkan proses otopsi. Korban keenam dan ketujuh, sepasang cowok kembar, Dhana dan Dani, yang juga ditemukan mati di tempat terpisah, namun keduanya dengan cara dan waktu yang berbeda. Indra Husein, korban kedelapan ini yang paling mengenaskan. Ia ditemukan tak bernyawa di taman kota dengan tubuh biru dan penuh dengan luka benda tajam. Tampaknya ia sempat berkelahi dengan pembunuh itu.”
“Maaf menyela. Ini sekedar informasi teman-teman, kalau Husein itu sebenarnya korban salah sasaran. Ia bukan salah satu dari 25 finalis “Sweet King’. Tampangnya memang mirip sekali dengan Giga, yang akan jadi korban kedelapan. Indra Husein hanyalah seorang yang berasal dari kota lain yang sedang berkunjung di rumah sanaknya. Jadi dalam hal ini pembunuh gagal menghabisi satu finalis.” Yone dengan lugas mencoba menjelaskan.
“Oh.... sungguh tragis!” Erni berkomen dan tertunduk lesu.
“Baiklah aku lanjutkan. Jarak waktu pembunuhan antara korban kesembilan dan kesepuluh tidak jauh. Hanya sekitar satu jam. Setelah pembunuh menembak Ardi Winarko tengah malam di jalanan yang sepi, kemudian jam satu paginya, ia menembak pula Raka J. T. di salah satu bar yang letaknya tak jauh dari lokasi pembunuhan Ardi.” Handi kemudian meletakkan kertas-kertas putih tempat mencatat semua data yang ia temukan. Kemudian ia melanjutkan lagi, “Yang terakhir, Grek, teman kita, ia ditemukan tewas di kamar mandi dengan tusukan di perut.”
Setelah beberapa detik mereka terdiam, Yone kemudian angkat suara. “Dari yang kau jelaskan tadi, aku menyimpulkan. Pertama : pembunuh itu menunggu sampai korban dalam keadaan sendiri, Kedua : Ia hanya bermodal pistol atau pisau ditambah alat cukur itu. Ketiga : arah tusukan atau tembakan sepertinya selalu diarahkan ke jantung, meskipun kadang-kadang meleset ke perut, lambung atau punggung.”
Mendengar kesimpulan Yone itu Chaca langsung menyahut, “Tetapi, yang bikin aku enggak habis pikir, kenapa pembunuh itu selalu mencukur ‘Mohawk’ para korbannya dan memotong kelingkingnya? Apa mungkin ia anggota ‘Punk’? Karna gaya-gaya rambut ‘Mohawk’ itu khas dengan style ‘Punk’ kan ?”
“Tidak. Bukan. Anak buah ayahku sudah menyelidik sampai ke sana, dan telah memastikan bahwa gank-gank ‘Punk’ sama sekali tidak terlibat.” Handi langsung menjawab.
“Mungkin pembunuh itu hanya mencari ‘kambing hitam’ saja.” Erni menambahkan.
Sari yang sedari tadi diam, kini teringat sesuatu, “Han! Bukankah kau pernah bercerita padaku kalau sebelum mati, Wido Prasetya sempet mengatakan sesuatu.”
“Ah, iya!” telapak tangan Handi itu langsung mendarat di keningnya. “Benar. Ayahku bilang kalau Wido sempet mengatakan,... tidak seberapa jelas. Hanya,.. Kalau enggak salah, kepala botak, cincin besar.”
“Hanya itu saja yang...” belum sempat Chaca melanjutkan, Yone langsung memotong.
“Apakah hanya korban Wido yang memberi petunjuk itu?”
“Sebenarnya sesaat sebelum meninggal, Haris, korban kedua sedang merekam suaranya. Ia melakukan itu setiap malam, seperti menulis buku harian. Nah, waktu pembunuh itu datang, tape kecilnya itu masih dalam keadaan ‘rekam’.” Handi menjelaskan.
“Berarti suara pembunuh itu terekam dong! Lalu dimana kita bisa mendapatkan kaset rekaman itu?” kali ini Chaca beranjak berdiri seperti kegirangan.
“Itulah masalahnya, Cha! Kaset itu tidak ditemukan. Sepertinya pembunuh tahu dan membuang ke luar jendela.” mendengar kata-kata Handi itu, Chaca terduduk lagi.
Yone lalu mengernyitkan dahi, “Darimana kamu tahu semua itu?”
“Aku tahu dari seorang anak SD yang melihat kaset itu jatuh dari jendela rumah Haris. Aku sudah tanya padanya. Ia tidak melihat apapun, karna jendela kamar Haris itu terlalu tinggi dan ia langsung berlari ke rumahnya setelah itu.” Setelah lelah berdiri Handi lalu mendaratkan tubuhnya, duduk di atas meja.
“Apa kamu tidak mendapat informasi lain dari anak itu?” timpal Yone lagi.
“Dia seorang murid SLB. Jadi aku tidak banyak mendapatkan info karena ia tuna rungu.” Handi menjelaskan sembari menyambar secangkir teh dan meneguknya perlahan.
“Sebentar, mengapa kita tidak mencarinya di sekitar rumah Haris itu?” sesaat setelah Chaca berkata seperti itu, Handi langsung mengambil kunci mobil dan berlari keluar diikuti yang lain. Kali ini Chaca hanya melongo melihat kecepatan sobat-sobatnya itu, kemudian setengah menyeret langkah, ia menyusul.
* * *
“Kita mesti berpencar agar cepat.” ujar Handi setelah mereka tiba di sekitar rumah Haris. Kemudian kelima karib itu mencoba mencari kaset yang bisa jadi petunjuk. Sari lebih memilih mencari bersama Handi, mereka menyisir daerah semak-semak, Yone mencari di sekitar taman yang agak jauh, Erni lebih tertarik pada pohon-pohon besar dan Chaca mencari di pinggir-pinggir tembok rumah Haris. Dengan teliti, satu persatu tempat ditelusuri.
Akhirnya sudah hampir dua jam mereka menggunakan waktu untuk melakukan pencarian itu. Erni sudah terduduk lemas di bawah pohon, Handi, Sari dan Yone malah tidur-tiduran di jok mobil saking lelahnya. Sementara Chaca masih belum putus asa.
Handi kemudian bangkit dari tidurnya, ia lalu mengelap keningnya. Namun saat ia melihat spion, tampak anak yang pernah melihat kaset itu menghampiri mobilnya. Setelah ia berjalan mendekat Handi menyapa ramah.
“Hallo adik kecil ? Apa Kabar?” kemudian Handi berkomunikasi dengan bocah 7 tahun itu dengan bahasa isyarat, karena itu satu-satunya bahasa yang anak itu mengerti mengingat dia seorang tuna rungu. Setelah itu Handi tampak mengikuti bocah itu berlari ke rumahnya yang ada di seberang jalan.
Hanya dalam 5 menit, ia sudah kembali dengan kaset di tangannya. Melihat itu Erni langsung berdiri, “Apa benar itu kasetnya, Han?”
“Ya. Sebaiknya kita dengarkan di rumahku saja, sebab di sini tidak aman.” Handi lalu memberi komando pada Chaca yang baru datang untuk segera masuk ke mobilnya.
“Teman-teman lihat!” Chaca membuka bungkusan kain putih yang ada ditangannya. “Siapa tahu pisau ini yang digunakan pembunuh itu.” Spontan yang lain langsung kaget.
“Ayo, Cha, masuk dulu. Kami sudah menemukan kaset itu.”
Kemudian melesatlah mobil Handi kembali ke rumah.
* * *
“Aduh aku ngeri banget nih.” Sari kemudian merapatkan tubuh di sofa. Ia dekatkan ke tubuh Erni setelah kelima karib itu mendengar rekaman kaset milik Haris.
“Ok! Tadi kita udah dengerin kaset itu. Paling tidak, kita sudah mengenal suara pembunuhnya.” masih tetap diskusi dipimpin Haris. Karena selain ia seorang anak Kepala Polisi di kota itu, ia seorang yang bijak dan paling bisa menjadi penengah.
Namun kini pandangan tertuju pada Erni. Sejak ia mendengar kaset itu, ia seperti menyimpan sesuatu. Yone yang terkenal paling peka itu langsung mencari jawab. “Kenapa, Er? Apa ada sesuatu yang kau simpan atau kau ketahui?”
“Apa katamu tadi ? Ciri fisik pembunuh itu yang...” pandangan Erni tertuju pada Handi.
“Aku tidak seberapa jelas. Kepala botak, cincin besar...?”
“Sepertinya aku mengenal sesuatu itu...” kata-kata Erni kali ini mengundang perhatian banyak dari kawan-kawannya. Ia sadar dan kemudian melanjutkan kalimatnya, “Sebenernya sih, aku tidak seberapa yakin. Sebulan ini kami punya tetangga baru. Orangnya aneh banget. Ia enggak pernah keluar, rumahnyapun selalu tertutup rapat. Aku pernah melihatnya sekali. Itupun saat ia membuang sampah di ujung jalan.”
“Ciri-ciri fisiknya?” Chaca yang selalu tidak sabaran melempar pertanyaan.
“Yang aku lihat, kepalanya botak licin, tubuhnya gede dan gempal. Ia berkulit putih. Yang bikin aneh lagi, ia memakai cincin besar-besar di seluruh jarinya.” Erni menjelaskan.
“Baiklah. Kita mesti cepat. Teman-teman, kita mesti menyelidiki ke rumah pria mencurigakan itu. Besok malam sekitar jam sembilan, semua berkumpul di rumah Erni.” Handi memutuskan.
* * *
Malam ini adalah malam yang menegangkan buat Handi, Yone, Sari, Chaca dan Erni. Mereka sebenarnya tidak begitu yakin, apakah benar-benar dapat menemukan semua misteri itu malam ini. Memang selama beberapa minggu ini mereka telah menyelidiki rumah pria itu saat sedang kosong. Dan semua bukti ada. Mulai kesebelas kelingking korban yang direndam satu-satu dalam toples. Pisau yang masih terkena darah meski telah mengering. Ditambah alat cukur yang digunakan pembunuh itu. Semua bukti mengarah pada pria berkepala licin itu.
Kelima karib itu telah berkumpul di teras belakang rumah Erni. Semua saling melempar pandang dan hanya terdiam seperti menyirat satu pesan, ‘aku takut’. Namun akhirnya Handi mencoba memberi semangat pada yang lain.
“Teman-teman, kita harus yakin, kita bisa. Ini semua demi keamanan kota ini. Ingat, apapun yang terjadi nanti, kita harus saling melindungi.” Semuanya mengangguk setuju pada kata-kata Handi dan segera kelima karib itu berjalan mendekati rumah yang mereka tuju. Sementara para polisi, anak buah ayah Handi telah mengepung rumah itu dan kini tugas kelima karib untuk membantu masuk kedalam rumah, memancing si pria pembunuh.
Rumah pria misterius yang dimaksud Erni itu tampak sepi dan suram. Semuanya berdebu dan kotor. Tembok-temboknya yang sebenarnya bagus itu tak pernah dirawat. Kemudian Handi melompat ke jendela rumah diikuti yang lain.
Kini mereka sudah ada di dalam rumah itu. Mereka tidak mendapati apa-apa, karna sepertinya sedang tidak berpenghuni. Chaca lalu mengintip ke ruang yang lain ia melihat seorang pria botak dengan cincin besar di seluruh jemarinya itu sedang menulis sesuatu di meja. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Kemudian Chaca memberitahukan ini kepada kawan-kawannya.
“Siapkan semua peralatan kalian.” Handi memberi komando lirih.
Namun sesaat setelah itu terdengar bunyi tembakan yang sangat keras. Mulanya mereka takut untuk melihat, tapi setelah mengumpulkan segala keberanian mereka menghampiri tempat asal suara tembakan.
Betapa terkejutnya Handi, Yone, Sari, Erni dan Chaca mendapati pria itu sudah tak bernyawa. Ia membunuh dirinya dengan sebuah pistol yang juga dipakai membunuh korban-korbannya. Yone kemudian memerikasa, apakah ia masih hidup ataukah telah mati. Handi berlari keluar memberitahu polisi.
“Dia sudah mati.” Yone berjalan mundur bersamaan dengan kedatangan Handi dan ayahnya bersama para polisi. Kemudian pasukan kepolisian itu memerikasa seluruh rumah itu dan membawa semua barang bukti.
“Kami tidak melihat apa-apa, yah. Hanya suara tembakan keras sesaat sebelum kami menghampirinya.” Handi menjelaskan kepada ayahandanya.
“Baiklah, terimakasih atas bantuan kalian selama ini, anak-anak. Kalian memang pemberani. Ada satu hadiah buat kalian.” Ayah Handi menyalami satu persatu kelima karib itu.
“Pak, saya menemukan surat di bawah mayat pria ini.” Seorang polisi menyerahkan kertas yang terkena lumuran darah pembunuh itu. Kemudian ayah Handi segera memakai sarung tangan membaca pesan terakhir dari sang pembunuh.

“Saya, Jaka Rahmat, mengakui semua perbuatan yang saya lakukan ini. Saya telah membunuh kesebelas pria muda tampan yang menjadi finalis ‘Sweet King’.
Saya melakukannya didasari atas dendam saya pada kesebelas orang itu. Mereka telah menghina dan menginjak-injak harkat anak tunggal saya, Laki Rahmat. Saya tidak terima atas penghinaan yang diterima anak saya. Laki seorang anak yang baik. Wajahnya tampan dan otaknya encer. Karena itu saya ingin mengikutkan dia ajang ‘SWEET KING’. Saya tahu,Laki seorang anak luar biasa. Ia berbeda dengan yang anak-anak muda yang lain. Apa salahnya seorang anak tuna rungu seperti dia ikut ajang itu. Tubuhnya juga sehat-sehat saja, walaupun ia tidak mempunyai jari kelingking di tangan kirinya, Laki seorang yang sehat mental dan rohaninya. Saya menyesal atas semua perlakuan juri yang melarang keras Laki ikut ajang itu. Bahkan mereka berteriak keras di depan orang banyak. Saya masih ingat cerita Laki bahwa mereka mengatai anak saya, “Ini bukan ajang bagi orang cacat!” mendengar itu Laki langsung menangis pulang dan menceritakan semua perlakuan mereka. Saya sedih dan begiru marah.
Sejak saat itu, Laki yang biasanya selalu ceria menjadi anak yang pendiam, ia tidak mau makan, dan mengurung diri terus menerus di dalam kamarnya. Mungkin ia merasa minder dan trauma dengan perlakuan orang-orang itu. Saya bingung mesti bagaimana mengatasi semua ini.
Namun belum sampai saya menemukan solusinya, suatu pagi, saya menemukan Laki sudah tak bernyawa di kamarnya..... Ohh,... Anakku satu-satunya ini bunuh diri!!!! Ia memotong nadinya sendiri. Sebelum ia mati, ia mencukur kepalanya dengan tidak karuan. Saya BENCI mereka semua yang telah menyakiti Laki !!!!
Sejak kematian Laki itu, saya dendam dan benci pada semua yang terlibat dalam ajang yang membuat anak saya mati itu. Saya bertekad akan menghabisi siapapun yang jadi finalis. Saya terbakar murka yang menyla-nyala.
Dan sekarang, saya menyesal. Mungkin nyawa saya ini tidak berarti untuk menebus kesebelas nyawa anak-anak muda yang saya bunuh. Tapi setidaknya, saya bisa menemui Laki sekarang!”

Semua terharu setelah mendengar isi surat dari sang pembunuh. (*)

No comments: