Saturday, April 02, 2005

terasing dan MATI [Kebenaran yang Terbenam]

‘Kan kuingat di dalam hatiku, betapa indah semalam di Cianjur….¯
Nada itu baru terlantun di bibir. Riuh audiens menghantarku kembali ke meja. Sebenarnya tak satu pun pengunjung yang kukenal di kafe ini. Mungkin mereka hanya suka lagu lawas yang baru kulantunkan.
Mas, suaranya bagus.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Ritual kesantunan. Sesaat aku menunduk. Rendah sekali. Sebuah memori berterbangan halus di alam sadar...
Ada luka di balik lagu itu. Bukan karena aku yang mencipta. Entah siapa yang membuatnya?! Yang jelas aku hidup dari lagu ini. Aku mau melupakan saja pengalaman menyakitkan itu. Mungkin buatku dulu, menggembirakan. Menyenangkan. Saat ibu menyanyikan lagu itu, aku turut melafalkan.
Uh... hatiku begitu miris. Lebih tepatnya, trenyuh.. Sekarang aku kehilangan dia. Di mana ibu? Aku sudah berusaha mencari. Sebuah pencarian detektif. Kenapa? aku belum siap semua orang tahu. Titik. Ingin tahu? Dengarkan saja. Diam, jangan komen. Aku tidak suka.
Deep Blue Kiss, satu.
Pelayan itu mengangguk setelah aku memesan minuman.
Sekarang aku hidup sendiri. Aku punya perusahaan, sebuah swalayan berisi kebutuhan rumah tangga. Aku sudah buka 5 cabang di kota ini. Terlampau cukup untuk penghasilanku. Sangat tidak cukup untuk kebahagiaan batinku. Aku tidak pernah tersenyum saat tahu ibuku pergi.
* * *
wanita 30 tahun-an itu berjalan dengan alas kaki dan pakaian seadanya. Ia selalu membawa tutup-tutup botol, dipaku jadi satu pada kayu kecil. Ecek-ecek, orang Jawa menyebut.
Ia dipanggil ‘Ti dan hanya seorang anak 3 tahun saja yang ada di gendongannya. Ia bernyanyi dari angkutan umum satu ke angkutan umum lain. ‘Ti berkeliling di terminal sepanjang hari.
Setangkai anggrek bulan....¯
Widuri,... engkau bagai rembulan, sayang.... ¯
Bengawan Solo.... riwayatmu kini....¯
Suara ‘Ti tidak terlalu sumbang. Ia bernyanyi dengan ramah dan selalu mendoakan penumpang agar selamat sampai di tujuan mereka. Banyak yang simpatik. Tidak sedikit yang mencibir.
Masa, ngamen ngajak anaknya? Mau ngajari males?
Keluhan sok peduli itu selalu diberi hadiah senyuman. ‘Ti sadar, mereka tidak empati padanya. Tidak perlu melakukan itu juga tak apa.
Maafkan ibu ya, ‘ngger....
Kalimat itu yang selalu ia bisikkan kepada gendongannya.
Tak terasa pipiku dialiri air mata mengingingatnya. Aku benar-benar tahu mengapa ;’ibu melakukan itu. Aku tidak merasa diajari malas olehnya. Aku malah tahu bagaimana harus menghargai uang, keping demi keping. Aku benci orang-orang yang memandang ibuku sebelah mata. Aku ingin berteriak kepada mereka dari dulu, aku bangga pada mbak ‘Ti, ibuku....!!!
Pasti kau bertanya, di mana ayahku, kan? Aku tidak pernah melihatnya! Sejak aku pertama membuka mata di dunia ini, bahkan. Kata ibu dia dipenjara. Dihukum negara karena tindakannya dianggap merusak nama baik seorang jenderal. Ia membawa lari hartanya dan memfitnah Jenderal itu.
Kata ibu, semua kata orang itu bohong. Ia tidak pernah melakukan itu. Ayah hanya alat ketenaran. Semua karena Jenderal itu ingin kekuasaan dan ingin menghapus kebejatannya sendiri. Ayah digunakan sebagai kambing hitam. Kambing congek Jenderal itu. Ayahku lalu tewas tertembak.
Sekarang aku ingin berteriak lagi, kalau ayahku bukan kambing congek....!!!!
* * *
‘Kan kuingat di dalam hatiku, betapa indah….¯
‘Ngger, jangan ikut-ikut! Kamu sekolah saja. Ibu masih sanggup bekerja.
Biasanya aku langsung ngeloyor pergi ke kasur kalau ibu menegur seperti itu. Aku hanya ingin mencari uang sendiri. Ibu sama sekali tidak mengijinkan. Katanya, wajahku sangat mirip ayah.
Berbahaya, ‘ngger kalau kamu nanti ada yang menculik....
Aneh? Itu pikirmu, kan? Sama. Apa hubungannya ngamen dengan aku mirip ayah. Bukankah itu lumrah, kan?
Selain ibu tidak ingin kamu bekerja keras, ada alasan lain...
Apa?
Nanti saja kalau sudah waktunya.
Tapi, bukankah dulu aku juga ikut ibu ngamen?
Sudahlah, ngger....
Kalau sudah begitu aku pasti diam. Aku tidak ingin membuat ibu gundah. Menurut saja, apa susahnya. Aku yakin ibu punya alasan kuat di balik itu. Aku akan menunggu penjelasan itu. Aku menantinya sampai aku besar, mungkin.
* * *
‘Ngger sudah waktunya.
Ah, sebenarnya aku benci ini. Aku sudah besar, ingin rambutku panjang. Tapi lebih baik menurut saja. Aku kemudian duduk di kursi dan ibu mencukurku. Helai demi helai rambut lurusku yang sudah panjang itu berjatuhan di lantai.
Tidak butuh waktu lama, kepalaku sudah licin.
Kalau begini kamu tidak terlalu mirip ayah.
Aku memandangi wajahku di depan cermin. Kuelus perlahan kepala ini. Plontosnya aku... dan aku belum berani bertanya lagi mengapa ibu selalu berkata seperti itu. Aku lebih rela tampak seperti Pak Ogah.
‘Ngger ingat, jangan pernah memelihara jambang, kumis, jenggot dan rambut panjang. Ibu tidak pernah meminta apa-apa, turuti saja ini, ya...
Aku mengangguk. Lagi-lagi.
Kubasuh kepala licin ini, bersih dari sisa-sisa cukuran.
Ayahmu tewaspun, masih dibebani dendam Jenderal gadungan itu. Ia akan membunuh keturunannya.
Apa? Aku sangat tersentak.
Jangan takut, ‘ngger... selama ada ibu, aku akan menjagamu.
Pantas, ibu begitu risau kalau aku mirip ayah.
* * *
Mau pesan anggur?
Aku hanya menggeleng membalas tawaran pelayan kafe.
Kalau dipikir-pikir kisah ayahku itu seperti sinetron. Sebuah kehidupan yang dramatik. Gara-gara dendam itu aku dan ibuku hidup dalam ketakutan. Tetapi inilah kehidupanku yang sebenarnya. Sebuah realitas. Bukan mimpi sinema elektronik.
Kamu, Anto Johan?
Seorang tua mendekati wajahku dan mengernyitkan dahi.
Aku buru-buru menggeleng dan membayar minuman ke pelayan.
Langkahku harus cepat, pikirku. Kuayunkan langkah dan berlari jauh sekali dari kafe. Ternyata Pak Tua itu mengejar di belakangku. Kutambah kecepatan ‘bak kijang yang diburu. Jangan-jangan ia Jenderal itu?!
Sebenarnya kuingin berbalik dan kubunuh dia. Tetapi kalau itu benar? Kalau tidak?! Lagipula, ibu selalu memintaku untuk memaafkan dan melupakan semua kejadian masa lalu keluarga kami.
Berhenti...!!!!
Pak Tua itu berteriak seperti orang gila. Aku kemudian berlari terus menuju apartemen dan kututup rapat-rapat pintunya. Segera kuberlari ke wastafel. Napasku tersengal dan kudapati wajahku telah lusuh di cermin. Rambutku telah mulai panjang, bulu-bulu simbol kemaskulinan ini ternyata sudah liar berhias.
Perlahan kuraih alat cukur itu dan segera kuhabiskan rambut di kepala. Cambang dan jenggot pun kutebas habis.
Setiap hari aku selalu digelayuti ketakutan. Semua karena dendam membara. Aku telah memaafkan pembunuh ayahku. Namun aku juga berhak hidup bebas tanpa takut ancaman. Aku tidak protes kalau aku harus melicinkan kepala dan wajah, tetapi itu akan kulakukan kalau aku bisa hidup bebas.
* * *
Alat perekam itu telah selesai diputar. Aku masih duduk di kursi terdakwa. Terdiam dituduh membunuh Jenderal Urya. Aku bahkan tak tahu mengapa ia mati? Bukankah dia yang mengejarku?! Kini seantero jagad tahu kalau aku anak Anto Johan, provokator rakyat. Hal yang tidak pernah dilakukan ayah.
Apa keadilan tidak memihakku lagi seperti tidak membela ayah?
Pembunuhan terhadap Jenderal Urya. Terdakwa : Fajar Nusantoro, dijatuhi hukuman mati.
Oh, tidak?!?!!!! Ajal akan menjemputku. Hakim sudah mengetokkan palunya...! (*)

No comments: