Saturday, April 02, 2005

Joko Dolog

Hariku begitu melelahkan tampaknya. Bagaimana tidak ?! Seluruh kegiatan yang kulakukan aku sambung secara berturut-turut dalam sehari. Berangkat jam enam pagi dari rumah, kuliah sampai jam satu, terus janji ama Ria ke Mall, nemenin Ibu ke Pasar lalu nyambung lagi ngurusi kafe. Badanku rasanya terbelah-belah deh. Makanya kuhempaskan saja dengan pasrah di atas ranjang. Meski begitu, mata ini tak mau segera terpejam, terus memandangi langit-langit kamarku sembari inget kejadian di kampus siang tadi. Sungguh menambah beban lelahku.
Aku kesel banget sama Arik. Bisa-bisanya dia bersikap dingin saat kami berpapasan. Bahkan aku yang senyum dan nyapa dia dulu, eh Arik cuman bales sekenanya aja. Ingin aku dorong dia, tapi untung aku masih bisa mengontrol diri. Sebenarnya aku agak bingung juga atas sikapnya yang aneh itu. Baru semalam kami bercanda di telepon, ketawa-ketawa, namun mengapa dia berubah hanya dalam sehari. Apa selama ini dia hanya mempermainkan aku? Kuharap tidak. Sebab aku sudah telanjur memberikan hatiku kepadanya.
Sesaat aku membuka halaman-halaman buku harianku. Aku selalu menulis setiap hal tentang Arik. Aku inget saat kami pertama ketemu dulu. Waktu OSPEK, doi satu-satunya senior yang aku kagumi. Orangnya tidak banyak cakap namun ramah, wajahnya terlihat cool dan smart. Itu alasannya aku jadi menaruh hati. Belum lagi Arik jago banget main piano. Bagiku, itu menambah kesempurnannya.
Sedari awal aku sadar kalo Arik itu bukan tipe cowok yang rame dan friendly. Lain denganku yang selalu heboh kalo lagi gaul. Terlalu beda memang. Tetapi setelah aku berusaha menjadi temen deketnya selama beberapa bulan ini, aku belajar banyak hal dari dia. Mulai kedisplinan sampai kesabaran. Bagiku, Arik itu cowok yang spesial banget dari semua yang pernah aku kenal.
“Jangan terlalu mengharapkannya, Lia.” Itu yang selalu Dina, sobatku, katakan. Tetapi aku seakan tak pernah mempedulikan itu. Meski aku telah banyak kecewa akan semua sikap-sikapnya yang sulit ditebak, aku malah bertambah sayang sama Arik. Dia selalu membuat aku penasaran, itu yang kusuka darinya.
Arik terkadang ramah dan enak diajak ngobrol kalo di telepon. Namun kalo kami ketemu, terkadang doi jadi cowok yang pendiam banget, seperti patung ‘Joko Dolog’ yang ada di kotaku. Kami memang belum mengikat apa-apa, apalagi jadian. Mungkin hanya sebatas temen deket. Habis bagaimana, Arik itu terlalu pasif. Sampai detik ini pun aku nggak ngerti apa dia juga menaruh hati kepadaku. Entahlah, aku terlalu lelah memikirkan semua ini. Tak sadar aku sudah terlelap dalam mimpi.
* * *

“Kak Lia. Kak.” Teriakan Marcel adikku membangunkanku dari lelap. Aku lalu membalasnya dengan malas. “Ada apa, Cel?”
“Ada yang cari kakak.” Aku sesaat kaget mendengar suara adik cewekku satu-satunya ini. Kulirik wekerku, astaga sudah jam sembilan! Kemudian aku membuka pintu kamar dan segera aku menjumpai wajah mungilnya ini.
“Siapa?”
“Enggak tahu.”
“Kamu gak tanya namanya?”
“Laki-laki, orangnya tinggi, putih, kurus, rambutnya lurus,...”
“Heh, sudah-sudah. Aku tahu yang kau maksud.”
“Pacar kakak, ya?”
“Ssst! Ngawur kamu. Suruh tunggu sebebentar.” Aku langsung beranjak dan buru-buru ke kamar mandi. Sebenarnya aku sungguh terkejut, buat apa Arik, si Joko Dolog itu pagi-pagi datang ke rumah. Apa ada yang penting, ya?
Setelah kurasa sudah rapi, kemudian aku berjalan ke ruang tamu menemuinya.
“Hai Lia, selamat pagi.” dia menyapaku dulu dengan senyum ramahnya yang khas.
“Maaf, aku lama. Baru bangun, nih. Kamu sih, datangnya kepagian.”
“Oh, jadi aku mengganggu ?”
“Oh, tidak. Tidak. Hanya bercanda. Oh, ya ada perlu apa ?”
Arik terdiam sejenak ketika aku bertanya begitu. Namun beberapa saat kemudian ia mengeluarkan suara, “Apa kamu hari ini ada acara? Bisa nemenin aku jalan-jalan?”
Jantungku rasanya copot mendengar ia berkata seperti itu. Sama sekali aku tak menduganya. Ingin aku melompat saking girangnya, inilah saat-saat yang aku tunggu. Tetapi karena Arik ada di depanku, aku pun diam aja, memastikan apa dia sungguh-sungguh atau tidak.
“Lia, kamu bisa atau tidak?” suaranya yang cool itu menyadarkanku.
Kemudian aku bangkit dan tersenyum kepadanya. “Ok. Ok. Aku bisa. Tetapi dalam rangka apa nih, kamu ngajak jalan?”
Raut mukanya berubah jadi serius ketika aku berkata seperti itu.
“Aku, mau ngomong satu hal ke kamu?”
Betapa hatiku terkejut mendengarnya, jangan-jangan Arik mau nembak aku hari ini. Tapi, enggaklah aku gak mau ‘GR’ dulu.
“Ada satu masalahku yang perlu aku ceritakan......”
Tuh kan, bener. Arik bukan mau ‘nembak’. Melihat wajahnya yang serius itu, pasti ada yang penting banget buat dia.
Di mataku, Arik itu termasuk orang yang tertutup sekali. Mana pernah ia punya temen deket di kampus atau di manapun. Tetapi semenjak dia deket denganku akhir-akhir ini, ia mulai membuka sedikit demi sedikit kepribadiannya kepadaku. Itupun kalo aku tanya, dia mau bercerita atau terkadang dia sendiri malah yang cerita tentang keluarganya.
* * *

Kami sudah sampai di warung kaki lima, taman kota. Cerahnya hari membuat suasana tambah sejuk. Aku kemudian menghampiri salah satu meja diikuti Arik. Perutku keroncongan lalu segera saja kupesan masakan kesukaanku dan Arik memesan bubur ayam. Mataku lalu berkeliling ke sekitar warung itu.
“Tumben, minggu-minggu gini kok sepi ya, Rik ?” aku membuka percakapan dengannya sekedar melepas ketegangan yang nampak dari wajah Arik.
“Eh, tahu enggak, Rik. Waktu kecil aku sering maen ke sini sama ayahku, lho. Pernah ya, aku salah memukul orang. Mulanya aku kira itu ayahku, ternyata bukan. Aku langsung malu dan lari deh.”
“Lia,.... apakah sekarang kamu sedang mencintai seseorang ?” pertanyaan Arik itu rasanya membuat aku pingsan. Aduh, Joko Dolog...... !!!
Aku tidak berani menatap matanya yang penuh tanda tanya yang besar.
“Baiklah. Maaf. Pertanyaanku mungkin terlalu mengagetkanmu. Tapi sekali lagi aku mau minta maaf terlebih dahulu. Ini adalah saat yang mendesak yang harus aku lakukan.” Sekali lagi Arik terus menatapku tanpa berpaling.
“Lia,.... maukah kau jadi kekasihku ?”
ASTAGA ?! Gila!! Kata-kata itulah yang selalu kutunggu selama ini.
“Untuk sebuah alasan apa ?” tak sadar bibirku berucap.
“Ayahku sakit keras dan kemungkinan untuk hidup sudah kecil. Beliau ingin melihat calon istiriku, sebelum.....” Arik tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Kini dia tertunduk dan kulihat satu titik air ada di sudut matanya.
Tanganku mengusap-usap pundaknya.
“Lia, kumohon....”
“Baiklah.” Oh, my God ?! aku mengiyakan untuk jadi kekasihnya ?!!! Apa-apaan ini? Jantungku bahkan berdegup kencaaang sekali.
“Aku janji, setelah itu, aku akan meninggalkanmu dan kamu bebas memilih kekasih, siapapun itu.” Kata-kata Arik yang terakhir inilah yang tidak aku harapkan..... o

No comments: