Saturday, April 02, 2005

“Teman Sinyo-ku”

Hujan yang turun hari ini benar-benar deras. Ini membuat badan Ala’ basah kuyup. Meski ia dan kedua temannya mencoba menutupi kepala, namun tetap saja ujung rambut sampai kaki mereka tak ada yang kering sedikitpun.
“Sial! Kenapa tadi kita gak bawa payung? Kamu sih, Ka. Aku kan wis ngomong. Ala juga gitu. Kalau begini kita semua jadi basah, kan? Terus kalau besok sakit enggak bisa ke sekolah...”
Joko, pemuda bertubuh besar, berkulit legam itu memang gemar mengomel. Baik atau buruk keadaannya, pasti dia berkomentar. Menanggapi temannya ini, Ala’ hanya diam, mungkin bagi Ala, sudah terlalu sering mendengar gerutu-gerutunya.
Namun tidak untuk Kaka. Meski ia tahu sikap kawannya itu, ia pun bales berkomen. Akibatnya pertentanganpun terjadi. Baru kali ini Ala mengeluarkan suara untuk menenangkan adu mulut dua orang itu.
“Sudah! Sudah! Kita nyebrang apa enggak, sih. Ayo! Nanti jalannya makin rame!”
Akhirnya adu mulut itu dapat ditenangkan Ala’ dengan mengalihkan perhatian mereka untuk segera melintasi jalan itu. Masih dengan badan yang basah, Joko, Kaka dan Ala’ melintasi sepanjang jalan yang penuh dengan kendaraan sementara hujan juga masih belum kunjung reda. Ketiga pemuda itu dengan hati-hati berjalan, mengingat genangan-genangan air yang sampai mata kaki itu membuat keadaan jalan tidak terlihat.
Ciiittt!! BRAK!
Astaga! Hampir saja Kaka tertabrak sebuah mobil yang tiba-tiba melintas di depan mereka. Untungnya ia hanya terserempet saja.
“Kurang ajar! Apa tidak punya mata orang itu!!” umpatan seketika keluar dari mulut Joko. “Dasar singkek!”
Kata-kata itu membuat Ala’ memalingkan pandangan tajam pada Joko. Mata Ala’ terlihat serius. “Jok! Sudah berapa kali aku bilang. Jangan sembarangan bicara.”
“Ala’! Mereka itu emang sering kurang ajar...”
“Sudah Joko. Aku gak suka kamu begitu. Mereka juga kan bangsa kita”
“Buat apa sih kamu marah? Toh, kamu kan orang pribumi. Orang Jawa.”
Pembicaraan mereka terhenti. Mobil yang menyerempet Joko tadi kembali mundur. Perlahan pengemudi itu turun dengan payung kuning yang dipegang di tangan kanannya. Ternyata ia seusia dengan mereka. Tingginya kira-kira 162 senti. Ia berkulit kuning, matanya sipit, tidak lebar. Pemuda itu memang seorang warga keturunan, seperti dugaan Joko.
Melihat sinyo itu, Joko terlihat bertambah garang, “Hei Nyo! Kamu bisa nyetir gak sih? Hati-hati dong. Kamu jangan berani macem-macem sama kami, ya.”
Sinyo itu mulanya sedikit gemetar dengan kata-kata kasar Joko. “Saya minta sori, ya. Aku tadi gak liak kalian.”
Namun lagi-lagi Ala’ bisa jadi penengah yang baik, “Sudah. Kami enggak apa-apa, kok. Siapa namamu, Nyo?”
Ia mengulurkan tangannya pada Ala’ “Kenalkan, nama gua Fani. Fani Chen Wei. Panggil aja, Wewe. Sekali lagi, aku minta sori.”
“Iya, We. Aku juga. Sebenernya kami juga salah. Udah We, ya. Kami buru-buru pulang nih...” Ala’ meraih kedua kawannya itu untuk segera menjauh dari Wewe. Ia tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Apa kalian gak butuh tumpangan? Ndek mana seh, rumahe? Tak anterno, ya”
Dari kejauhan, Ala’ menolak tawaran sinyo itu dengan ramah, “Tidak, We. Trim!” dan bayangan ketiga orang itu tak nampak lagi setelah mereka berbelok ke tikungan di seberang jalan.”
Sembari masuk ke dalam mobilnya, Wewe bergumam, “Untung, ada anak itu... Kalo gak, mati gua digampar temennya...” dan seketika melesatlah mobil dengan cat biru tua itu ke arah berlawanan.
* * *
Meski kini sekujur tubuh yang basah tadi telah kering, namun Ala’ masih memikirkan kejadian tadi. Ia tak habis pikir, mengapa orang-orang selalu memojokkan warga-warga keturunan. Memang terkadang sikap mereka ada yang tidak bisa diterima oleh warga pribumi. Tapi toh, itu kan tidak semua. Sama seperti bangsanya, ada yang suka judi, ada yang ngomongnya kasar, yang baik juga ada, itu kan kepribadian orang. Mengapa mesti dikaitkan dengan etnis mereka. Yang jelas, yang ada di benak Ala’ ia tidak mau begitu. Baginya semua manusia sama. Masalah etnis itu gak perlu diperpanjang. Setidaknya itu yang selalu diajarkan kedua orangtuanya sejak kecil.
“Lei!” suara bunda membuyarkan lamunan Ala’
“Ada apa, bunda?”
“Lei, ayo makan dulu.”
Ala’ kemudian berjalan ke balai-balai rumahnya. Ruangan yang sangat disenangi ayahandanya. Di situ juga, Ala’ belajar tentang kehidupan dari ayahnya.
“Ayah masih belum menyelesaikan lukisan itu?”
“Belum, Lei. Lukisan ini spesial. Ayah perlu ‘jiwa’ agar lukisan ini bisa nampak bernyawa.”
Ala’ memperhatikan lukisan ayahnya itu. Seekor burung Garuda yang besar dan gagah. Matanya tajam memandang. Namuan Ala’ masih melihat keramahan dari sorot mata itu. Sementara bulu-bulunya putih bersih, dengan cakar yang seolah sedang mencengkeram sesuatu. Tampaknya ayahanda belum menyelesaikan bagian bulu-bulunya. Entah ‘nyawa’ apa yang dimaksud ayahanda.
Ayah Ala’ bukan sepenuhnya seorang pelukis. Itu hanya sekedar hobi saja. Pekerjaan pokok pria setengah baya ini adalah seorang insinyur. Ia bekerja di sebuah perusahaan swasta di kotanya itu.
Sesaat Ala’ memandangi wajah ayahanda dengan penuh kagum. Kini, ia berniat untuk bercengkerama dengannya. Ala’ ingin mendapatkan sedikit wejangan dari ayahnya perihal sesuatu yang tidak ia mengerti sedari tadi ; tentang perbedaan yang tak bisa diterima oleh sebagian orang.
“Ayah, manusia diciptakan berbeda-beda. Ada yang hitam, ada yang cantik, ada yang sipit, ada yang mancung, ada yang gemuk,....” belum seleai Ala’ menyelesaikan kalimatnya ayahanda memotong.
“Lei... Ayah ngerti maksudmu....”
“Lei, perbedaan itu memang indah. Sudah. Tidak perlu dipertentangkan.”
“Ayahanda, tapi mengapa banyak orang masih juga tidak bisa menerima itu?”
“Lei, kamu mesti inget, Kalau orang itu sudah bisa menemukan keindahan dalam dirinya sendiri, ia pasti bisa juga menemukan keindahan dalam diri orang lain.”
Ala’ berbisik lirih, “Perbedaan... Keindahan.”
Ia lalu berjalan menjauh dari balai-balai. Kata-kata ayahanda terus terngiang dalam benaknya, dalam nadinya.
* * *
Panas yang terik menjadikan basah seragam putih yang dikenakan Ala’. Ia usap keningnya dengan sehelai sapu tangan. Hari ini langit memasang wajah garangnya. Panaas sekali ! Ala’ masih terus berjalan dengan satu harapan, segera sampai ke rumahnya. Namuan ketika ia akan melangkahkan kaki menuju arah rumahnya, wajahnya berpaling. Ia mendengar suara ribut di salah satu gang yang sepi. Ia kemudian berlari kecil untuk melongoknya. Ada apa gerangan?
“Ayo Nyo, serahkan duikmu! Kalao gak gelem....” laki-laki itu tampak menyodorkan sebilah pisau pada seorang pemuda berkulit kuning. Sementara yang satunya lagi berdiri dengan wajah mengancam.
“Astaga! Wewe.” Ala’ teringat pemuda Tionghoa yang hampir saja menabrak Joko beberapa waktu lalu. Kini dalam dirinya bertaut, apakah ia mesti menolong Wewe, ataukah... Tidak! Kalau ia sendiri yang melawan dua laki-laki bertubuh besar itu, ia pasti babak belur. Sesaat ia menemukan akal. Ia lalu berjalan agak menjauh. Ia buka telapak tangan di samping mulutnya dan berteriak, “Polisi! Polisi! Cepat lari! Ada polisi!!”
Seketika dua laki-laki itu lari tunggang langgang menjauh dari Wewe. Dalam benak Ala’ ternyata kecil juga nyali mereka. Ia lalu menghampiri Wewe, “Kamu gak apa-apa kan?”
“Aduh, kamsia aku nek gini, Aku wis utang ambek lu lagi...”
“Ada yang hilang, We?”
“Lu sek inget namaku?... Eh, nggak apa-apa. Paling juga duikku. Tapi gak apa-apa sing penting aku selamat, aku udah bersyukur.”
Sejenak Ala’ memandangi pemuda itu. Wajahnya masih tampak ketakutan, seragam sekolahnya tampak kotor dan lusuh. “Kamu,.. Apa yang kamu lakukan di sini?.... Ia lalu pandangi gang kecil itu. “Di jalan yang sepi ini...”
“Aku, aku hanya mau beli jajanan di ujung jalan sana, aku baru pulang sekolah.”
Ala’ memandang Wewe. Ia mengikuti arah matanya. Ia melihat mobil yang sedang di parkir di seberang jalan. Rupanya pemuda ini membawa mobil kalau sekolah. Enak benar? Ia tidak perlu menikmati panas yang hebat setiap siang.
Ia lalu bertanya pada Wewe, “Bukankah, kamu bisa membeli roti-roti mahal di supermarket? Kenapa mesti beli di sini?”
“Aku kan juga ingin merasakan jajan-jajan pasar. Apa aku salah kalau.....”
“Ya. Ya. Aku tahu.”
“Sori. Aku belon tahu nama lu.”
“Cakrawala.”
“Ah, nama yang....”
“Aneh?”
“Tidak. Aku tidak berkata demikian. Namamu apik.”
“Terima kasih. Teman-teman memanggilku Ala’ ”
“Oh, iya, karna kamu udah nolong aku bolak-balik, rasanya aku perlu membalasnya”
“Tidak perlu. Aku tulus melakukannya.”
“Tidak. Tidak. Maaf, jangan tersinggung. Please, biarkan kuungkapkan rasa terima kasihku ini.”
“Rasa terima kasih tidak selalu perlu untuk diwujudkan” Ala’ kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan pemuda Tionghoa itu dengan ramah.
Wewe kemudian mengejarnya dan menatap wajahnya, “Please... Ikutlah denganku sebentar. Bagaimana kalau aku minta tolong sekali lagi. Temani aku makan siang, ya...”
“Bunda sudah menyiapkan di rumah.”
“Ala’... Ayolah.”
Sejenak ia menatap wajah melas Sinyo itu. Matanya yang sudah sipit itu makin menciut. Ia lalu tertawa terbahak-bahak. Tentu saja ini membuat Wewe keheranan.
“Lho, kok tertawa?”
“Lucu”
“Apa?”
“Mata kamu kalau begitu makin sipit. Ha...ha..”
“Tapi kamu mau kan?”
“Baiklah teman sinyo-ku... Ha...ha...”
“Teman? Jadi kamu udah nganggep aku temen?”
“Ya. Ya. Ya. ....ha.. ha...”
Tampaknya kini di antara mereka mulai terjalin satu relasi. Kejadian-kejadian yang tidak di duga bisa jadi pemicu hubungan itu.
“Kamu beruntung. Setiap hari tidak perlu kepanasan”
“Apa? Justru kamu yang beruntung. Kamu bisa sehat alami dengan menikmati panas matahari”
“Manusia itu selalu pengen hal-hal yang tidak dimilikinya.” Mereka berdua lalu terbahak-bahak lagi.
“Ala, kamu boleh memilih tempat di mana kita makan.”
“Aku ditraktir, nih..”
“Wah. Wah. Aku kan wis bilang, to ?”
“Terserah kamu, deh. Kan kamu yang ngajak.”
* * *
Mereka berdua sampai di sebuah Plaza yang terbesar di kota itu. Saat hendak naik eskalator, Ala mendengar satu keributan kecil di sebuah toko sebelahnya. Langkahnya terhenti sejenak untuk sekedar memperhatikan.
“Lu itu jadi orang goblok banget. Masa lu kagak ngerti-negrti terus. Sudah tak bilangin! Kalo gini gua kan jadi rugi lagi! Memangnya semua orang pribumi goblok-goblok apa, heh?!!”
Ala’ melihat seorang Majikan yang sedang memaki pelayannya. Pembicaraan itu jadi menarik Ala’ lantaran majikan itu seorang Tionghoa, sedang pelayannya seorang pribumi. Dalam hati kecilnya bergaung, ternyata tidak hanya bangsanya saja yang suka mengejek para warga keturunan. Mereka-pun juga sering melakukannya. Aduh, kalau begini terus, bagaimana bisa menemukan keindahan diri sendiri dalam diri orang lain, seperti kata ayahanda. Begitu pikir Ala’.
Tidak ia sangka, Wewe memperhatikannya. Ia peka dengan kejadian itu. Ia kini jadi sedikit tidak enak pada Ala’ karena ia seorang Jawa.
“Maaf, La’ ”
“Untuk apa?”
“Terkadang kami orang-orang Cina suka keterlaluan dengan bangsamu. Kami tidak sadar, kalau kami ini orang asing yang mengaduh nasib di sini. Tetapi terkadang kami sering semena-mena pada bangsamu.”
“Tidak perlu kamu begitu. Kalian kan sudah sejak kecil, bahkan sejak lahir tinggal di Indonesia. Aku menganggap kalian sudah seperti bangsaku. Aku juga sadar, sering juga orang-orang pribumi mengejek dan menyudutkan kalian dalam beberapa hal.”
“Memang masalah etnis itu adalah satu problema yang kompleks.”
“Itu tidak akan terjadi, kalau seseorang sudah menemukan keindahan dalam dirinya lalu menemukan keindahan itu dalam diri orang lain..”
“Filosofis sekali”
“Ayahanda yang mengajarkan itu kepadaku.”
“Ayahmu seorang budayawan?”
“Sebenarnya ayahanda seorang Insinyur. Tapi ia seorang yang bijak, karna ia seorang seniman juga.”
“Wah hebat.”
“Terima kasih.”
“Untuk apa terima kasih, La’?”
“Setiap pujian itu sebenarnya bukan untuk diri kita. Karena itu untuk Tuhan. Kita tidak punya apa-apa untuk dibanggakan, meski kita juga punya keajaiban dalam diri, tapi itu semua dari Tuhan...”
“Wah, belum sehari jadi temanmu, sudah belajar banyak. Tampaknya kita mesti bersahabat, Ala’ ”
“Aku senang menerima persahabatan ini.”
* * *
Kini dua orang itu sudah berhadapan di salah satu meja di sebuah kafe yang mewah. Ala’ melihat sekeliling Kafe itu. Meja-mejanya bergaya Eropa. Semua pelayan ber-jas. Tampaknya pengunjung kafe ini para eksekutif menengah ke atas.
“Kamu sengaja mengajak aku ke tempat mewah ini?”
Wewe yang sedari tadi sangat menikmati makan siangnya itu seketika kaget mendengar ucapan kawan barunya. “Ah, maaf, apa kamu tidak nyaman di sini ? Tapi, kita bisa pindah kok...”
“Ah, tidak. Tidak. Tidak perlu. Aku hanya... “ Ala’ tidak jadi melanjutkan kalimatnya itu. Entah. Dia sendiri juga tidak tahu akan berkata apa. Untung ia menemukan bahan obrolan sehingga diantara mereka tidak tercipta satu jarak yang jauh.
“Wewe, kamu sekolah di mana?”
“Aku, di San Chou Peter.”
“Itu sekolah mahal untuk para Tionghoa.”
“Sudah. Jangan menghina..”
“Aku tidak menghina. Aku kagum.”
“Tapi kebanyakan, siswa-siswa pribumi agak risih mendengar nama sekolahku. Karena seluruh siswanya keturunan Cina. Tapi kamu beda, Ala’ ”
“Wewe, bagaimana kalo kita membangun jembatan yang indah, dengan beton-beton kuat sebagai penghubung diantara kita.”
“Ha...Ha... Mentang-mentang anak Insinyur, ngomongnya gitu.”
“Maksudku, kita bangun jembatan itu untuk menghilangkan status etnis kita. Kalau kamu mau jadi temanku, mesti hapuskan, aku Jawa, kamu Cina. Tapi,.. Bukannya aku tak bangga lho, jadi seorang Jawa.”
“Ya. Ya. Aku tahu. Itu akan lebih indah. Menemukan keindahan diri dalam orang lain. Tampaknya, aku sudah menemukannya dalam dirimu.”
“Ha..ha.. aku juga, teman sinyo-ku!”
* * *
Sungguh menakjubkan. Obrolannya dengan Wewe hari ini benar-benar satu hal yang baru. Sepertinya ia mendapat banyak hal baru. Ia dan Wewe bisa bebas bercerita apa saja perihal perbedaan etnis mereka. Terbuka satu sama lain. Tanpa sadar ia sudah ada di depan rumahnya.
Ala membuka pintu pagarnya. Ia melihat Bunda sudah ada di teras, beliau sedang menyulam. Kemudian Bunda bertutur lembut padanya, “Darimana Cakrawala?”
Ala’ kamudian meceritakan panjang lebar apa saja yang ia alami hari ini bersama Wewe. Ia merasa ada satu getaran yang luar biasa di antara mereka berdua. Satu hubungan komunikasi yang terjalin sangat berbeda dari hubungan pertemannnya dengan kawan yang lain.
Kini Ala’ semakin yakin dengan kata bijak ayahanda, menemukan keindahan dalam diri itu sangat penting, karena dengan begitu, keindahan dalam orang lain pun dapat dirasakan. (*)

No comments: