Saturday, April 02, 2005

Arigato Gozaimasu

Teh yang kuseduh ini terasa hangat, sedikit melonggarkan bebanku. Dalam benak aku terus terngiang kata-kata Yudhi. Aku takut dia tersinggung dengan ucapan Mami tadi. Terkadang aku merasa heran dengan kedua ortuku, mengapa di jaman serba modern ini mereka masih tetap tidak setuju pada hubunganku dengan Yudhi. Padahal aku sudah berusaha menjelaskan bahwa kami tidak pernah melakukan hal-hal yang di luar batas norma. Cium pipi saja tidak pernah. Paling kami hanya bergandengan tangan. Itu pun baru kami lakukan pada saat-saat tertentu.
Aku heran mengapa Papi dan Mami tidak memberiku kepercayaan untuk menjalin hubungan dengan seorang cowok. Aku merasa kalau aku sekarang sudah besar dan cukup dewasa untuk mengatasi semua problem hubungan berpacaran. Aku bahkan telah menginjak usia 18.
Aku kini menyesal mengapa aku cepat memutuskan untuk mengenalkan Yudhi pada Papi dan Mami. Mulanya aku berpikir, kalau waktu setahun usia pacaran kami sudah cukup untuk diketahui mereka. Memang kami sempet ‘backstreet’, namun Yudhi terus mendesak agar sebaiknya aku berterus terang.
Kenyataan tidak seperti yang aku bayangkan. Tadi sore, saat dengan gembiranya aku mengenalkan cowok ceking hitam manis itu, ternyata ortu-ku langsung menunjukkan sikap antipati pada Yudhi. Mulanya aku tidak merasakan hal itu. Namun saat dia aku ajak makan malam, semeja dengan papi, mami dan kedua kakakku, aku langsung sadar kalau kehadiran Yudhi tidak terlalu dipedulikan. Kayaknya Yudhi bener-bener dicuekin. Aku jadi tidak enak padanya.
“Percuma saja hubungan kita diteruskan. Mami Papi-mu tidak akan pernah setuju. Mereka benar. Kita memang berbeda...”
Itu yang Yudhi katakan sebelum dia pulang. Bagaimanapun aku tidak ingin kehilangan dia. Waktu setahun bukan waktu yang cepat. Setahun itu lama sekali. Dalam waktu itulah aku dapat mengenal Yudhi, begitupun sebaliknya. Dalam waktu itulah aku merasa kalo Yudhi orang tepat bersanding denganku. Ia selalu dapat mengerti diriku.
Sejak kecil, aku memang terbiasa hidup enak dengan uang ortu, dan tanpa sadar mereka menanamkan dalam pola pikirku bahwa semua dapat diselesaikan dengan uang. Namun saat aku bertemu Yudhi, aku belajar banyak darinya. Ia mengajarkan kepadaku tentang menghargai uang, menghargai waktu dan terutama menghargai orang lain.
Yudhi terbiasa hidup mandiri sejak kelas dua SMP, hingga kini, kami baru lulus SMU, ia masih mandiri. Hal itulah yang membuat aku jatuh cinta kepadanya. Ia begitu dewasa dan dapat menjaga diriku. Sedikit demi sedikit sikap-sikapku yang negatif mulai pudar. Jadi Yudhi sangat berpengaruh besar terhadapku.
Tak terasa mataku terasa berat sekali. Aku lelah memikirkan masalahku dengan Yudhi. Akhirnya aku terlelap.
* * *
“Pagi, Mi!”
“Mau kemana pagi-pagi, Reina?”
“Em,.. Reina mesti urus regirtrasi mahasiswa baru kan, Mi. Reina mesti memberikan ijazah ini dan banyak hal.” Akhirnya aku menemukan alasan yang bikin Mami percaya.
“Sama siapa, kamu pergi ?”
“Dengan Tri. Ya udah Rein mau berangkat dulu..” aku berkata sambil lalu, setelah melihat jam tanganku sudah menunjukkan jam sepuluh pagi. Sebenarnya hari ini aku bermaksud ke kos-kosannya Yudhi. Tentu kalo aku berterus terang, Mami tidak akan mengijinkan, karena semalam kedua ortuku itu benar-benar mengultimatum bahwa aku tidak boleh berhubungan lagi dengannya. Seperti biasa, mereka hanya melihat materi. Yudhi memang orang yang sederhana, bahkan ia tidak kaya. Aku belum mengetahui dengan jelas mengenai asal-usulnya. Tetapi ia selalu bercerita mengenai keluarganya. Tentang Bapaknya yang berwibawa, ibunya yang bijak dan adik perempuannya yang lucu. Yudhi tidak pernah cerita tentang materi keluarganya.
“Kamu serius mau ke Yudhi?” pertanyaan Tri itu tentu membuat aku aneh.
“Tentu saja, Tri. Aku serius dengannya.”
“Tapi, bagaimana dengan Papi Mami-mu?”
“Aku tidak peduli! Aku udah besar. Saatnya aku menentukan masa depanku sendiri.”
Mobilku aku lajukan kencang menuju jalan Kembang Sepatu, temapt Yudhi kos. Hanya satu yang aku pengen, memeluk Yudhi erat-erat saat kami nanti bertemu.
“Oh, ini tempat Yudhi kos?” kata-kata Tri itu tampak sekali kalo sedang mengejek. Ia seperti keluargaku yang lain, selalu melihat sesuatu dari segi materi. Papanya teman bisnis ayahku, jadi kami berteman sejak kecil.
“Sudahlah, ayo masuk!” aku lalu segera menggan dengan tangnnya itu dan segera menuju ke ruang tanu kos-kosan itu. Aku melihat Beni menyapaku dengan ramah.
“Yudhi-nya ada, Ben?” entah kenapa setelah mendengar pertanyaanku itu raut mukanya langsung berubah. Ia lalu menyilahkan kami berdua duduk.
“Maafkan Yudhi, ya, Rein.”
“Kenapa ?”
“Dia sudah berangkat ke bandara. Hari ini dia mesti ke Jepang.”
“Ke Jepang? Mengapa ia tak pernah...”
“Kata dia sih, belum sempat mengatakannya itu semalam padamu. Oh iya. Ada titipan darinya, sebentar, ya.”
Beni berdiri dan berlalu menuju ke kamarnya. Sementara tubuh ini langsung lemas dan merebah di bahu Tri. Ia mengusap rambutku. Tak kuasa aku menahan tangis. Sedih rasnya. Sesaat aku berdiri setelah melihat Beni menyodorkan sesuatu.
“Tetapi katanya, ia mesti ke Malang dulu, ke rumah neneknya. Jadi ia tadi pergi ke stasiun jam 2 pagi dan baru balik ke Surabaya jam.... Yah, mungkin siang nanti, Rein.”
“Ia tidak berkata apa-apa untukku?”
“Ia tidak sempat. Hanya Organizer dan sepucuk surat ini yang dia berikan. Katanya itu mesti aku berikan padamu.”
“Barang-barangnya?”
“Ia sudah meringkas dan membawanya pergi semua.”
Mendengar itu aku jadi bertambah putus asa. Rupanya semalam adalah pertemuan terakhirku bersamanya. Entah kapan lagi aku akan memandang wajah imutnya lagi.
“Terima kasih, Beni.” Setelah berpamitan aku memutuskan untuk pulang. Aku tidak tahu, hatiku merasa pilu. Rasanya untuk membuka pintu mobil saja aku tak kuat. Tri lalu mengisyaratkan sebaiknya dia saja yang menyetir. Saat aku mulai masuk aku mendengar Beni berteriak dari jauh.
“Rein, pesawatnya mungkin sekitar jam satua-an.”
Mataku langsung kutujukan ke arah jam yang aku pakan di tangan kiriku. Ternyata sekarang masih setengah satu.
“Tri kita bandara.”
“Tapi itu jauh. Butuh satu jam paling tidak kita sampai ke Juanda.”
“Ayolah, please.. Jangan menambah bebanku, dong!”
“Oke.” Mobilku langsung dibawa Tri melesat meninggalkan perkampungan kumuh, tempat Yudhi kos. Aku berharap, pesawat itu datang terlambat hari ini. Paling tidak, aku bisa memeluk Yudhi untuk terakhir kali. Sementara Tri konsen dengan kemudinya, perlahan aku membuka organizer Yudhi. Semua tampak rapi. Halaman depannya ia tempel foto kami. Ia nampak sayang sekali padaku. Akhirnya aku memutuskan untuk membaca suratnya terlebih dahulu, siapa tahu ada pesan penting di situ.

Dear Reina,
Aku minta maaf kalo aku enggak sempat memberitahukan ini kepadamu. Sebenarnya aku mendapat surat dari keluargaku di Jepang, bahwa ibuku sakit, kata Bapak lebih baik aku kuliah di sana, sebab ibu sudah kangen padaku. Surat itu telah aku terima 3 hari yang lalu, namun aku lupa membukanya. Baru sore, sebelum aku ke rumahmu, aku membacanya. Aku juga minta maaf, kalo selama ini aku tidak pernah bercerita mengenai keberadaan keluargaku.
Reina, maafkan aku, ya...
Selama ini Bapak, Ibu, dan Ryoko adikku, mereka telah tinggal di Tokyo.
Bapak seorang Jawa tulen yang menikah dengan wanita Jepang, Minami Matsuda.
Aku tidak menceritakan hal ini padamu, karena aku tidak ingin materi turut jadi pertimbanganmu untuk menjalin hubungan denganku.
Aku salah, ternyata kau tetap sayang padaku siapapun diriku.
Kalo aku sudah sampai ke Jepang, aku janji akan segera e-mail kamu.

Sayangku selalu untukmu,
Kawaguchi Yudhi Setiawan

Aku begitu kaget membaca surat Yudhi. Aku tidak menduga sama sekali kalau Yudhi seorang blasteran Indo-Jepang. Memang kulitnya putih, tetapi kalau dilihat matanya yang lebar itu, lebih mirip seorang Jawa tulen. Ia mungkin mewarisi wajah ayahnya. Aku kini jadi ingat, nama ‘Kawaguchi’ itu selalu ia singkat “K” di absen sekolah dulu. Meski diejek dengan sebutan yang aneh-aneh, ia tak pernah mengakuinya. Entah kenapa.
Meski aku meneteskan air mata, aku masih juga sempet ketawa kecil, ternyata pacarku seorang Jepang. Melihat itu, Tri jadi heran.
“Kok ketawa? Katanya sedih?....”
“Tidak apa-apa.” Aku tidak mau orang-orang tahu kalo Yudhi seorang indo. Lebih baik aku merahasiakan sampai datang waktunya.
Jam menunjukkan jam 1 lewat 20, saat mobil sudah terparkir. Kami lalu bergegas masuk ke bandara. Jantungku berdegup kencang, sepertinya aku nervous banget. Aku benar-benar bersyukur saat aku dengar pesawat yang berangkat ke Tokyo hari ini terlambat, karena masalah cuaca.
Tapi, dimana Yudhi? Aku belum melihatnya. Aku kemudian meraih ponsel yang ada di tasku. “Yudhi, kamu dimana ?”
“Reina, aku di bandara...” suaranya terdengar parau.
“Iya, tapi di mana? Aku mencarimu.”
“Reina, kau..”
“Iya, Yudhi, cepat katakan kau di bagian mana ?” aku memegang ponsel sambil berjalan mencari cowok putih yang membuat hatiku tertambat.
“Aku ada di....” belum sempat ia meneruskan kata-katanya aku sudah melihat Yudhi di hadapanku. Ia duduk di salah satu kursi. Aku langsung berlari menghampirinya, aku peluk ia erat-erat dan air mataku meleleh.
“Reina, maafkan aku..”
“Sudah. Tidak apa-apa, aku sayang kamu, Mr. Kawaguchi!”
Ia menghapus air mataku, dengan senyuman haru.
“Kapan kau kembali ?” setelah beberapa menit kami terdiam, akhirnya kutemukan tanya.
“Empat tahun.”
“Oh! Lama sekali!” mendengar itu aku kembali memeluknya erat-erat. Aku merasa waktu itu begitu lama, apalagi keluarganya tinggal di sana. Namun aku mesti merelakannya demi dia. “Aku akan tetap setia.”
Kemudian ia mengeluarkan cincin dari jari manis kanannya. Ia masukkan itu ke dalam jari manisku. Aku menatapnya dengan wajah penuh keharuan.
“Ini sebagi bukti janjiku. Tunggu aku, Rein. Aku pasti kembali.”
Aku kemudian mengangguk. Kemudian terdengar pengumuman bahwa pesawat ke Tokyo segera berangkat. Aku peluk dia untuk kesekian kali, tetapi yang ini lebih erat karena untuk yang terakhir. Tak terasa saat aku memejamkan mata, ia melepaskan pelukanku dan masih dengan mata terpejam aku merasakan bibirku basah oleh sentuhan bibir lain. Oh, dia menciumku! Aku merasakan cinta yang dalam sekali.
Setelah itu ia mengangkat kopornya dan berjalan berlalu dari hadapanku. Aku hanya membisu. Baru setelah dia beberapa meter dariku, kulambaikan tanganku dan kuteriakkan satu-satunya bahasa Jepang yang aku mengerti.
“Arigato gozaimasu!”
Sejenak ia menoleh ke arahku dan melambaikan tangannya juga. Ia tersenyum. Manis sekali. Kemudian aku merasakan sebuah tangan meraih bahuku dan memelukku. Aku bersandar di bahunya.
“Tri, dia pergi” aku menangis lagi “Jangan katakan pada Papi, Mami kalo ia ke Jepang, ya. Kalo mereka tanya ke kamu, bilang saja ia pergi ke luar kota, entah kemana.” Tri kemudian mengangguk dan membawaku pulang. Meski aku sedih, namun dalam benak aku merasa yakin, kalau dia tak akan jauh dariku. Karna dia dekat dalam hati.
* * *
Seminggu aku lalui tanpa kehadiran Yudhi di sisiku. Aku sudah menerima e-mailnya bahwa ia sampai dengan selamat di sana. Ibunya begitu gembira saat Yudhi datang. Yudhi juga mengirimkan foto keluarganya di e-mailku. Aku memandanginya beberapa waktu. Benar-benar keluarga yang bahagia, begitu pikirku.
Aku menoleh, setelah mendengar Mami membuka pintu kamarku. Aku melihat wajahnya begitu serius.
“Papi-mu ingin berbicara padamu.”
“Ada apa?”
“Sudahlah. Ayo, dia ada di ruang tengah untuk menunggumu.”
Aku kemudian berjalan dan menemui Papi. Beliau sangat serius. Jantungku berdegup. Aku hanya diam mendengarkan kata-katanya.
“Reina, kau harus membatalkan niatmu kuliah di Universitas itu.”
“Papi tidak setuju ?”
“Atasan Papi yang ada di Jepang memberikan hadiah pada Papi. Ia memberikan biaya pendidikan kuliah di Tokyo. Jadi ayah tidak bisa menolak pemberian atasan ayah itu. Kau harus segera ke sana.”
Entah perasaan apa yang ada, hatiku melonjak kegiarangan mendengar kata-kata Papi barusan. Tokyo?! Mimpi apa aku bisa pergi ke sana, bukankah itu tempat tingal Yudhi. Papi kemudian memelukku. Ini yang pertama, mungkin. Beliau merasa sedih. Namun tidak bagiku. Aku kini bahagaia dalam pelukan papi, karna aku tidak akan berpisah dengan Yudhi.
“Kapan Reina mesti berangkat, Pi?”
“Atasan Papi memberi tiket pesawat bulan depan...” kali ini setelah mendengar kata-kata Papi, giliran Mami yang memelukku. Mereka merasa kehilangan sekali. Sebenarnya aku juga sedih berpisah dengan mereka.
* * *
Aku sudah ada di bandara menunggu pesawat ke Tokyo. Sedari tadi Mami terus memberikan petuah-petuah. Tampak sekali beliau sangat khawatir. Aku kemudian meyakinkan pada kedua orangtuaku, bahwa aku akan baik-baik saja. Meski aku tidak bisa bahasa Jepang, tetapi aku fasih dalam berbahasa Inggris. Tri yang ada di sampingku, terus tersenyum. Lalu aku mengisyaratkan agar ia diam. Aku tidak ingin Papi-Mami tahu kalo Yudhi juga sedang berada di sana.
Aku juga tidak memberitahu Yudhi kalau aku akan ke Tokyo. Aku ingin memberi surprise padanya nanti, begitu pikirku. Setelah terdengar pengumuman, aku lalu memeluk kedua ortuku, satu-satu. Kini aku juga merasa sedih berpisah dengan mereka. Aku kemudian berjalan menuju pesawat. Kulihat Papi dan Mami meneteskan air mata, melepas kepergianku.
Ternyata perjalanan ke Tokyo begitu melelahkan. Baru pertama aku ke luar negeri sendiri dan agak jauh. Biasanya bersama keluargaku, paling juga ke Singapura atau Batam dan itu sangat jarang.
Aku memandang sekeliling bandara. Aku harus mencari Yochi yang akan menjemputku. Kata papi, dia adalah anak atasannya. Aku tidak tahu wajahnya, karena Papi tidak menunjukkan fotonya. Tetapi aku tidak khawatir, sebelum atasannya kemarin kembali ke Jepang, Papi memberikan fotoku agar Yochi mengenalku saat menjemput.
Sudah lima menit aku mencari orang yang akan menjemputku, namun aku tak menemukan. Aku memutuskan untuk menunggu sambil duduk. Kuharap Yochi, anak atasan Papi itu dapat melihatku.
Sepuluh menit, lima belas menit, sampai satu jam, aku menunggu namun tak kunjung datang. Aku merasa putus asa sebab aku tidak mengenal siapapun di Tokyo ini. Tak terasa aku menangis karena takut. Aku lalu menundukkan wajahku.
“Can i help you, miss ?” aku mendengar satu suara yang ramah. Kemudian aku menghapus air mataku.
“Yes. I looking for....” belum selesai aku meneruskan kata-kata ternyata aku melihat Yudhi yang ada di depanku. Kami hanya terdiam beberapa saat, setelah kemudian ia memelukku.
“Sori. Aku tidak memberitahumu, aku ingin kasih surprise, Yud.”
Yudhi hanya tersenyum. Lalu kulanjutkan ceritaku,
“Papi mengirimku ke sini karna ia dapat sejumlah uang dari atasannya untuk menyekolahkanku di sini. Dan sekarang aku menunggu...”
“Anak atasan papimu?”
“Ya. Mr. Gaguk Sudjatmiko. Anak lelakinya itu katanya akan menjemputku jam....” kalimatku lalu terhenti melihat sikapnya. Ia berjalan mundur dan membungkukkan badan, seperti layaknya orang Jepang, ia raih tas-tas koporku serta mengucapkan satu kalimat kepadaku.
“Yochi siap membantu anda untuk mengantar ke apartement.”
“Jadi kamu,...”
“Aku juga baru tahu bulan lalu saat aku bertandang ke kantor Bapak. Aku melihat nama ayahmu di buku kerjanya. Kemudian aku menceritakan semua tentang kita, semua tentang sikap ayahmu yamg sombong itu dan...”
Aku langsung memeluk dia. Kejutan apa lagi ini ? Kenapa semua baru kuketahui saat ini?! Tentu saja ayah akan merestui hubungan kami.
“Jangan beritahu ayahmu dulu, sampai tiba waktunya.” Kata-kata Yudhi itu seakan dapat membaca pikirku.
“Kamu tidak akan memecat ayahku, kan?” aku lalu berseloroh. (*)



Arigato gozaimasu = Terima kasih

No comments: