Saturday, April 02, 2005

God is mij een helper

Alunan lagu “Mimpi Terindah” oleh Tofu itu bikin hatiku sedikit adem. Ditambah guyuran gerimis yang menambah suasana senja di kotaku. Aku lajukan mobilku ini dengan tenang, namun tentu dengan langkah yang pasti. Sebab aku gak pengen terlambat sampai di Bandara. Hari ini akan menjadi hari terakhirku memandang wajah Nat-Tha, cewek tinggi berkulit kuning langsat, yang membuat hatiku tertambat padanya. Cewek yang selalu menghiasi hari-hariku dengan suaranya yang merdu.
……Dan kauberikan mimpi yang terindah, Di setiap malam agar, aku bahagia……
Tak terasa bibirku ikut melantunkan bait lagu. Layangku mebumbung tinggi menngingat kejadian 18 bulan lalu, saat aku ‘nembak’ Nat-Tha. Entah perasaan apa yang membuat aku memilih dia menjadi kekasihku? Yang jelas rasa cinta dan sayangku padanya yang membuat aku dengan YAKIN mengungkapkan isi hatiku.
“Nat-Tha,… Emang udah lama aku suka ama kamu. Jadi, aku harap kamu bisa memikirkan hal ini. Untuk…. Untuk selanjutnya, apakah kamu mau menerima aku atau tidak…… Tapi satu hal, kali ini aku bener-bener serius…” Aku jadi ketawa sendiri kalo inget saat aku nembak doi di telpon. Aku emang bukan orang yang pandai merangkai kata. Bahkan di mata Nat-Tha aku cowok yang terkesan cuek, dengan gaya cool-ku tapi gak lepas dari sikapku yang friendly. Tapi, itu sih kata Nat-Tha. Aku sendiri gak pernah mengategorikan diriku pada satu karakter tertentu. Yang jelas aku suka tampil apa adanya.
Sesaat aku menghela nafas dan bergumam, Heh ! Masa SMU yang indah…. Kenangku. Memang, baru di bangku SMU aku merasakan hal yang namanya pacaran. Tepatnya saat aku duduk di kelas dua. Kini aku telah kuliah. Waktu memang terlalu cepat mengalir. Rasanya ingin aku putar balik saat aku SMU dulu. Waktu yang indah bersama Nat-Tha. Aku inget. Semasa sekolah dulu, rasanya aku gak pernah ada keinginan buat bolos barang seharipun. Aku berpikir, kalo aku lakukan itu aku bakal kehilangan waktuku bersama Nat-Tha. Sekali lagi. Aku tidak mau kehilangan waktu satu hari saja bersamanya.
Meski saban malem aku selalu nelpon doi, saat semua orang pada terlelap namun aku gak akan pernah merasa bosan bersamanya. Dan tentu saat ini adalah saat terberatku untuk melepas kepergiannya ke Belanda. Aku sudah mengetahui bahwa hal ini akan terjadi semenjak usia pacaran kami yang baru empat bulan waktu lalu. Karna itu aku telah mempersiapkan diri untuk mencoba pacaran ‘long distance’.
Rasanya pengen ketawa kalo aku inget ide bodohnya saat itu. Nat-Tha malah bermaksud akan menjodohkan aku dengan Shasha, saat ia ungkapkan rencana Mamanya untuk mengirimnya kuliah ke Belanda. Shasha adalah cewek yang pernah aku taksir. Namun tentu saja aku bantah mentah-mentah ‘maksud baik’ doi itu karna aku masih sayang sama dia. Enggak mungkin aku berpindah ke lain hati dong ! Resiko apapun mesti kami berdua jalani meski kami jauh, toh itu tidak akan membuat hubungan pacaran kami putus. Aku akan berusaha menjaga hubungan itu. Bahkan aku tolak mentah-mentah ide gilanya bahwa satu hari nanti saat ia akan berangkat, ia minta untuk aku putuskan saja. Alasannya, bahwa dia tidak ingin aku menunggunya terlalu lama. Ibaratnya aku menunggu hal yang tidak pasti. Daripada begitu, lebih baik aku mencari gadis lain saja. Begitu pikirnya.
Tapi tidak untukku. Aku berusaha keras memikirkan solusinya. Karna kabar terakhir darinya, bahwa Nat-Tha akan terus berlanjut hidup di Belanda, menjadi warga negara sana bersama keluarganya. Dan mustahil untuk kembali lagi ke tanah air untuk waktu yang panjang. Dadaku rasanya sesak dan terhentak mendengar kabar itu darinya. Hampir 3 jam lebih aku sendengkan telingaku di gagang telepon untuk mendiskusikan masalah ini dengannya. Sementara ia terus mendorongku bahwa daripada aku menunggu dengan tidak pasti, lebih baik aku meninggalkannya saja. Tapi aku berusaha keras untuk membantahnya. Aku tahu ia mengungkapkan hal itu bukan karna ia sudah tidak lagi sayang tapi justru betapa dalamnya cintanya hingga tidak ingin aku menderita.
Akhirnya setelah diskusi panjang itu, aku menemukan jawab, “Nath, … Meski kamu akan tinggal selamanya di Belanda aku akan tetep sayang kamu dan gak akan putusin kamu. Aku yakin suatu hari nanti kita akan bertemu. Gak tahu aku yang nyusul ke sana, atau kamu yang akan ke Indonesia. Aku yakin, Nath… Kamu percaya kan, sama aku. Aku pengen hubungan kita tetep berlanjut….”
C I I T T ! ! !
Hampir saja ! Saking larutnya aku dalam lamunan hingga tak melihat lampu merah. Untung aku bisa segera berhenti. Kukendorkan sedikit sabuk pengamanku sekedar melepaskan ketegangan yang melandaku. Aku benar-benar tegang. Aku gak tahu harus ngomong apa nanti. Aku juga takut nanti akan terlihat sedih di hadapannya. Oh tidak. Tidak. Aku nggak boleh terlihat sedih di hadapannya. Aku gak pengen buat dia tidak tenang nanti di Belanda.
Sesaat kupalingkan pandangan ke kaca mobilku. Sesosok anak bertubuh kurus menengadahkan tangannya. Lalu kubuka kaca mobilku dan kuberi dia uang ratusan. Kudengar sayup-sayup suara gitar yang ada di seberang.
Aku jadi ingat saat aku melihat Nat-Tha sedang memainkan piano di rumahnya. Ia tampak anggun kala itu. Denting-dentingnya terdengar damai sekali di hatiku. Saat aku bertandang ke rumahnya, ia mainkan satu lagu. Katanya spesial dia buatkan untukku.
Satu hal yang tidak pernah kulupakan saat itu adalah, untuk pertama kalinya ia ajarkan kord-kord piano padaku. Ia berikan contoh bagaimana kunci C, G, D, E dan berbagai kord lain. Sejak saat itu aku jadi tertarik bermain piano. Memang bukan pertama kalinya aku bermain musik. Sebelum itu aku juga telah bisa bermain gitar. Hingga pada suatu saat kami ciptakan lagu bersama. Dia mainkan pianonya dan kupetik gitarku. Suaranya yang merdu melantunkan bait-bait lagu itu tidak pernah pergi dari ingatanku.
Sebenarnya banyak sekali kejadian yang tidak bisa begitu saja aku biarkan berlalu. Masa setahun lebih bukanlah waktu yang pendek untuk bersama kami lewati. Banyak hal sudah kami alami bersama. Termasuk pertengkaran-pertengkaran dari yang kecil sampai besar pun telah bersama dilalui.
Pernah suatu kali aku membuat Nat-Tha jengkel banget. Waktu itu aku baru saja sembuh dari sakit Tifus-ku. Bahkan aku sempet berbaring 3 hari di rumah sakit. Nat-Tha pengen aku bener-bener istirahat total di rumah. Aku masih ingat, kala itu kami sudah duduk di kelas 3. Aku ambil jurusan Sosial, sementara doi dengan kecerdasannya dijuskan ke program IPA.
Selain hobiku bermain musik, aku juga seneng banget bermain sepak bola. Aku gabung dengan satu klub sepak bola terkenal di kotaku. Posisiku sebagai salah satu striker, membuat aku jadi orang yang diandalkan manger kami. Tepatnya empat hari setelah keluar dari rumah sakit, manager-ku telpon kalo Chun Ce, tidak bisa main karna ortunya sakit parah. Jadi terpaksa aku harus menggantikan posisinya kalo tidak mau merusak reputasi klubku lantaran ketidakhadiran striker. Om Tio tidak tahu kalo aku baru saja keluar dari R.S maka manager Klub-ku itu sedikit memaksaku untuk main. Aku juga tidak ingin mengecewekannya apalagi mengecewakan temen-temen klub. Akhirnya hari itu juga aku putuskan untuk ikut pertandingan.
Aku sama sekali gak dapet kesulitan ijin dari Mama Papa, karna kebetulan sekali mereka pergi keluar kota. Di rumah hanya ada aku, adikku dan pegawai-pegawaiku. Langsung saja kuambil seluruh peralatan pertandingan dan dalam sekejap di tanganku sudah siap tas yang berisi perbekalan. Dengan bola di tangan, kucoba raih daun pintu mobilku. Mang Ujang, pria pendek berkulit gelap itu membukakan aku pintu dan langsung aku gas kencang menuju tempat pertandingan. Betapa aku tidak berpikir sama sekali untuk antisipasi, kalo saja Nat-Tha telpon ku pesan pada Mang Ujang kalo gak usah dibilang pergi ke Pertandingan saja. Tapi hal itu tidak aku lakukan. Yang ada di pikiranku hanyalah bertanding, bertanding dan bertanding. Aku lupa pesen Nat-Tha, agar aku untuk sementara tidak banyak kegiatan dulu. Ia sangat mengkhawatirkan kesehatanku.
* * *
Akhirnya aku pulang dengan perasaan bangga. Klub-ku berhasil mempertahankan reputasi dengan meraih gelar juara. Bukan main senangnya hati ini. Namun sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi, fictor adikkku memberitahu bahwa tadi Nat-Tha telpon tapi yang menerima Mang Ujang. Seketika aku ingat pesan Nat-Tha. Langsung aku hampiri pegawai Papaku itu.
“Saya teh, bilang kalo aden bertanding…” setelah denger kata-kata Mang Ujang itu rasanya ada petir yang menggelegar di atas kepalaku. Begitu cemasnya diriku, takut kalo Nat-Tha bakalan marah mendengar ini. Oh, Tuhan! Bodoh sekali aku ini….
Sulit untuk mengungkapkan rasa maaf dan sesalku pada Nat-Tha waktu itu. Meski harus melewati berbagai rintangan, untunglah ! Nat-Tha akhirnya memaafkan aku. Sekarang aku jadi tambah sayaaang banget sama dia.
Memang, semenjak aku berpacaran, aku rasa aku jadi tambah dewasa dalam berrpikir. Aku jadi mulai terbiasa dengan masalah-masalah yang harus aku pecahkan. Tapi aku tidak tahu, apakah setelah kepergian Nat-Tha nanti aku bisa tambah tetap dewasa atau tidak. Entahlah.
Lega akhirnya. Aku sudah sampai di parkir Bandara. Aku mendengar HP-ku berbunyi. Ternyata Nat-Tha. “Iya. Sekarang aku sudah ada di parkiran. Tunggu ya, Nat..”
Kaos putih dan jaket kulit hitam yang menempel di tubuh Nat-Tha itu tampak pas sekali. Ditambah Jeans biru yang ia kenakan itu bikin aku memandangnya dengan bersinar. Kini, sosok ayu itu sudah berada di depanku. Ia memandangku dengan wajah penuh harap-harap cemas. Entah kenapa, rasanya aku bisa mendengar degup jantungnya. Aku pegang kedua tangannya dan sedikit aku usap. Lidahku sendiri merasa kelu, meski aku ingin mengatakan bahwa ia mesti tenang. Tapi kata-kata itu susah keluar. Akhirnya hanya bahasa tubuh itu yang bisa mengungkapkan isi hatiku. Aku yakin dia mengerti.
Om Hans dan Tante Hilda, ortu Nat-tha ada di samping kami. Dan mereka tak henti-hentinya memberikan banyak pesan pada putri sulungnya tercinta ini. sementara teman-teman Nat-Tha tampak agak jauh dari kami. Mereka melambai-lambaikan tangan. Lalu, Nat-Tha melepas tangannya dari tanganku untuk membalas lambaian itu.
Hari ini aku tidak melihat wajah Nath yang ceria seperti biasa. Dia emang sedikit cerewet, tapi kata-katanya itu selalu mengesankan kalo doi cewek yang smart.
Hampir saja aku lupa ! Kado yang telah aku siapkan buat pacarku ini kemudian ku keluarkan dari mantel, dan kugenggamkan pada tangan Nat-Tha. Ia buka kotak itu dan segera ia menemukan kalung emas putih dengan liontin berbentuk potongan hati. Ia balik hati itu dan ia melihat inisial “ S ” dari namaku ; Syhmphoni. Kemudian aku keluarkan kalung yang aku pakai dari balik kemeja biruku, aku tunjukkan padanya sambungan dari potongan hati dari kalung yang kuberikan. Aku balik liontin itu dan kutunjukkan inisal namanya, “ N ”
Ia kemudian melinangkan air mata dan ia raih tubuhku untuk dipeluknya. Sungguh, aku tidak ingin menangis juga di hadapannya. Aku ingin terlihat tegar. Untuk itu aku alihkan dengan menunjukkan padanya bahwa kalung yang aku pakai adalah bagian dari kalungnya. Aku coba satukan potongan hati itu.
“Pakaikan ini padaku, ‘Phon…” akhirnya ku dengar juga kata itu terucap dari bibirnya.
Mulanya aku ragu. Namun kemudian setelah ia mengangguk dan membalikkan badan untuk mengisyaratkan agar aku segera memakaikannya, aku bentangkan kalung itu dan kupasangkan pada lehernya. Kemudian ia berbalik dan memelukku sekali lagi. Kali ini lebih rapat. Oh, Tuhan ! Aku gak mau kehilangan dia. Itu yang ada di benakku. Jaga dia, Tuhan. Tolonglah selalu dia, Tuhan. Itu yang selalu bergema dalam hatiku.
Entah kenapa seakan dia mendengar jeritan hatiku, kemudian ia menjawab dalam bahasa Belanda, “God is mij een helper….” Ia mengusap……. Oh,tidak ! Aku meneteskan air mata ! Ia mengusap air mata yang ada di pipiku itu seraya bertutur, “Gak usah khawatir ‘Phon, Tuhan akan menolong dan menjagaku. ……. Sampai jumpa..”
Akhirnya aku temukan satu kata untuknya sebelum dia beranjak pergi dariku. Aku bisikkan itu liriiih sekali di telinganya, “Aku sayang kamu ! Percayalah. Kita tak akan lama berpisah….”
* * *

Rasanya nyenyak sekali aku tidur hari ini. Entah kenapa. Meski semalam aku baru pulang dari Bandara pukul 12 malam. Aku sedikit menyeret ke kamar mandi dengan rasa lelah yang mendekap tubuhku. Ini adalah hari pertamaku yang bakal aku lalui tanpa suara Nat-Tha di telingaku. Namun aku harus terbiasa dengan itu.
Aku nyalakan televisi di kamarku. Semua saluran sedang menayangkan program berita. Aku arahkan pandangan pada jam wekerku. Ternyata masih setengah tujuh pagi. Pantas! Begitu pikirku.
Rasanya aku bosan dengan berita-berita itu. Aku berpikir lebih baik kumatikan saja. Namunn saat hendak kutekan tombol remote TV-ku, aku mendengar pembaca berita sedang menayangkan jatuhnya pesawat. Aku belalakkan mata sembari aku besarkan volume-nya.
Oh Tuhan ! Apalgi ini ?!! Pesawat yang ditumpangi Nat-Tha….. jatuh !
Aku melesat secepat cahaya (mungkin) setelah aku mencoba mencari keterangan dari bandara melalui telpon, aku gas dengan kencang mobilku menuju Juanda, satu-satunya bandara di kota kami. Dalam pikiranku tergambar hal-hal yang jelek tentang Nat-Tha. Jangan biarkan itu terjadi, Tuhan…..
Kini aku telah berdiri di depan salah seorang pegawai kantor Bandara. Aku begitu emosi. Tak terasa kata-kataku sedikit menyentak. Sementara Suherman, begitu nama staf bandara itu yang kubaca di atas sakunya, mencoba menenangkanku. Aku sudah tak sabar. Pria tinggi itu berkata kalo pesawat itu, jatuh di perairan Singapura dan seluruh penumpang akan segara dikirim kembali ke bandara ini satu setengah jam lagi. Namun yang bikin jantungku copot adalah kalimat terakhir Pan Herman, bahwa ada yang meninggal 3 orang. Semuanya wanita. Oh, Tuhan! Jangan ada Nat-Tha di antara mereka…….
Akhirnya pesawat yang mengirim kembali para penumpang itu telah tiba di bandara, Om Hans sudah ada di sampingku bersama Tante Hilda yang menangis terus dari tadi. Ia sangat mengkhawatirkan anak gadisnya itu. Langsung kemudian aku berlari menghampiri daftar korban meninggal yang dibawa seorang pramugari. Ternyata aku tak menemukan nama Nath. Aku melihat kereta-kereta pasien yang didorong oleh para medis itu dan segera saja kuhampiri. Aku berlari dan kupandangi mereka satu-satu. Tak ada wajah Nath! Dimana dia?
Kemudian aku melihat dari jauh seorang gadis yang duduk di kursi roda, didorong tim medis. Tanpa kubuang waktu lagi aku menghampirinya. Aku lihat gadis itu. Ia lusuh. Pipi kirinya bengkak. Pipi kanannya tergores. Sementara tangannya diinfus. Kaki gadis itu penuh dengan goresan luka.
Astaga, Nat-Tha ! Aku peluk dia dan ia membelai kepalaku. Aku menteskan air mata. Nath-Tha tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa sedikit tersenyum padaku. Aku berbisik lirih, “God is mij een helper….” Sedih bercampur senang karna tidak jadi berpisah dengannya (setidaknya untuk beberapa waktu) berkecamuk dalam hatiku. (Thanx MR. CHENG MAN & BE2K LIM, you are my inspiration! –sorry, guys!– )


God is mij een helper = Tuhan bagiku adalah penolong.

No comments: