Saturday, April 02, 2005

“Dia Kekasihku, Ia Kekasihku, Keduanya Kekasihku..."

Pintu kamar kos-ku digedor keras seperti gempa. Sebenarnya enggan untuk membuka karena keletihan berat menggantung di tubuh. Sesaat pria bertubuh kekar itu sudah ada di hadapan. Wajahnya pucat pasi penuh ketakutan. Aku mengisyaratkan supaya ia masuk saja.
“Kenapa? Kamu ngobat lagi, ya ?” aku coba dudukkan tubuhku di atas ranjang sementara Media masih terogopoh di hadapanku.
“Gila?! Bandar itu kejar-kejar terus, Sen!! Padahal aku sudah putuskan hubungan.”
“Baguslah !” kurebah di atas ranjang, tak kuat menahan ngantuk dan terlelap. Sesaat aku merasa Media mengusap wajahku.
* * *
TIT.TIT.TIT. TIT. TIT. TIT.....
Ah, weker ini cepat sekali berbunyi?! Tidur seperti lima menit. Kuberanjak dan kulihat Media masih pulas. Tanpa menunggu waktu kuceburkan saja tubuh ke dalam air mengundang kesegaran.
Kemudian kubuat secangkir teh sambil kupandangi wajah Media sesaat. Kubelai rambutnya. Kupikir usahanya keras sekali untuk lepas dari obat-obatan terlarang. Kini ia ingin benar-benar bersih dari ‘barang’ haram itu. Tanpa sadar wajahku kudekatkan hendak mengecupnya, tapi kemudian ia terbangun dan melihat wajahku di hadapannya. Media kini yang mengecupku.
“Tinggal saja di sini dulu, gak usah kemana-mana” aku memberi saran.
“Tapi....” Media menjawab sambil beranjak dari ranjang
“Media..... keselamatanmu lebih penting!” Aku lalu mengambil buku-buku kuliah dan beranjak keluar.
* * *
BRRRM...
Aku kulajukan mobil cepat. Hanya 20 menit aku sampai di rumah Siulvia.
Siulvia melambaikan tangan dan tersenyum manja.
“Ia’!” itu panggilan sayangku padanya.
“Kok lama?” Ia’ kini sudah di sebelahku.
“Maaf sayang,...” aku genggam tangannya.
Kulajukan mobil kembali. Aku merasa ia sedang memandangi wajahku
“Kenapa ?”
Siulvia membelai rambutku, “Aku sayang sama kamu, Sen.”
Aku menepuk pipinya lembut.
* * *
Selama kuliah aku tak bisa berhenti memikirkan Media. Semoga saja bandar itu sudah melupakannya. Aku percaya Media nggak akan mutauw lagi. Setelah ikut ‘rehab’ Media sudah memilih yang terbaik buat hidupnya, kembali mengejar cita-citanya menjadi seorang arsitek.
Tak terasa kuliah telah usai. Aku meninggalkan kelas dan pergi menghampiri Siulvia.
“Sen, kayaknya aku pulang sendiri, mau ke mall. Mau titip apa?“ Ia’ mencubit pipiku.
“Ehm,... ayam goreng.” kuraih bahunya dan kudekapkan dalam rangkulanku.
“Ya udah, abis dari mall aku langsung ke kos” Ia menyambut rangkulanku.
“Oh ya, ‘yang! Media juga ada di kos.” Kali ini aku bisikkan di telinganya, “Jangan bilang siapa-siapa... soalnya kan dia lagi menghindari Tompret, bandar sial itu...”
“Pasti aku bawakan makanan buat dia juga, deh...”
Kemudian kuhantar Ia’ bersama kawan-kawannya, gadis-gadis rumpi. Tapi satu hal, aku nggak lupa mengecup keningnya.
* * *
“Dia! Aku tadi lihat Tompret. Untung kamu sudah aman!” Kututup pintu Kos rapat-rapat setelah kepulanganku.
“Aduh! Gimana kalo ke sini?” Dia malah jadi panik.
“Tenang. Tompret kan gak kenal aku? Enggak mungkin kalau dia kesini?” aku menyodorkan roti keju kesukaannya.
“Sial! Kenapa dulu aku mesti kenal Tompret?!?!” Dia bersimpuh di sudut kamar.
“Sudah. Semua sudah terjadi. Sekarang tinggal pemecahannya saja.”
Kami hanya terdiam sampai beberapa lama sambil kemudian aku memutar musik jazz kesukaanku. Dia terus diam dan tentu sedang memikirkan masalah ini. Aku sangat tahu Dia. Jika dia sedang terpukul, hanya sepi baginya sebagai sahabat sejati, maka itu aku meninggalkannya di kamar. Aku memilih untuk duduk-duduk di teras saja.
* * *
Sebenarnya aku juga mempunyai beban sangat berat. Aku tak mau untuk menjadi seperti ini terus?! Aku ingin hidup sebagaimana orang lain hidup. Pikiran-pikiran ini terus bertaut dalam benakku.
Di alam bawah sadar dan kehidupanku, aku sangat mencintai Media (terlalu dalam). Media tahu itu. Bahkan aku tak ingin meninggalkannya karena sangat lama mengenal.
Memang dulu ia seorang ‘pemakai’ berat. Aku kemudian bertemu dengannya dan membantunya untuk berhenti. Aku sangat menegerti, karena ayahku juga seorang ‘pemakai’ sepanjang hidupnya. Ia meninggal saat aku masih balita. Aku sangat benci barang haram itu. Gara-gara puttauw aku jadi berpisah dengan ayahku untuk selama-lamanya. Tanpa pernah merasakan cinta seorang ayah. Itulah sebabnya aku ingin Media meninggalkan puttauw yang telah menguasai hidupnya. Karena kedekatan dan kerinduanku terhadap cinta seorang ayah aku jadi mencintai Media juga.
Ough!! Sungguh berat!!!
Aku juga punya perasaan dalam terhadap Siulvia. Gadis pujaan jiwaku, cinta dan permata hatiku. Ia selalu dapat menyejukkanku. Aku tak pernah bisa pergi jauh darinya.
Siulvia, seorang yang perhatian dan selalu mengerti semua mauku. Ia membuatku belajar bagaimana aku harus memberikan cinta. Aku benar-benar bisa menghargai keberadaan seorang wanita tanpa memandang sebelah mata makhluk -yang kata orang lemah- ini.
Media. Siulvia.
Mereka berdua telah lama saling mengenal. Aku sendiri yang mengenalkan mereka.
Media telah tahu hubunganku dengan Siulvia, meski ia juga paham kalau aku memerlukan hubungan di antara kami.
Tetapi, Siulvia? Ia tidak tahu. Aku tidak ingin menyakiti hatinya, namun aku juga tak ingin mendustainya.
Ough! Konflik batinku ini sarat kepenatan. Aku mencintai keduanya. Dia kekasihku, Ia kekasihku, keduanya kekasihku...
“Sen! Kok, ngelamun?”
Tiba-tiba Siulvia ada di hadapanku. Jantungku makin berdebar.
“Ini ayam goreng buat kamu...” ia tampak ceria kemudian ia berbisik dan menanyakan Media.
“Dia lagi bingung di kamar.”
“Aku punya berita bagus! Tompret sudah ditangkap!” Ia’ seakan memberi pemecahan masalah.
“Terus Media?”
“Nggak usah khawatir, Sen. Media itu cuman korban. Lagian korban Tompret itu puluhan, jadi...” aku langsung memeluknya sebelum Ia’ menyelesaikan kalimat.
“Ayo! Kita beritahu Media...” kami kemudian menghampiri Media.
* * *
ASTAGAAA....!!!
Media sudah tergeletak dengan darah di pergelangan tangan.
“Media.........!” aku memeluknya dan menangis seperti anak kehilangan ayahnya. Ya, seperti dulu.
“Aku gak mau kehilangan kamu. Media....”
“Tenang, Sen. Tenang.” Siulvia memeluk erat diriku dan mengusap-usap bahuku.
Aku menangis histeris.... Sisi melankolikku keluar meski aku lelaki.
Sesaat aku punya sedikit keberanian, kemudian kukumpulkan semuanya untuk memberi pengakuan jujurku kepada Ia’.
Siulvia kini sedang memeriksa nadi Media, lalu suara parau-ku berani keluar.
“Ia’! Aku sangat mencintai Media... sama seperti aku mencintaimu...”
“Ya, Sen. Aku sudah tahu dari dulu....”
Aku langsung terhentak. Ternyata Siulvia sudah tahu kalau....
“Kamu dan Media sahabat karib sejati. Aku salut.”
Nyaliku jadi mengecil lagi. Teryata Siulvia hanya menganggap kami karib.
“Sen! Media masih hidup. Kita bawa dia ke rumah sakit segera...!”
Aku sumringah meski konflik batinku terus terdengar. (*just the little story. Life must go on!)

No comments: