Saturday, April 02, 2005

Tragedi Seminggu

“Nggak bisa ! Gimana caranya ? Susah, Rom ! “
“Sssst !”
Suara Jo yang sedikit ngotot itu membuat semua yang di kantin jadi menoleh pada meja mereka. Mungkin saking kesel en betenya kali, Jo jadi salting gitu.
“Udah, Jo ! Sekarang kamu nggak perlu lagi ngomong gitu. Yang penting sekarang, kamu harus bisa cari cara, gimana supaya kamu bisa minta maaf sama Angel !”
Otak Jo yang sedari tadi muter-muter buat cari cara minta maaf ama Angel tiba-tiba terhenti oleh dering bel masuk.
“Benernya sih, perasaanku mengatakan bahwa aku harus minta maaf secepatnya. Tapi, Rom, tiap kali aku berhadapan dengan dia, bibirku ini rasanya terkatup rapat sekali. Susah banget, Rom !”
“Udahlah ! Pokoknya aku nggak mau tahu ! Pulang sekolah nanti, kamu harus sudah bisa minta maaf ama Angel !”
“Kalo nggak, Rom ?”
“Yah, kamu pengecut banget ! Dan temen-temen siap ngejulukin ‘ayam pelari’ buat si tampan en si beken, JO Nathanhaell !”
“Ssst ! jangan keras-keras dong !”. Dengan tanpa menoleh sedikitpun, Romy pergi dengan perasaan kesalnya.
* * *
Di kelas, Jo sama sekali nggak konsen dengan pelajaran Kimia. Memang sih, sebenernya dia nggak terlalu suka ama gurunya yang terkenal kiler itu. Rasa-rasanya lebih banyak pandangan Jo beralih ke wajah putih kalem, dengan bibir tipis yang senantiasa siap melempar senyum ramah pada siapa saja. Angel, andai kamu tahu kesulitan bibirku untuk minta maaf sama kamu.
Pikiran Jo semakin melayang pada peristiwa dua hari lalu. Tatkala ia menelpon pujaan hatinya, yang walaupun sampai sekarang belum berani ia ‘tembak’. Karna PDKT ! itu alasannya tiap kali temen-temen nanya.
Memang sih, Jo suka nelpon Angel tiap malem. Dan hari itu seperti biasa mereka ngobrol-ngobrol tentang banyak hal. Ada aja yang diceritakan. Mulai dari musik, film, olahraga, pokoknya banyak deh ! yah, namanya juga orang lagi PDKT. Sampai pada menit tertentu, Jo bikin kesalahan yang fatal. Entah kenapa, ia jadi salah ngomong dan nyinggung perasaan Angel yang melebihi kehalusan sutra termahal di dunia. Sebenarnya Jo, udah terasa sejak awal Angel menanggapi omongannya itu. Tapi namanya cowok, ya Jo nggak terlalu mikir sedetail dan serumit itu.
Lain Jo, lain Angel. Cewek kalem yang selalu bikin deg-degan Jo itu, jadi gelisah karna kecewa akan omongan Jo. Air yang mengalir dari mata bersinar yang indah itu, membasahi pipi halusnya.
Pikiran Jo makin membumbung tinggi, mengingat setiap kejadian yang bikin dia deg-deg-ser. Setelah Jo menutup gagang telpon itu, ia jadi mikir lagi omongan yang baru saja ia lontarkan pada pujaan hatinya itu.
Ia makin yakin, kalau Angel bener-bener ngambek sama dia. Sebab saat Jo menyapanya pagi itu, ia sama sekali tidak mendapat lemparan senyum indah dari wajah cantik melebihi karya seni abadi. Wah, gawat ! pikir Jo. Maka hari itu rasanya hari terBt baginya sama seperti kemarin, hari ini, entah sampai kapan ia berani minta maaf.
“Coba kau kerjakan, Jo nomer selanjutnya”, Suara Pak Hadi belum saja membuyarkan lamunannya. Namun saat Pak Hadi memanggil namanya lagi, “Jo !” kepalanya yang semula tertunduk pada buku catatan, kini ia angkat dengan tetap Jaim (jaga image) pada warga sekelas. Tapi, kebohongannya itu tak dapat menembus dinding hati Angel yang memandang Jo saat ia mulai menulis-nulis angka dengan spidol biru, warna favoritnya.
Andai kamu tahu, Jo, perasaan hatiku yang terluka. Tapi, bagaimanapun, aku akan selalu membuka pintu maafku padamu Jo, asalkan kau mengetuk dinding-dinding hatiku. Tapi, sampai kapan, Jo, kau akan mengetuk pintu maaf itu padaku. Aku pengen segera membukakan pintu itu untukmu.
Sekarang giliran Angel yang melayang-layang pikirannya. Namun ia masih dapat mengontrol diri dengan tetap konsen pada penjelasan Pak Hadi.
* * *
Pelajaran Kimia sudah berlalu. Jo masih dengan perasaan gelisahnya. Ia keluarkan NOKIA birunya itu. Ternyata ia dapet messages lewat SMS, yang berbunyi : “Jo, nanti sore aku ke rumahmu. (Kris).” Ternyata Kris, sobatnya.
Canda tawa teman-teman Jo memang telah bisa menciptakan lebar lengkung bibirnya. Tapi, sekali lagi itu tak dapat menembus dinding hati Angel. Ia yakin, bahwa itu hanya tawa semu, yang sama sekali lain dari hati Jo. Sesaat Angel menatap mata Jo yang kecoklatan itu. Namun ketika Jo membalasnya, ia buru-buru memalingkan pandangannya.
Rasa kecut bertabur dalam hati Jo.
Sementara tatapan mata dan gerakan kepala Romy untuk mengisyaratkan pada Jo, untuk segera minta maaf, bikin Jo tambah gelisah. Dengan suara berbisik, Jo mendesahkannya pada Romy, “Nggak bisa hari ini, Rom ! Aku belum siap. “
“Terus sampai kapan siapmu ? Sampai ayam jago bertelur ?”
“Ssstt !!”
“Dasar ayam pelari !” kali ini, Romy tidak lagi berbisik, ia mengatakannya dengan suaranya.
“Apa, Rom ?” si gembul, Freedly menimpali, “Si Jo ‘ayam pelari’ ?” dan dengan tawanya yang heboh itu bikin gerrr yang duduk di deretan mereka.
“Tuh, lihat akibatnya seorang ‘ayam pelari’ ! Emang enak ?!”
Ejekan temen-temen Jo bikin tambah resah en miris hatinya. Pandangannya terus menerus ia layangkan pada Angel. Was-was. Kalau-kalau ia sampai menoleh, bisa tambah runyam masalahnya.
“Rom ! Aku nggak suka dengan caramu yang seperti ini. Kalau Angel sampai dengar, aku nggak mau ambil resiko !” bisiknya pada Romy.
“Tapi, Jo, aku kan hanya membantumu !”
“Membantu ?”
“Kalau saja kamu segera minta maaf, pasti aku nggak akan berbuat begini !”
“Andai saja bibirku nggak terkatup, saat di hadapannya, aku juga nggak akan menunda-nunda maafku.”
“Iya ! Tapi sampai kapan ?”
“Entahlah, Rom !”
“Huh ! Jo ! Jo !”
* * *
Sepertinya, rasa Bt Jo ia luapkan pada bola sepak yang ia tendang kencaaang sekali. Kali ini, bukan Gol tujuan utamanya. Namun rasa kalut di dadanya ia luapakan semuanya. Kasihan bola itu ! Andai saja ia dapat berteriak. Pasti ia akan langsung melakukannya.
Romy memegang pundak Jo saat mereka hendak pulang, “Gimana ’ayam pelari’ ? Udah bisa luapkan emosi ?” Jo hanya bisa memandang sengit karna kekesalannya.
“Sampai jumpa ‘ayam pelari’ ! Moga-moga besok kamu udah bisa segera mencapai garis finish !”, teriak Romy saat Jo akan melajukan mobilnya.
“Hoe, cowok cakep, jangan ngebut, lho ! Entar kamu koid sebelum minta maaf !”, Teriakan Romy yang kedua itu sayup-sayup tak terdengar di daun telinga Jo. Dan sedan putihnya itu semakin melaju, turut menghias keindahan senja kota.
Sampai di rumah, langsung ia lempar tas kuningnya di atas tempat tidur. Ia putar keras-keras musik Red hot chili peppers yang makin menambah ke-hot-an hatinya itu.
Jo berbaring di ranjang dengan otak berputar, mencari cara yang baik untuk minta maaf. Angel, andai kau tahu kesulitan hatiku….
Ia pandangi kayu berlekuk dengan susunan senar dan lubang resonansi. Ia ambil alat musik petik itu, ia lantunkan sebait dua bait lagu.
Jo mengungkapkan seluruh isi hatinya. Ia tuangkan dalam sebuah lagu yang ia tulis sendiri.
“…….maaf kasih……maafkan aku………” Sementara ia lantunkan itu, terlintas terus wajah Angel dengan dua ekspresi, satu dengan seyum ramahnya, yang satunya lagi dengan ekspresi dinginnya. Angel….. I want to say sorry,…… but,… but, I can’t ! ……
“Hai, Jo !”, suara Kris membuyarkan lamunannya. Setelah ia menutup pintu kamar Jo, ia menghampirinya dan mengeluarkan buku dari tas birunya. “Ini, Jo, bukumu ! Thank’s, ya !”
“Kamu besok nggak ulangan ?”
“Benernya, ada sih, tapi aku lagi Bt di rumah. So, aku ke sini, yahh….! Untuk sekedar melupakannnya.”, ujar Kris sembari mengeluarkan buku kumpulan sajaknya yang ia buat sendiri.
Dan dua sobat itu menghabiskan senja dengan mengarang lagu. Dengan rasa bt mereka masing-masing. Namun, tak ada diantara mereka yang menceritakan perihal keBt-annya. Tapi yang jelas, tampaknya problem Jo lebih serius daripada Kris.
* * *
Hari-hari telah dilalui Jo dengan perasaan gelisah. Tak ada yang lain yang ia pikirkan, kecuali cara minta maaf. Tiap malam ia susah tidur memikirkannya. Kini, ia jarang telpon Angel lagi. Walaupun di sekolah, Jo sudah bertegur sapa dengannya, tapi perasaan Jo tetap tak enak. Minta maaflah…. Minta maaflah….… Itu yang selalu terngiang di lubuk hatinya yang terdalam. Tapi, kapankah itu bisa terjadi ? Menunggu ayam jago bertelur ? Perkataan Romy yang menjengkelkan itu terus ada di pikirannya.
Gelisah di hati Jo, kecewa juga memenuhi hati Angel. Perasaannya selalu saja ada yang kurang. Seperti ada seseorang yang telah membawanya pergi. Tiap malam, Angel menuliskan perasaannya dalam bait kata-kaya yang indah. Hingga tak terasa, tulisan-tulisan yang melukiskan hati kalutnya itu, kini sudah tebal.
Romy dan teman-teman lain, selalu saja mengejek Jo setiap hari. Tapi, rasanya kini Jo sudah kebal, sehingga ia hanya mencibir saja.
* * *
Ini adalah malam yang mendebarkan. Sudah ia putuskan untuk telpon Angel. Ia angkat gagang itu, dan ia tekan nomornya. Baru beberapa nada panggil terdengar, Jo sudah memutuskan hubungan telpon itu. Hatinya berdebar-debar, takut harus bilang apa dulu sama Angel. Akhirnya ia tekadkan sekali lagi. Ia tekan nomornya, dan telah ada yang mengangkatnya. Ternyata Angel sendiri. “Sebentar, ya, Jo, ini masih ada telpon masuk. Tunggu dulu, ya.” Suara Angel itu bikin greget hati, “Ee,..iya.” Keringat dingin membasahi tubuh cowok tercakep di sekolah itu. Hatinya terus gelisah menanti jawaban Angel lagi. Tuhan, tolong aku... Tolong aku…. Itu yang selalu terngiang di hatinya.
“Iya, ada apa, Jo ?” suara Angel semakin menghentak debar jantung Jo.
“Eh,..ehm… nggak ! aku hanya lagi nganggur dan telpon kamu.”
Sekali lagi bibir Jo terkatup rapat, bagai bunga yang menguncup. Rangkaian kata yang telah ia pikirkan itu telah hilang entah kemana, setelah mendengar suara lembut Angel. Akhirnya yang terjadi hanya obrolan-obrolan biasa. Tak ada kata “maaf” sama sekali. Betapa getir hati Angel. Jo,…. Kenapa ? ……
* * *
Kini telah genap seminggu peristiwa itu terjadi. Dan genap seminggu jualah perasaan gelisah menghantui dua hati, Jo dan Angel. Jo terus mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaan maafnya. Sementara kelembutan dan ketegaran hati Angel selalu setia menanti dan menanti kata maaf yang terucap dari sang pujaan hatinya itu.
Kris telah meyakinkan hati Jo untuk segera minta maaf dengan menemuinya langsung. “Tapi, Kris, nggak bisa ! Susah !” Itu yang selalu Jo ucapkan. “Jo, kamu harus bisa !”
“Bagaimana kalau telpon, Kris ?”
“Itu sih, terserah kamu ! Asalkan kamu berani mengungkapkan, It’s Ok !”
“Baiklah, kris….” Dengan perasaan mantap, Jo bertekad untuk telpon Angel sekali lagi. “Jo, aku percaya, kamu pasti bisa ! Good luck, sobat !”
Sepulang Kris dari rumahnya, Jo langsung menekan nomor telpon gadis dambaan hatinya. “Halo, Angel,….”
“Iya, Jo….. Ada apa ?” dengan perasaan gelisah, Angel menjawabnya.
“Angel,…” meski keringat dingin telah basah di sekujur tubuh, tapi kali ini, Jo dengan mantap dan bibir tak lagi terkatup, ia coba ungkapkan perasaan hatinya meski harus melewati serentetan obrolan sebagai tumbal pembuka.
“Angel, maaf, waktu itu,… aku hanya bercanda. Waktu aku ngomong bahwa aku nggak serius, itu hanya candaanku. Tapi, kau terburu menduga bahwa selama ini aku hanya mempermainkanmu. Angel, itu nggak bener. Selama ini aku serius. Bener Angel ! Maafkan aku, ya….. “
“Jo, aku sudah maafkanmu sejak awal. Namun, aku hanya seorang wanita yang harus menunggu jawaban maaf dari seorang pria. Kini, kau telah berani mengetuk pintu maafku, dan dengan tulus hati, kubukakan bagimu, Jo Nathanhael,….. “ Perasaan lega terhembus dari nafasnya.
“Terima kasih, Angel…..”
Jo telah lega mengungkapkan itu semua. Kini hanya perlu menunggu dan menanti saat yang tepat untuk mengungkapkan cintanya pada Angel. Tapi, sampai kapan ? ……..

No comments: