Saturday, April 02, 2005

“Semanggi Suroboyo”

Aku berjalan di bawah terik dengan telapak kepanasan. Sampah yang kudapat hari ini sudah banyak. Semoga setoranku akan bertambah. Memang terkadang lelah juga menjadi pemulung. Tetapi bagaimana lagi, aku harus melakukakannya.
Lamunanku terhenti. Dari jauh aku melihat Bapak tergopoh-gopoh. Kuberlari menghampirinya.
“Cepat bantu bapak ! Mau ada obrakan !” aku langsung tanggap mendengarnya. Segera kuringkas semua botol Legen dagangan bapak. Bergegas kami mendorong rombong kecil yang sudah menjadi tumpuan hidup kami bertahun-tahun.
“Untung ‘le, Kamtib belum sampai membongkar...” kata bapak saat kami tiba di rumah. “Ibumu belum datang ‘le?”
Aku menggelengkan kepala.
“Kita makan saja dulu, ya.”
Terkadang aku trenyuh melihat melihat keluargaku. Bapak hanya seorang pedagang kecil es Legen. Ibu membantu bekerja berkeliling berjualan Semanggi. Mereka berdua menghidupiku dan dua adikku dengan ngos-ngosan.
“Bapak gak sampai diobrak kan ?” ibu datang dengan kecemasan.
“Tidak sampai kok, bu.”
“Alhamdullilah.” Ibu meletakkan bakul semangginya.
“Laku hari ini ?”
“Biasa saja, pak.” Ibu berkata dengan kecewa. “Terkadang ibu heran, mengapa makanan daerah sendiri malah kalah dengan ayam Amerika.”
“Jualan ayam Amerika saja.” celetuk Cuplis si bungsu. Aku hanya mengulum senyum sementara bapak dan ibu tertawa terbahak-bahak. Kegembiraan itulah yang selalu menguatkanku saat merasa susah menghadapi hidup.
“Oh ya, Tole. Tolong antarkan pesanan mbak Miranda, ya.” aku langsung terkejut mendengar nama itu. Mbak Miranda tinggal di satu perkampungan terkenal di kotaku. Selalu ramai tiap malam dipenuhi wanita-wanita penjaja cinta dan ia termasuk di dalamnya.
“Gak usah takut. Siang-siang sepi. Ibu masih repot, le. Tolong, ya.” Ibu menyodori bungkusan Semanggi. Sebenarnya aku ragu, namun demi ibu akhirnya segera kukayuh sepeda menuju kesana.
Bulu kudukku merinding. Aku merasakan suasana aneh di tempat ini. Untung segera kutemukan wajah mbak Miranda. “Eh Tole. Nganter Semanggi?”
Segera kusodorkan bungkusan padanya.
“Semanggi ibumu paling enak, gak ada yang menandingi.” Ia lalu mengeluarkan selembar sepuluh ribu dari dadanya. Aku jadi jijik dan menunduk.
“Nih ! terima kasih, ya.” Ia mengenggamkannya di telapakku sambil berbisik mendekat dan menyentuh pipiku, “Kembaliannya buat kamu.”
Aku mengangguk dan segera meninggalkannya.
“Besok antar 5 bungkus lagi, le !” suaranya terdengar dari jauh.

* * *

Malam ini Surabaya terasa dingin sekali. Aku merapatkan tubuh di sudut ranjang, kesepian. Sudah dua hari keluargaku pergi ke rumah Budhe di Malang untuk pinjam uang. Sejenak kumendengar gedoran pintu yang keras sekali. Kuberanikan untuk membukanya.
“Tole, tolong Mbak Miranda.” wanita ini tampak tergopoh. Ia mengenakan busana ketat berwarna merah minim. “Boleh mbak masuk ?”
Kemudian segera kututup rapat pintu rumahku. Aku begitu heran, mengapa tengah malam begini ia datang ke rumah. Aku memandanginya terus.
“Ah, Mbak enggak mau beli Semanggi. Mana keluargamu yang lain ?”
Aku menggelengkan kepala.
“Pergi ?”
Aku menggangguk. Kemudian kusodorkan segelas air, karna kulihat wajahnya pucat sekali. Mbak Miranda meminumnya seteguk demi seteguk lalu mengembalikan gelas itu padaku. Ia mengeluarkan tissue dari tas tangan dan mengelap keningnya
“Terima kasih.” Katanya sambil terduduk di lantai. Aku memandangnya lagi. Ia meneteskan air mata dan beberapa detik kemudian menangis. Hatiku tersentuh. Ternyata wanita yang selalu terlihat ceria di hadapan para lelaki hidung belang ini bisa juga menangis.
“Sebenarnya mbak tadi kena razia, le. Untung, berhasil kabur. Makanya mbak buru-buru ke rumahmu. Karena ini yang terdekat. Enggak apa-apa kan ?”
Aku mengangguk.
“Mbak tahu, mungkin kamu jijik dengan mbak. Karena mbak seorang WTS.”
Aku buru-buru menggelengkan kepala.
“Enggak apa-apa. Mbak sudah terbiasa.” Ia mengusap air matanya.
“Orang selalu begitu. Mereka tidak tahu sebenarnya. Dari lubuk hati yang terdalam, sebenarnya mbak selalu menangis. Menyesali pekerjaan ini.” Mbak Miranda memandangku, aku hanya menunduk.
“Apa daya, sudah masuk dalam lumpur...”
* * *

Sudah sebulan kami sekeluarga tak mendengar kabar mbak Miranda, sejak razia itu. Kata ibu, ia kembali ke kampung karena sakit parah. Kabar terakhir dari teman-temannya malah menyebutkan kalau Mbak Miranda sudah meninggal karena HIV/AIDS. Sungguh tragis..... !
Sementara keadaan ekonomi keluargaku semakin memburuk. Uang pinjaman dari Budhe tidak bisa menolong. Kini daerah jualan bapak sudah dinyatakan bebas PKL. Akibatnya bapak sekarang jadi kuli. Dagangan Semanggi ibupun makin hari makin sepi, namun beliau tetap ngotot berjualan.
Aku dan adik-adikku tak lagi sekolah. Buat makan saja kurang.
“Le, semiskin apapun kita, jangan pernah jadi pencuri, ya.” kata-kata bapak itu selalu jadi peganganku saat bekerja mengais sampah. Meski pemulung, aku bukan pencuri. Tetapi kadang aku jengkel juga pada orang-orang. Mereka selalu memarahiku saat aku mengobrak-abrik sampah. Mereka bilang itulah sebabnya kota ini bau. Mereka tidak tahu betapa sulitnya aku mencari sampah yang dapat didaur ulang agar setorannya dapat membantu biaya hidup keluargaku.
Aku melangkah pulang dengan sejuta lelah. Alangkah terkejutnya diriku melihat ramai orang-orang di sekitar rumah.
“Le, rumah kita digusur.” Ibu menangis menghampiriku.
Segera aku berlari membantu bapak meringkas sisa bangunan kami.
“Kita akan kemana, pak ?” tanya Burhan adik kedua-ku. Bapak hanya menggeleng. Sementara perkampungan kami ramai dan sesak. Orang-orang kebanyakan tidak terima dengan pembongkaran tiba-tiba ini.
“Sudahlah, le. Ini memang bukan milik kita. Tanah ini milik pemerintah.” Bapak tegar bernasihat. Aku hanya meneteskan air mata kesedihan. Kemudian kami pergi meninggalkan perkampungan penuh kenangan itu.
Saat aku dan bapak keluar kampung, kami tidak mendapati ibu dan Cuplis.
“Kemana mereka, le ?”
Aku menggeleng.
“Kita berpencar. Bapak cari bersama Burhan, kamu cari di tempat-tempat ibu biasa berjualan.” aku mengangguk dan kami berpisah.
Aku menelusuri perkampungan mencari ibu. Setidaknya sudah puluhan gang aku masuki. Kakiku sakit sekali. Tak terasa suara adzan sudah mengalun. Aku sandarkan tubuh sejenak. Sayup-sayup, kutatatap langit senja, lalu kuteringat bapak dan Burhan. Jangan sampai aku kehilangan mereka juga. Bergegas kutuju bekas perkampunganku yang kini telah rata, namun tidak kutemui mereka. Tanpa sadar, lelah aku tertidur di emperan toko.
* * *

Selama seminggu aku mencari keluargaku, namun tak dapat kutemukan. Hatiku menjerit pilu. Di saat seperti ini aku butuh keceriaan mereka. Sekarang aku mesti sendiri menghadapi pahitnya hidup di kota yang tak pernah menjadi pahlawan buatku, tetapi malah menyusahkanku. Satu yang membuat aku bingung, bagaimana aku hidup tanpa keluargaku dengan keadaanku ini. Bagaimana aku akan berkomunikasi dengan orang lain, sementara aku bisu ?! (*)

1 comment:

Anonymous said...

What a great master piece I got here, Christian just let ur skill writing develop in it's own way. Oh my GOD I Think Im so interest on ur stories. Keep it on, Let us go to producer and make some copyright. Wow it can be awsome . . . GOD bless YA!!!