Saturday, April 02, 2005

resah di peraduan

Bola matanya belum terpejam. Degup-degup semakin kencang. Itu musik yang mengiring hati dan jiwanya sekarang. Tangannya memeluk erat benda empuk yang seharusnya ia gunakan untuk meletakkan kepalanya.
Mendung terpejam.
“Aaaarrrrrrrgggggghhhhhh................. !!!!!!!!!!!!”
Ia berteriak-teriak....
Hanya di dalam hatinya.
Desahan saja. Desahan saja yang keluar dan didengar oleh dinding-dinding ruangan itu. Terus, dan terus.... Terus.... dan hanya berhenti saat serigala malam melolong.
* * *

Siang itu Mendung tertawa kecil. Mengekeh. Lalu ia akhiri dengan senyuman. Seperti kebahagiaan cinta. Seseorang yang ia sebut dengan ‘maha Jelita’. Puteri dari khayangan. Semerbak dari ujung mahkotanya mengalir hingga telapaknya.
“Maha jelita,... nafasmu adalah nafasku....”
Sebuah permohonan yang mengikat. Keterlaluan. Namun itu yang diiinginkan Mendung. Tidak ada yang bisa menghalangi dirinya. Tidak bumi maupun mentari. Seakan diri Mendung sendiri yang mengiyakan permohonan yang terlampau possesif. Sang maha jelita ingin dimilikinya sepanjang masa.
Terus dan terus. Itulah permohonan yang mungkin terlampau abadi dalam diri Mendung untuk mencintai maha jelita.
“Tidak untukmu, Mendung. Bukan untukku engkau...” ucapan maha jelita membuat Mendung hancur tetapi tidak untuk kata gentar.
Maha jelita menjauhi Mendung.
Ingatan yang tak terlupa. Untuk pertama.
* * *

Malam yang dingin ini hanya serigala yang memperdengarkan suaranya. Tetapi mereka ternyata juga mendengar seret langkah Mendung.
Sret. Sret. Sret. Dan suara bisik dari empat roda kayu juga....
Ia membawa mawar-mawar putih. Tidak hanya setangkai. Tidak hanya sekuntum. Ia tarik dengan geledek kayu. Banyak. Lebih dari seratus kuntum.
“Maha jelita....... ! Maha jelita.......!”
Mendung berteriak di bawah jendela kamarnya.
“Biar bangsa mawar putih ini menghiasi mimpimu. Biar mereka menyenangkan mata indahmu yang senantiasa bersinar itu..........”
Maha jelita keluar dan melongok ke bawah.
Merekahlah wajah Mendung. Seakan tidak akan ada hujan lagi.
“Harum benar yang kau bawa. Seperti taman langit. Akankah kau persembahkan itu?”
Maha jelita langsung melesat setelah melihat anggukan Mendung.
Taman langit itu langsung ia lompati dan ia di atas geledek kayu. Mawar-mawar putih sungguh membuat luluh. Mendung langsung menarik Maha jelita. Ia akan bawa terbang setinggi yang ia bisa.
Sekarang keduanya telah berhadapan langsung. Mendung menatap sinar kegembiraan maha jelita. Bola-bola mata mereka beradu dalam sebuah pertemuan. Cinta di mata Mendung, keraguan mendalam di mata Jelita.
Di malam yang telah dirangkai indah oleh Mendung itu, maha jelita bertamu. Di samping ribuan lilin yang ia nyalakan. Semua untuk maha jelita. Sang ratu abadi dalam hati Mendung.
“Ribuan mawar indah ini hanya untukmu, sayang...”
Maha jelita makin sumringah melihat sekelilingnya yang penuh dengan tanaman langit buatnya. Ia menari dan bernyanyi. Berputar diantara hangatnya api kecil lilin-lilin itu.
“Cintailah aku, seperti engkau mencintai mawar-mawar itu....”
Maha jelita langsung menghentikan tariannya. Ia hanya terdiam. Diam. Diam dan membisu.
“Maha jelita,... nafasmu adalah nafasku....”
Mendung membisikkan itu di telinganya.
Keduanya lalu diam.
Hanya suara api kecil. Hanya suara jengkerik dan suara lolongan serigala.
Purnama saksi semua ini.
Ingatan kedua.
* * *

Kesendirian dalam kegelapan membuat Mendung terpukul. Senandung badani pun tak terlantun. Mawar-mawar putih hanya tinggal separuh nafas harumnya. Mereka tidak sejuta lagi kuntumnya.
Mendung tergolek. Jiwanya terdiam, ketakutan terus menyelimuti.
Apa yang sebenarnya membuat ini? Bagaimana keranda itu harus terusung?
Maha Jelita yang beribu hati begitu ia harapkan, tak lagi nampak.
Kalau begini, lebih baik ia rela saja sang Maha jelita kawin dengan pangeran negeri dongeng. Bapak dari segala anak dan kurcaci yang pekerjaanya menari dan bernyanyi. Pangeran yang tidak buruk rupa tapi begitu rupawan. Bahkan Mendung sebut, ia cantik. Meski seorang pangeran, bukan puteri.
Tampaknya sang ayah Maha jelita menyukai pangeran cantik ini karena ia terus menari dan bernyanyi. Menghibur ribuan anak dan kurcaci di negeri ini. Tanpa menyadari beragam momentum dan fakta kesengsaraan yang ada. Ayah Maha jelita hanya senang dihibur tanpa selesai sejuta konflik. Penyelesaian hanya ibarat mimpi dan semua mimpi hanya bernyanyi dan menari.
Sesaat Mendung mengerang marah. Meski hanya di hatinya.
Penolakan ayah sang Maha jelita menciptakan ribuan kesal, gundah dan murka. Bukan ia tak mau disaingi pangeran negeri dongeng, hanya saja sebaga seorang raja, ia terlampau jauh dari kesan bijak. Ia berpikir kalau rakyat akan terus berpesta dan menari tanpa rindu sebuah kehidupan sebenarnya.
Namun itu semua telah terjadi.
Seluruh negeri menyambut sukacita pesta kawin itu. Semua ikut menari dan bernyanyi. Tua, muda, tinggi, pendek, anak, orang tua, semua kerdil dan kurcaci. Hanya Mendung yang tersudut sendiri di lorong kota. Ia tak bisa menangis, apalagi tertawa. Ia bermuram durja dan murka terus menyulut. Bukan ia sayang telah mengusahakan ribuan mawar putih dan lilin itu. Tetapi ia begitu dalam mencinta dan memiliki sang maha Jelita dalam hatinya. Mendung tak ingin pula Meha jelita hidup dalam mimpinya, terus menari dan bernyanyi.
Sampai pesta kawin itu berhenti karena Mendung berteriak lantang. Semua menutup mulut, semua merinding bergidik. Mendung memaksa turun Pangeran cantik dari kuda putihnya beradu dengan dia.
Maha Jelita menangis.
Tetapi Mendung dan Pangeran dongeng itu tetap beradu dengan pedang dan panah yang terus melesat ke semua sudut . keluarga-keluarga negeri itu pulang bersembunyi di rumah mereka.
Suasana terus memanas dan api bersemburan kemana-mana. Semua itu karena cinta Mendung yamg dalam kepada Maha jelita. Ia tak rela wanita abadinya jatuh ke pelukan siapapun. Hingga panah dan peraduan pedang memang harus terjadi.
Ingatan inilah yang tak terlupa : maha jelita terpanah olehnya sendiri, karena pangeran dongeng itu menghindarinya.
Maha jelita mengerang..... Mendung mencabut dan memeluk. Tentu saja pelukan dan cinta sekalipun tidak membuat Maha jelita mendapatkan kehidupannya. Pangeran dongeng pun tidak. Karena ia telah melesat jauh....
Ingatan ketiga.
* * *

Bola matanya belum terpejam, dan takkan pernah terpejam. Musik penyesalan dan ketakutan saja yang mengiring hati dan jiwanya. Tangannya kini memgang anak panah yang telah melukai maha jelita.
“Aaaarrrrrrrgggggghhhhhh................. !!!!!!!!!!!!”
Ia berteriak-teriak....
Tidak hanya dalam hatinya.
Ia menusuk dan membunuh jiwanya.
Satu desahan, “Maha jelita,... nafasmu adalah nafasku....”

Cinta yang terlalu buta. Tulus, tetapi tanpa pemikiran. Dalam, tetapi picik.
Resah di peraduan menjadi darah dan kematian. Karena murka, dendam dan penyesalan itu menjadikan cinta tidak abadi. (*)

No comments: