Saturday, April 02, 2005

Cerpen Kontroversial

Hari ini adalah hari yang penuh degup jantung buat Dido. Bagaimana enggak, baru saja ia memasuki gerbang sekolah, terdengar rumpian dari para gadis yang membicarakan cerpen buatan Dido itu. Baru sepuluh langkah, cengengas-cengenges cowok-cowok yang mengutarakan bahwa bodo banget pria bernama Galuh yang mau mati tragis membela mantan kekasih yang sudah mengkhianatinya. Belum lagi warga kelasnya yang ramai juga membahas cerpennya itu, sembari berhias tanda tanya, sebenarnya yang menulis cerpen itu cewek atau cowok hingga sebegitu romantisnya.
“Do’! Gue kan editor majalah. Kok aku gak tahu sih, siapa yang bikin cerpen itu. Lu tahu siapa ?” suara Wewe itu membuat jantung Dido tambah semakin copot. Dido gelagapan menjawab pertanyaan temen satu redaksi majalah skul-nya.
“Eh, e,…Cerpen yang mana sih ?” pertanyaan yang seakan-akan Dido ciptakan untuk menutupi rasa takutnya itu bikin Wewe geleng-geleng, “Masa kamu gak denger? Cerpen halaman 20. Yang hari ini bikin heboh sekolah… Tapi aku seneng kok. Sebagai editor, kayaknya usaha kita gak sia-sia membuat pembaca puas. … Eh, Lu tahu gak ?”
“Oh, yang itu. Enggak. Enggak. Aku gak tahu.”
* * *
Menderita rasanya menahan rasa takut. Dido benar-benar khawatir cerpen-nya itu akan membuat Bunga marah dan gak mau menyapanya lagi. Yang ia lakukan hari ini adalah bagaimana supaya ia gak bertemu Bunga. Dido berusaha keras untuk tidak melewati kelas Bunga dan tempat-tempat dimana doi dan kawan-kawannya nongkrong. Alhasil, Dido cuman mangkal di kelasnya aja.
“Ibu jadi ingat masa-masa SMA dulu. Pacaran SMA memang bener-bener indah. Terus terang Ibu salut sama yang membuat cerpen ini. sayang sekali ia tidak mau menyebutkan namanya..” kata-kata Bu Lina itu benar-benar mengagetkan! Siapa yang nyangka guru cantik dan centil itu juga membaca Cerpen Dido. Pake dibahas di kelas lagi. Bener-bener kurang kerjaan banget nih, guru. Gumam Dido pada dirinya.
* * *
“Aku takut, Stef !” suara Dido yang sedikit gemetar itu berdengung di gagang telpon Stefy, sobat kentalnya. “Sekarang aku nyesel banget buat cerpen itu.”
“Awalnya, ‘kan kamu pengen Bunga tahu kalo kamu masih sayang banget sama dia. Kok, sekarang kamu nyesel, sih ?” dengan posisi terlentang di ranjang, Stefy mencoba mencari jawab, kenapa sobatnya tiba-tiba jadi sangat menyesal. Sementara tangan kanannya merasakan getaran dari telepon selularnya. Sejenak ia lirik layar Hp itu. Tertera nama ‘Honey’ cewek tinggi nan ayu yang udah dia pacari selama setahun. “Eh, iya. Iya, Do. Eh, sebentar ya. Entar kamu ku telpon, deh.”
“Lho, kenapa ?”
“Ini. Doi misscall terus, nih dari tadi.... Bentar ya, Do ”
“Yah, elu! Giliran lagi butuh aja,..lu gak bisa…”
“Janji. Janji, deh. Nanti malem aku yang nelpon. Yah, Do’ ya… Please….”
“Ok! Kalo gitu aku yang sori, nih. Ganggu pacaran lu…”
“Yah… Jangan nyindir, dong! Iya. Iya. Nanti aku nelpon. Sudah dulu, ya…”
* * *
Resah yang mengikat hati Dido kini tambah memuncak. Rasanya, sarapan yang disediakan Mami gak buat dia selera. Sedari tadi ia hanya memandangi piring dengan tatapan kosong. Sementara layangnya terus membumbung, membayangkan hal-hal mengerikan buatnya yang akan terjadi. Mami yang sedang asyik di dapur memperhatikan kelakuan anak bungsunya ini. Tak ada yang Mami katakan, beliau hanya geleng-geleng kepala seakan tahu apa yang dialami Dido.
KRIIING ! KRIING ! KRIING ! ….
Dering itu membuat Dido terjingkat dan spontan ia raih telpon berwarna biru yang berada tepat di sampingnya. “Ya. Halo.”
“Eh,.. kamu, Do.”
“Masih hidup lu, Stef ?’
“Jangan gitu, dong ! Sori. Semalem ketiduran…”
“Gak apa-apa kok. Aku juga lagi nerima telpon dari pacarku. Maklum, kan cari pacar lebih susah daripada bantuin temen….” kata-kata sinis sindiran Dido yang tanpa sadar terucap dari bibirnya itu seketika bikin kaget Stefy.
“Yah ! Jangan gondok gitu, dong! Masak gitu aja marah ?! Bener nih, gak mau terima telponku ?… Aku tutup, loh…” ultimatum Stefy itu benar-benar mengagetkan. Dalam benak, Dido berpikir, daripada BT apa salahnya menerima telpon Stefy. Lagian dia juga butuh banget Curhat.
“Eeit ! Kok kamu yang marah, sih ?! Iya. Aku yang butuh, kok.”
“He…he… Gitu dong !” kekeh Stefy menyejukkan lagi konflik di antara mereka.
“So, What ?” lanjut Stefy sambil mengunyah kue kering buatan Honey, ceweknya.
“Iya, Stef. Aku takut Bunga marah sama aku. Apa yang mesti aku perbuat ? Aku sama sekali gak nyangka kalo cerpen yang kubikin untuk majalah skul-ku itu bener-bener kontroversial ! Bayangin aja ya, dalam sehari kemaren, aku sudah terima 3 SMS, 5 telpon yang nanyain tuh Cerpen bikinan siapa ?”
“Terus, kamu jawab kalo Cerpen itu bikinan elu ?”
“Gimana sih, kamu?! Bego banget kalo aku obral nama. Ya tentu aja kubantah mentah-mentah walaupun agak sedikit nyesel sih, udah bohong... Tapi yang bikin aku heran, kenapa ya, orang-orang pada gak mikir inisialku di bawah Cerpen itu. Yah, tapi bagus aku gak nurut kata-kata lu yang suruh gua nulis jelas-jelas namaku supaya si Bunga gak ‘salah alamat’ ”
Kali ini Stefy mikir, kenapa Cerpen yang hanya Dido beri inisial ‘DK’ itu bikin hebohh warga sekolahnya. Lagian, siapa aja sih yang repot-repot nanya, bikinan siapa cerpen yang dibuat Dido buat mantan-nya itu. Padahal, gak kontroversi-kontroversi amat. Begitu pikir Stefy.
“Lu lupa, kalo isi Cerpen itu beda-beda tipis dengan kejadianku dengan Bunga ?”
“Oke, Do’ nurut aku nih, Bunga gak bakalan marah deh, ama kamu. Kalian kan udah gak berhubungan lagi, maksudku cuman sebagai temen aja selama 2 taon ini, kan ? Lagian, si Bunga katamu udah punya…... Siapa?….. Itu tuh yang bikin kamu cemburu berat…?”
Kata-kata Stefy kali ini mengingatkan sakit hatinya sebulan lalu, manakala dia mendengar dari teman sebangkunya kalo si Bunga itu udah dapet cowok baru. Yang lebih membuat Dido gak terima lagi, cowok barunya itu orang yang pernah Bunga benci semasa mereka masih menjalin hubungan. Memang, Bunga dan Dido telah lama putus. Namun, memang Dido masih cinta setengah mati ama Bunga. Hingga ia nekad mengungkapkan isi hatinya itu melalui cerpen.
Dalam cerpen itu, Dido melukiskan seorang tokoh bernama Galuh yang rela menyerahkan diri kepada gerombolan teroris yang sedang membajak pesawat yang ditumpanginya. Kenekatan tokoh ini dikarenakan para teroris itu hendak menembak Astuti, istri pejabat tinggi yang tak lain adalah mantan kekasih Galuh. Semuanya itu dilakukan untuk membuktikkan masih bermekarnya cinta Galuh, meski Astuti telah mengkhianati cintanya demi satu ambisi. Di akhir cerita, Dido menggambarkan bagaimana derita tokoh Galuh yang berkorban demi melindungi Astuti dari para teroris. Hingga akhirnya Galuh ditembak dengan puluhan peluru dan ia dijatuhkan dari pesawat itu dalam keadaan terluka.
Begitu hebatnya Dido mendramatisir tulisannya itu hingga membuat pembaca tersentuh. Yang lebih membuat pembaca kagum sekaligus penuh tanda tanya besar, apa maksud tulisan di bawah cerpen itu yang berbunyi :
“From the bottom of my heart, To someone who always rock & ‘change’ my world (dk) “
* * *
Derap langkah Dido cepat sekali. Setelah kemarin dan siang ini ia mengalami masa-masa berat buatnya. Ia lewati lorong sekolahnya itu dengan harap-harap cemas, semoga gak ketemu Bunga. Ia terus dihantui perasaan, mengapa ia mesti jadi pengecut? Kenapa sulit banget mengakui kalo cerpen itu buatannya. Entah. Rasa sesalnya itu muncul karena Dido hanya tidak ingin merusak hubungan Bunga dengan cowok barunya. Ia ingin Bunga bahagia dengan cowok barunya itu, meski sakit hati Dido setiap melihat dua bayangan itu sedang melintasi dirinya.
Dalam cerpen itu jelas tertera banyak kata-kata Dido yang pernah ia ungkapkan pada Bunga saat mereka akan putus. Kalimat-kalimat itu diucapkan tokoh Galuh pada Astuti. Jadi, mustahil jika Bunga tidak tahu kalo cerpen itu memang buatan Dido untuknya.
Sebenarnya cerpen itu sudah lama sekali dibuat Dido saat ia masih sangat menyesal diputuskan oleh Bunga. Namun Fa, pimpinan majalah sekolahnya telah menemukan cerpen itu di meja redaksi. Sehingga membuat temennya itu tertarik memasukkan pada majalah yang akan terbit. Mulanya Dido Ok-Ok aja cerpen itu masuk, tapi ia sangat tidak menyangka kalau hasilnya akan heboh. Lagian, ia juga sama sekali tak menduga kalau Bunga akan menerima cinta Zen.
Pandangan Dido pada sekelompok gadis itu membuat lamunannya terhenti. Tak terasa dadanya berdetak lagi, jangan-jangan di antara mereka ada Bunga.
Ia lewati mereka sembari memandang satu persatu wajahnya.
Ia menghela nafas. Thanks God! Gumamnya. Tidak ada Bunga diantara mereka. Kini ia kembali memantapkan langkahnya menuju gerbang sekolah, untuk satu tujuan.
“Dido…”
Entah apa yang membuat Dido menjadi memalingkan wajah mendengar suara itu
Ups!! Bunga ? seseorang yang berusaha mati-matian ia hindari selama dua hari ini, kini telah ada di hadapannya. Kenapa kamu muncul, Bunga? Aku belum siap untuk menjelaskan. Begitu yang ada dalam fikir Dido. Spontan saja ia hentakkan langkahnya lebih cepat untuk pergi darinya.
“Dido ! Tunggu…!” teriakan Bunga tidak dihiraukan Dido.
Namun ia jadi tak tega membuat Bunga mengejarnya. Ia hentikan langkah dan tangan Bunga berhasil meraih bahunya. Dido tidak memalingkan pandangan sama sekali. Kini bukan karna ia pengecut. Hanya saja ia tidak ingin menaruh harapan dalam dirinya sendiri.
Mereka sempat beku dalam beberapa saat. Tanpa ucap. Tanpa pandangan Dido pada Bunga. Dua orang itu saling menunggu salah satu mengucapkan kata.
Namun kali ini, Bunga menyerah. Ia tak kuasa menahan ucapnya, “Aku. Aku masih sayang kamu…, Do’ ”
Dido sangat kaget mendengar desah suara Bunga itu. Ia seakan tidak percaya ! Lalu, Bagaimana dengan Zen? Itu yang ada di hati Dido.
“Aku. Aku sayang kamu, Do.” Meski Bunga telah mengulang kata-katanya itu, tidak membuat Dido sedikitpun memalingkan wajah. Kali ini ia tambah bergegas pergi dari hadapannya. Leleh air mata membasahi pipi gadis ayu itu.
* * *
Di perjalanan pulangnya Dido hanya bergumam, “Sudah terlambat, Bunga ! Kamu sudah menyakiti hatiku…! Sama seperti mantan-mantanku sebelumnya yang juga pernah mengecewakan aku !!”
Dido turun dari mobilnya. Ia masuk dalam satu Kafe yang berisi banyak lelaki-lelaki muda. Suatu komunitas yang punya nasib sama. Sama-sama pernah dikecewakan oleh para wanita.
Dido bergumam lagi dalam pikirnya, “Terlambat Bunga. Aku sudah tidak bisa lagi mencintai seorang gadis. Sejak aku kau putuskan, aku bergabung dengan mereka. Hanya mereka yang tahu semua rasa kecewaku….” Memang telah lama Dido bergabung dalam komunitas gay yang ada di kotanya itu…..

No comments: